Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 12

Hari ini weekend. Sepagi ini aku sudah mantengin leptop. Aku terus menarik cursor letop keatas dan ke bawah. Nafasku serasa sesak, tapi mataku tak mau lepas dari layar leptop. Mulutku kututup pake satu tanganku, ketika tanganku yang lain berusaha meng-zoom gambar yang aku lihat.

Ada cairan hangat menetes jatuh ke keybord leptop. Seakan tak percaya tapi memang benar. Layar leptopku, menunjukkan gambar foto orang-orang yang aku kenal. Berkali-kali aku meyalinkan diriku bahwa yang aku lihat itu salah. Namun, kenytaan bicara lain. Foto praweding seorang laki-laki dan perempuan yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku sambar ponsel yang ada di sebelahku.Tertera nama CEO galak dilayar ponselku.Berkali-kali berdering tersambung, tapi panggilanku ngg diangkat.Aku coba beberapa kali tapi tetap hasilnya nihil.

"Kamu dimana? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu!" Aku menunggu pesan itu dibaca sipemilik ponsel.Tapi hampir 10 menit tidak ada respon apalagi balasan.

Kusambar sweter dari rak lemari baju. Dengan cepat aku berlari keluar kosan. Diperjalanan aku berusaha terus menghubungi seseorang itu walaupun hasilnya tidak memuaskan.

Sedang ditempat lain dua sosok manusia itu saling menghela nafas kasar. Ada pembicaraan yang tidak memuaskan rupanya.

"Fero! Aku rasa semua sudah cukup! Jangan lagi saling menyiksa!" ucap laki- laki itu dengan suara berat. Pandangan wanita itu tajam menghujam kearah suara  itu.

"Maksud kamu apa Ray? Kamu mau membatalkan acara pernikahan kita?" Dengan suara gemetar Feronika mendekati Ray Dinata. "Kamu mau menghancurkan semua impian keluarga kita?" Suaranya mulai terisak. Kristal bening itu akhirnya pecah.

"Hem-mm!" Dengusnya kadar. "Dari awal juga aku sudah bilang! Kita nggak usah menyetujui semua  perjodohan ini! Kamu dari awal juga sudah tahu, kalau aku sangat mencintainya!" lanjutnya lagi dengan suara serak.

"Tapi aku juga mencintaimu, Ray!" sambar  Feronika. Matanya menatap lurus kearah laki-laki tampan itu.

Kembali Ray menghela nafas. "Tapi dia datang jauh lebih awal  dari kamu." ucapnya tak bergeming.

Feronika menggenggam tangan Ray lembut. "Ray, please,! Jangan batalkan pernikahan kita! Aku sangat mencintaimu! Aku takut kehilanganmu! Apapun bisa aku lakukan, asal kamu tidak membatalkan pernikahan kita. Percayalah, aku bisa menggantikan dia di hatimu." Ray menatap wanita itu dengan kesedihan. 

"Aku nggak bisa bersama orang lain Fero. Setiap aku bersamamu rasanya hambar. Bayanhan Move selalu muncul di benakku." Kali ini , pandangan Ray kosong.

"Tapi kamu juga mencintaiku Ray! Kamu yang memberi harapan waktu itu! Kamu juga  yang menyatakan  cinta padaku. Dan kamu juga yang memintaku jadi pasanganmu." Air mata Feronika meleleh lagi. "Tapi kenapa, ketika hari pernikahan kita sudah dekat, kamu berubah fikiran?" Air mata itu semakin deras mengalir di pipi Feronika.

"Maafkan aku Fero! Aku kira dengan mencintaimu, aku bisa melupakan dia. Bisa menghapus dia dari hidupku! Tapi ternyata, semakin aku menjauh semakin aku merindukannya. Dan kamu tahu sendirikan, usaha aku untuk melupakan dia! Tapi aku tetap nggak bisa." Suara Ray samar.

"Ray! Please ..., jangan batalin pernikahan kita! Aku sangat mencintaimu," ucapan itu menghiba. Dengan derai air mata yang terusembasahi pipinya. Feronika menangis tersedu. Menumpahlan segala rasa yang selama ini bergejolak dihatinya. Ray merengkuh bahu Feronika dan memeluknya. Mencoba menenangkannya. Dengan lembut mengelus punggungnya.

Dari arah pintu terdengar suara langka kaki mendekati mereka. Spontan pelukan itu terlepas. Aku Berjalan dengan tatapan tajam dan wajah dingin.

Wajah ke dua orang itu berubah menegang. Antara terkejut dan tidak menyangka kalau aku bisa tiba-berada di tempat itu. Tepat di hadapan mereka aku berhenti. Mengamati mimik muka mereka satu persatu. Aku berdiri membisu. Masih berusaha menenangkan perasaanku yang sulit aku lukiskan. Berpura-pura tetap tegar goyah sedikitpun. Sesaat kemudian aku mengeluarkan kertas putih kosong.

"Kukembalikan cek kosong kamu Fero! Maaf, bukannya aku tidak menghargai kebaikanmu. Simpan untuk dirimu sendiri. Barang kali suatu saat kamu lebih membutuhkannya!"

Kugenggamkan kertas itu ke telapak tangan Fero. Tatapanku mampir pada sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya. Tanpa ekspresi apapun aku melangkah keluar ruangan direktur. Sepasang kaki terdengar setengah berlari mengejarku.

"Move! tunggu!" Dia berhasil meraih tanganku. Agak terhenyak aku dibuatnya.

"Aku bisa jelasin!"

"Nggak ada yang perlu dijelaskan Pak!" tepisku melepaskan tangannya.

"Semua tidak seperti  yang kamu lihat Move!"

"Terus seperti apa yang harus saya lihat?" tantangku. Mataku menukik tajam ke arah matanya.

Ray bingung sesaat. Mukanya sedikit panik. "Move, dengarkan dulu! Aku sama Feronika sebenarnya ...,

"Please-! Biarkan Saya pergi. Saya mau pulang. Tolong jangan halangiSaya!" Aku membalikkan badan dan melangkah pergi. Ray berusaha mengejarku lagi

"Ray-! Pembicaraan kita belum selesai! Suara Feronika terdengar nyaring di telingaku. Tanpa menoleh, aku lanjutkan langkahku. Keluar dari ruangan yang menyesakkan itu.

Sesampainya diluar gedung aku tersengal. Tak bisa menahan lagi air mata yang dari tadi serasa ingin meledak. Begitu jelas semua pembicaraan mereka. Membuat jantungku hampir berhenti berxetak.

"Tenyata, selama ini aku hanya jadi boneka mainan. Betapa bodohnya aku! Tidak pernah berusaha melihat kebohongan mereka!" Aku terus merutuk dalam hati. Mencaci diriku sendiri. Karsna kebodohanku. Aku termakan skenario-skenario yang mereka ciptakan buat aku.

Dadaku terasa sesak. Air mata itu sudah tidak mampu menggambarkan sakitnya hatiku. Dengan perasaan hancur aku melangkahkan kakiku menjauh dari tempat neraka itu. Mengemas sisa ketegaranku untuk tetap berdiri meski kakiku sudah goyah. Sekilas ekor mataku, menangkap bayangan seseorang sedang memperhatikanku dari jauh.

"Dattan!" gumamku sambil terus berjalan. Hatiku semakin sakit rasanya, menyadari orang-orang yang selama ini dekat denganku, ternyata menikamku dari belakang. Entah apa motif mereka melakukan ini?

Karena kenaifanku, dengan mudahnya mereka membuat skenario itu. Seolah-olah aku adalah barang mainan mereka.

Kutatap gedung itu dari kejauhan. Kutarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Di dalam gedung itu, ada orang-orang yang begitu menyakitka. Begitu tega dan sadis. Kuhapus air mataku dan kulanjutkan langkahku.("selamat tinggal Ray"")

*******

Satu jam berlalu aku masih  duduk termenung di sudut kamarku.Tanpa kusadari hari mulai menghitam. Sesekali aku seka  air mata itu. Sudah cukup rasanya semua ini. Ada rasa perih di sudut ulu hatiku. Aku beranjak dari tempat tidurku. Ku singkap tirai jendela. Ternyata ada rintik hujan di luar. Menambah perih perasaanku.

Mungkin sudah tidak perlu lagi kasus penggelapan uang itu diselidiki. Semua sudah jelas. Aku akan mengundurkan diri baik-baik  sementara pengen menjauh dari hal- hal yang menyakitkan ini.

Konspirasi! Persengkongkolan! Dan manipulasi. Rasanya, memang  itu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi itu. Kuhempaskan tubuhku ke tempat  tidur kuat- kuat. Rasanya, aku ingin sebentar saja melewatkan kondisi menyakitkan seperti ini. 

Tak kuhiraukan ponselku yang berdering. Mumgkin keputusan yang paling tepat saat ini,adalah menghilang. Meninggalkan dan melupakan semua yang sudah terjadi. Itupun kalau bisa.

 

BERSAMBUNG

 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel