Bab 11
Rintik hujan mulai deras. Aku hanya menatap terus wajah yang seperti tak ada ekspresi itu. Kenapa dia,marahkah? Entahlah! yang pasti sudah hampir setengah jam lebih situasi ini berlangsung.
Huft-ft! Kuhembuskan nafas kuat-kuat. Kembali aku menatap wajah itu. Bahkan masih datar belum berekspresi. Aku mencoba mengalihkan fikiranku dengan menyedot kuat-kuat minuman yang sudah dipesan.
Habis! tinggal gelas sama sedotannya aja. Tapi raut muka seseorang yang ada di depanku masih sama.
"marahkah?" tanyaku ragu dengan suara agak gemetar. Dan ku beranikan menatapnya. Sosok itu mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Punya hak kah aku marah?" Dia balik bertanya. "Akh-kh!" aku kesal dengan sikap dan nada bicaranya. Ku ketuk-ketuk gelas kosong tadi sebagai pelampiasan kekesalanku.
"Cukup ...!" suara itu tenang. Meraih pergelangan tanganku dan menggenggamnya.
"Kenapa kamu yang marah? Aku melotot mendengar pertanyaannya. Hei ...! gimana aku ngga marah? kalau setengah jam sudah berlalu dia masih saja bersikap dingin seperti orang ngga kenal. Bahkan melihat mukaku juga ngga! entah kesalahan yang mana yang sudah aku lakukan? tapi semua ocehan itu hanya didalam hati.
"Auw-ww!" aku menarik tanganku dari genggamannya. "Sakit tahu!" ringisku tambah melotot sama dia. Dia tersenyum kecil sambil melihat kearah luar. Tiba-tiba ada kabut tipis menyelimuti rerintikan hujan yang mulai berjatuhan dengan banyaknya.
Kuusap-usap telapak tanganku yang memerah karena cubitannya yang gemas.
"Ada hubungan apa kamu dengan Ray?" tiba-tiba suara datarnya menghenyakkanku. Meskipun dia bertanya sambil membuang muka keluar.
"Maksud kamu apa Dattan?" pura-puraku sambil terus sibuk dengan telapak tanganku.
"Hei-ii! pemandangan tadi sudah cukup jelas kali! kamu masuk ke mobil Ray dan diantar pulang. Bahkan sampai disana kalian saling bergandengan tangan dan saling berpelukan mesra." suaranya nyambung tanpa titik koma bikin aku menelan ludah berkali-kali.
"Dan kamu melupakan janji kita tadi siang!" Sesaat aku tatap wajah cute itu. Ada perasaan bersalah. Memang seharusnya aku tidak mengingkari janjiku tadi siang. Tapi Ray sudah terlebih dulu mengetahui rencanaku pulang bersama Dattan. Jam kerja belum habis juga pria itu sudah menungguku di meja kerjanya untuk pulang bareng.
"Sudah kubilang! jangan dekat-dekat dengan Dattan! ingat status kamu siapa sekarang!" masih teringat jelas suara itu sejam yang lalu.
Aku terdiam. Tanpa berniat membalas pertanyaan Dattan. "jawab pertanyaanku Move-!" agak kaget aku mendengar ucapan Dattam yang menyentak. Ada nada marah di sana.
"Kamu terlalu banyak berfikir Dattan! tidak seperti yang ada di kepala kamu itu!" tunjukku tepat di kepalanya.
"Terus yang kulihat sejam yang lalu itu apa?" ada penekanan disetiap katanya. Aku memicingkan mata. Mencoba meraba-raba sebenarnya apa yang ada di fikiran cowok cute ini.
"Kenapa ngga kamu tanya langsung saja ke dia? bukannya kalian berteman dari kecil? harusnya sudah saling tahu kan? bagaimana perasaan masing-masing."
Aku menunggu reaksi laki-laki itu. Kulihat wajahyang tadi tegang, lamat-lamat melunak. Entah apa yang ada dalam benaknya sekarang.
Dattan meneguk minumannya sampai habis. Kemudian ditatapnya wajahku dalam-dalam. Sungguh laki-laki yang begitu mempesona. Alangkah beruntungnya kekasihnya itu.
"Apa kamu menyukai Ray?" agak terhenyak aku mendengar pertanyaannya. Dia bersikap acuh.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu Dattan? kamu tahukan siapa aku? apa pantasnya aku menyukainya? itu hanya mimpi!" kuselipkan nafa getir dikalimat terakhirku.
Ekspresi muka Dattan kembali menegang. Lebih menggambarkan kekecewaan. Kembali diteguknya minuman dinginnya. Seolah-plah untuk menghilangkan sakit dihatinya.
"Bisakah kamu menghilangkan rasa sukamu pada Ray?" Aku mengerutkan dahi. Menatapnya dengan bola mata memicing.
Why? Memang kenapa kalau aku suka sama Ray? Adakah aturan yang menyatakan karyawan tidak boleh menyukai bosnya atau seorang janda menyukai perjaka?
"Itu untuk kebaikan kamu sendiri Move!" lanjutnya masih dengan ekspresi semula.
Kebaikan yang mana? Kebaikan karena aku seorang janda, biar nggak ada gosip yang menyakitkan karyaean yang lain. Atau agar aku tidak berhadapan bagaimana tidak dianggap suka sama perjaka yang kaya raya?
"Dan juga, kalau bisa jaga jarak sama Feronika!" untuk kalimatnya yang ini, aku tersentak sebentar.
Menjauhi Feronika? Bukannya yang ada Feronika yang terus-terusan mendekati aku. Untuk mengantimidasiku ? Jadi teringat sesuatu. Konspirasi antara mereka bertiga.
" kamu hati-hati sama Feronika " lanjutnya. Aku mengernyitkan kening.
Permainan apalagi yang akan mereka mainkan? Masih tidak percaya dengan kenyataan. Kenapa orang yang selama ini dia percaya, bahka teman dekat ternyata musuh dalam selimut.
Aku menarik nafas dalam- dalam. Berharap rasa penasaran sekalis rasa kecewa terhadap pria tampn ini cepat selesai.
"Move! Aku harap kamu dengarkan kata-kataku kali ini!" Mimik muka serius itu tak ku hiraukan.
"Manusia munafik!" dengusku dalam hati. Ada rasa marah yang tak bisa aku lampiaskan. Ku buang jauh-jauh tatapanku keluar jendela. Ingin rasanya di sana menemukan kedamaian.
"Move! Panggilannya membuatku menoleh ke arahnya. "Seandainya saat ini hatimu meragukanku, percayalah! yang semua kulakukan hanya untuk menolongmu!" Seketika aku terhenyak mendengar kata-kata Dattan yang penuh makna.
Aku menatapnya dalam-dalam. Mencari-cari sesuatu yang menurutku janggal.
"Belajarlah dari pengalaman. Apa yang kita lihat, belum tentu yang sebenarnya. Demikian pula yang ada di depan matamu, belum tentu itu juga yang baik untukmu." ujarnya semakin membuat aku bingung.
"Buat aku! Kamu itu sangat istimewa. Tapi, bukankah mengistimewakan seseorang tidak harus membuatnya tersakiti?" Kalimat demi kalimat tiba-tiba meluncur dari mulu Dattan.
Semakin nggak mengerti, semakin merasa Dattan dekat denganku. Sorot matanya yang tadi tajam, tiba-tiba meredup menatapku. Megang telapak tanganku dan meremasnya lembut. Aku tersentak dengan apa yang dilakukannya.
"Kalau kamu merasa tersakiti dan tersiksa ddngan kondisi ini, kamu punya pilihan. Aku tidak seperti yang kamu fikirkan! Selama ini aku ada untuk kamu. Untuk melindungimu, bukan untuk menyakitimu." kurasakan remasan itu semakin kuat dan lembut. Setiap ucapan Dattan membuatkh berfikir keras.
Ketika kurasa ada hembusan nafas yang begitu dekat denganku, aku terkejut. Mata Dattan menatapku dalam jarak satu centi. Aku gelagapan. Menarik mundur kepalaku. Tapi tangannya sudah terlebih dahulu menekannya.
Dan tiba-tiba mataku terpejam. Seolah menikmati sesuatu. Dia mengecup keningku penuh kasih sayang. Entah itu artinya apa. Tapi aku merasa dia sangat menyayangiku. Kubuka mataku ketika sentuhan lembut itu membelai wajahku.
Dia tersenyum. Begitu tampannya. Membuatku terpana sesaat. Selintas aku teringat cek yang diberikan sama Feronika. Apa seharusnya aku memberitahu soal ini sama Dattan atau malah dia sudah mengetahui lebih dulu?
Dengan begitu banyaknya kasih sayang yang ia tunjukkan padaku hari ini. Apakah benar Dattan terlibat dalam konspirasi itu? Aku menggeleng. Menepis semua fikiran burukku.
"Istirahat lebih awal ya! Jangan sampai sakit. Aku akan berusaha membantumu." ucapnya mengusap rambutku. Dan aku hanya bisa mengangguk patuh.
Sampai ditempat kost fikiranku tak karuan. Memikirkan setiap ucapan Dattan. Bahkan perlakuannya hari ini.
"Apa mungkin Dattan menyukaiku? Akh nggak mungkin! Dattan sudah punya kekasih yang luar biasa istimewanya. Nggak mungkin akan melirik ke arahku." Hatiku terus berdebat
******
"Jauhi Move! Jangan berani-berani melibatkan dia lagi!" suara itu agak meninggi dengan kepalan tangan yang kuat.
"Bukannya kamu sudah melepas dia,untuk apa kamu bertindak seperti ini lagi? Itu akan sangat menyakitinya!" Sekali lagi suara itu diiringi rahang mengeras dan mata tajam menikam. Tidak menyang muka cute kayak dia bisa berekspresi menyeramkan seperti ini.
Seseorang yang ditunjuk tidak kalah meradang. "Harusnya kamukan yang menjauh dari dia? jangan berani-berani kamu mendekati dia, apalagi menyentuhnya!"
"kamu nggak salah ngomong! bukannya kamu yang sudah melepas dia! kamu yang menyakiti dia! yang menggantung dia selama ini! menghancurkan semua harapan dia! dan kamu yang tidak bisa menerima keadaan dia!" cercahan yang bertubi-tubi itu membuat laki- laki di hadapan Dattan tertegun sesaat.
"Kamu-!" sesaat jari telunjuk Ray mengarah ke muka Dattan setelah dia tersadar dari kertegunannya.
"Stop ...!" teriakan itu menghentikan aktivitas dua laki-laki yang merasa sok jantan itu. Sontak mereka berdua menoleh kearah suara itu.
"Urus perempuan kamu! Jadi orang yang tegas! Punya prinsip dan pendirian! Biar kamu ngga selalu menyakiti orang yang menyayangi kamu dengan tulus!" Kembali suara itu menggema.
"Kalau kamu nggak bisa membahagiakan Move! aku bisa membahagiakan dia! ucapan itu jelas ditujukan sama sosok yang kian meradang hatinya. Merasa di jatuhkan sama Dattan, Ray mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Kita memang dari kecil sudah tumbuh bersama. Tapi aku tidak menyangka, kamu punya sifat sekejam dan sejahat itu! Ingat kita mencintai orang yang sama! Aku rasa kamu sudah tahu itu!"
"Aku merelakan dia untukmu, karena dia sangat mencintaimu! tapi bukan untuk kamu main-mainin seperti ini!" tandasnya.
Ray Dinata. Laki-laki yang punya sejuta pesona itu, tiba-tiba terdiam dalam kemarahan. Ucapan yang bertubi-tubi dilontarkan Dattan membuatnya membisu.
Benarkah dia jahat dan kejam? Seperti omongan sahabat kecilnya. Rasanya yang diucapkan Dattan itu memang benar.
"Sudah-sudah-! Ngga malu apa! Kalian ribut hanya gara-gara satu perempuan! Lihat ini dimana! Jaga nama baik kalian!" Sekali lagi teriakan itu nyaring terdengar. Si empunya suara berjalan mendekati mereka.
"Nggak salah kamu ngomong begitu? Malu! Kata-kata itu pantas untuk dirimu sendiri! ucapan Dattan tajam menikam kearah Feronika yang beberapa menit yang lalu mencoba melerai pertengkaran mereka.
Setelah berkata begitu Dattan melangkah pergi meninggalkan taman sebelah gedung tempat dimana mereka bekerja. Masih terlalu pagi untuk bertengkar sebenarnya. Tapi mereka sudah merencanakan pertemuan itu dari semalam.
"Sudah saatnya kamu memutuskan!" kembali wanita cantik itu bersuara. "Mau sampai kapan lagi kamu akan mempermainkan hidupnya?"
"Aku tidak mempermainkan hidupnya!" Sambar pria tampan itu.
"Trus ini apa namanya? Kamu memberikan harapan dan kamu memupusnya! kamu melepaskan dia tapi kamu kembali dengan cara lain! itu akan sangat menyakitinya!" Feronika terengah. Ada kecewa yang membalut hatinya ketika mndengar ucapa Ray.
"Ingat Ray! Aku calon istrimu!" mata Fero nanar. Ada cairan hangat disana.
itu mau kamu bukan mau aku! kamu yang meminta sama orang tuaku! jawabnya sengit dengan muka mengeras. Air mata Feronika pecah. Mengalir dengan suka rela di pipinya. Tidak menyangka, kalau pada akhirnya dia akan dicampakkan oleh orang yang selama ini ditunggunya.
"Apapun keputusanmu, sudah tidak bisa mengubah perjanjian orang tua kita! ingat! kamu sudah menyetujui perjanjian itu!"
Ray hanya membuang muka mendengar semua perkataan Feronika. Dihembuskannya nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah dia ingin membuang semua beban itu.
"Aku tidak bisa bersamamu Fero! Aku mencintainya! Aku nggak bisa bersama dengan orang lain!" ucapnya bertubi-tubi, membuat Feronika makin deras mengalirkan air mata.
"Apa kamu bisa menerima keadaan dia? Tidak, kan?Kamu menyiksanya, menyakitinya, menghancurkannya! Apalagi kalau dia tahu kamu kembali dengan cara seperti ini! Alangkah sakit dan kecewanya dia!"
"Cukup ...! Aku bilang cukup! Jangan ikut campur masalah hidupku! Akan lebih baik kalau kamu pergi dari hidupku! Jangan ikuti aku terus ...!"
"Dan satu hal lagi! Jangan sekali-kali kamu berani menyakiti dia! Apalagi menyentuhnya...!" Ray menunjukkan jari telunjuknya ke arah muka Feronika. Ada amarah yang bergemuruh di dadanya.
"Ehh! Bukannya kamu sendiri yang menyakitinya! Kamu sendiri yang mempermaikannya! Pada akhirnya kalau dia tahu siapa kamu, dia akan membencimu! Dan mungkin akan pergi meninggalkanmu selamanya!" Semakin meletup amarahnya mendengar suara wanita itu.
"Dan aku yakin, Dattan akan dengan cepat mengambil dia dari sisihmu! Tak mungkin melepaskan dia lagi!
Perempuan ini mengakhiri perkataanya dengan isak tangis menjadi. Selanjutnya dia melangkahkan kakinya dengan perasaan yang sudah tak mampu lagi dia ungkapkan.
Sosok tampan yang ia tinggalkan terduduk lemas di tepi taman. Ada gejolak antara marah, kesal, sedih dan bingung menggrogoti perasaannya. Sehingga perasaan yang campur aduk itu mampu menggulirkan kristal bening dipipinya.
Seorang laki-laki yang kehidupan finansialnya serba tercukupi. Mampu mengeluarkan air mata yang begitu sakit kelihatannya. Antara pilihan orang tuanya dan pilihan hatinya, yang tidak sesuai. Membuat hatinya teroyak begitu dalam. Untuk waktu yang begitu lama.
Suara tersedu itu begitu jelas terdengar. Suara isak tangis yang selama ini dipendam begitu lama. Mungkin dengan begitu dia merasa sedikit lega.
Dan dari semua kejadian pagi ini. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang menjadi saksi. Tentang apa yang terjadi pagi ini.Sepasang mata itu dengan jelas dan gamblang merekam semua peristiwa itu di memori kecilnya.
Berkali-kali dia menghela nafas. Tak percaya percaya dengan kejadian itu. Walaupun masih ada banyak yang dia belum mengerti tentang kejadian pagi ini.
******
Mataku menyipit membaca pesan di ponselku. Agak panjang,tapi bisa dimengerti.
"Datang keruanganku! Ada yang mau dibahas! Ok." Aku menutup ponselku. Nggak ada salahnya kalau pergi sekarang, toh kerjaanku sudah kelar.
Ku lirik ke meja sebrang. Sosok itu hari ini lesu sekali. Enntah kenapa? Dari pagi pun hanya diam saja. Aku juga nggak dikasih pekerjaan yang berat. Hanya merapikan file-file saja.
Aku mendekati meja kerjanya. Dimana dia sedang menatap layar komputernya. Agak kaget rupanya, menyadari aku sudah di depannya. wajah itu terlihat pias. Dia menatapku dengan pandangan penuh beban.
"Ada apa Move? tanyanya sambil menggeser komputernya.
"Apa Bapak sakit? Wajahnya keliatan pucat?" tanyaku sambil menempelkan telapak tanganku ke keningnya.
"Aku nggak apa-apa. Nggak usah khawatir." jawabnya sambil menurunkan tanganku. Ada yang berubah. Wajah tampan itu keliatan sedih sekali.
"Apa ada yang mau kamu katakan?" Sekali lagi aku mencoba membuat sosok itu untuk jujur.
"Nggak ada. Kamu nggak usah khawatir. Aku hanya kurang enak badan. Mungkin semalam kurang istirahat dengan baik." Aku hanya menarik nafas pendek mendengar ucapannya.
"Mau dibuatin kopi? tawarku.
"Boleh. Biar nggak ngantuk!" Aku tersenyum dan beranjak sambil mengelus rambutnya penuh kasih sayang. Ada yang berbeda dari tatapannya. Tatapan putus asa. Yang selama ini tidak pernah aku lihat.
Di ruang pantry aku menyedu kopi. Sesaat kemudian, aku teringat mau ke kantor keuangan. Sejenak aku tinggalkan kopi itu. Sedikit tergesa aku menuju ke ruangan pak Fito.
Dengan nafas agak tersengal aku mendekati laki-laki itu. "Pak! Apa ada yang mau dibicarakan?" tanyaku sesampainyabdidekatnya. Fito menoleh keasal suara. Tersenyum sekilas padaku.
"Move! Sepertinya jangan bicara di area kantor. Sepulang kerja kita ke cafe." Aku mengangguk. Setelah itu aku minta pamit untuk kembali ke ruanganku. Karena sudah terlalu lama aku meninggalkan kopi yang kusedu tadi. Dari pembicaraan itu, baik aku dan pak Fito tidak pernah menyadari, kalau ada beberapa pasang mata yang sedang mengawasi kami.
"Kopinya Pak," Aku menyodorkan minuman itu ke hadapannya. Laki-laki itu menatapku lama.
"Apa ruang pantry sekarang sudah pindah ke lantai bawah? Sampai kamu begitu lama membuatnya Move?" Aku tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. Kuambil kopi itu dan kusuapkan kemulutnya. Dengan pelan dia meneguknya. Wajahnya semakin keliatan pucat.
"Jangan sakit ya? Kalau memang ada masalah yang berat bisa cari solusinya," Kalau kamu tidak percaya dengan aku, kamu bisa bicara dengan orang terdekat kamu yang bisa dipercaya."
Ray Dinata! Laki-laki berwajah tampan dan arogant itu menatapku teduh. Dia menggenggam tanganku dengan lembut dan hangat.
"Percayalah padaku! Aku tidak apa-apa. Nanti jangan lembur ya? Pulang lebih awal. Hari ini, aku tidak bisa menemanimu. Ada urusan keluarga." Aku agak kaget mendengar ucapannya. Kuukir senyum lagi di bibirku untuk menenangkan hatinya.
Ada yang mengganjal di hatiku. Perubahan sikap Ray yang begitu keliatan, membuatku penasaran. Raut muka yang begitu terlihat sedih dan putus asa. Membuatku iba dan terenyuh. Aku yakin ada madalah berat yang membuatnya terpuruk seperti itu.
BERSAMBUNG