Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Masku Sayang

Fani sedang membuatkan sarapan untuk suaminya tercinta. Rambutnya basah tergerai, baju kaos kebesaran dengan celana pendek sepaha serta apron bergambar hello kitty, menemaninya di dapur pagi ini. Terlalu fokus memasak, Fani tak menyadari kehadiran Tiyan di belakangnya. Lengan Tiyan memeluk pinggul Fani.

"Astaghfirulloh,kaget Ade Mas!" Fani terpekik sambil mengurut dadanya.

"Masak apa sih sayang? Sampe ga tau ada suami di dekatnya?" bisik Tiyan mesra.

Fani berbalik, menatap senang wajah suaminya yang segar habis mandi.

"Masak nasi digoreng, Masku," jawab Fani sambil mengedipkan sebelah matanya, lalu berbalik lagi mengaduk nasi dipenggorengan.

"Seksi banget sih lagi masaknya, Mas jadi... pengen lagi," bisiknya sambil mengecup pundak istrinya, tangannya sudah melancong ke tubuh bagian atas istrinya. Fani hanya mendesah pasrah, alu mematikan kompor dengan kesadaran yang sudah setengah ambyar.

Panci, telenan, kompor dan penghuni dapur lainnya menjadi saksi betapa panasnya udara pagi ini, melihat sepasang suami istri bergelut di atas meja makan, saling memuji dan merintih.

I love u mas

I love you too De

Kegiatan ditutup dengan kecupan manis dan kata-kata manis antara keduanya. Mereka terlihat sudah sangat lapar, menunda mandi hadas besar, mereka sarapan terlebih dahulu. Fani mengambil handuk dan hendak masuk ke kamar mandi, saat akan menutup pintu, Tiyan mengganjal dengan kakinya. "Mandi bersama yuk De!" ajak Tiyan dengan tatapan nakal.

"Gak aah, nanti malah ga jadi mandi, gituan lagi, cape Mas," gerutu Fani. Namun, wajahnya merona malu, suaminya tak sudah-sudahnya menggempurnya dari malam hingga pagi.

"Mas janji ga aneh-aneh deh, kecuali terpaksa," ucap Tiyan lalu dengan sedikit memaksa mendorong Fani masuk ke kamar mandi.

Fani tiduran di kursi panjang depan televisi, tenaganya habis, intinya perih dan seluruh persendiannya serasa mau copot. Tiyan tersenyum penuh senang. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. "Mas ga ke rumah sakit?" tanya Fani saat melihat Tiyan sedang menghampirinya duduk di kursi.

"Mas sudah izin tadi sama Pade Warmo, hari ini ga kerja dulu, mau ngerjain istri aja,"goda Tiyan.

Puukk!

Fani memukul Tiyan dengan bantal kursi. "Ga mau aahh Mas, Ade udah ga kuat, masih perih."Fani memohon. Tiyan melihat ekspresi memohon Fani hanya tertawa.

"Iya saayang, udah kok, kasian kamu, maafin Mas ya." keduanya fokus melihat layar televisi yang menampilkan acara masak-memasak.

****

"Pembangunan rumah sakit bersalinnya sudah berapa persen, Mas?" tanya Fani membuka obrolan siang ini bersama Tiyan yang tengah asik memberi makan kura-kura peliharaannya.

"Masih lima puluh persen, De. Masih panjang perjalanan," jawab Tiyan.

"Trus, kos-kosan tiga puluh pintu itu kapan mulainya Mas?"

"Mungkin semingguan lagi De, nanti tim Mas yang ngerjain tentu aja Mas yang kontrol," jelasnya.

"Keren suamiku ih, udah jadi bos,"puji Fani sambil mencubit gemas pipi Tiyan.

"Mana ada bos bangunan De, tetap aja namanya tukang bangunan."

"Tapi, bangun rumah besar untuk orang lain aja aku bisa De, apalagi bangun rumah tangga kita, insya Allah mudah De, asal kamu terus sama Mas,"ucapnya kini sambil menatap wajah istrinya dengan penuh cinta. Wajah Fani merona.

"Semoga Allah segera titipkan disini anak kita ya, De?" sambil menepuk halus perut Fani.

"Aamiin,"sahut Fani mengaminkan.

"Yuklah kita coba lagi!" kini Tiyan sudah mengangkat tubuh Fani seperti karung beras.

"Ya Allah, Mas! Turunin gak, Maas...ga mau aahh..udah tadi..." suara Fani menghilang setelah pintu kamar tertutup.

Di area pembangunan kos-kosan. Mata Munos menatap serius gambar rancangan yang telah diberikan arsiteknya. Pade Warmo menghampiri.

"Pak Karim, hari rabu mungkin tukang sudah mulai datang, Pak."

"Oke Pak, bicarakan saja dengan Mas Tiyan apa yang perlu dikerjakan terlebih dahulu, oh ya saya tidak melihat Mas Tiyan hari ini Pak. Ke mana dia?" tanya Munos.

"Izin dulu hari ini Pak, katanya mau pacaran sama istrinya," ucap pade Warmo polos sambil menyeringai.

"Ohh...gitu." Munos tersenyum.

"Memangnya istrinya cantik, Pak?" tanya Munos mendadak penasaran.

"Ga terlalu cantik juga sih, Pak. Hanya enak dilihat saja, dan sangat sopan, makanya Tiyan sangat menyayangi istrinya yang dari kota itu.

"Ohh..gitu, memang tak harus selalu cantik untuk mendapatkan cinta, ya kan Pak Warmo." Kepalanya mengingat Fani, wanita yang telah ia lukai begitu dalam. Raut wajahnya seketika sendu. Mantan istrinya itu kini telah bahagia, entah di mana dia sekarang. Ingin rasanya mengulang waktu, menyesali perbuatannya setiap malam, memohon pada penciptaNya, agar diberi kesempatan memperbaiki kesalahan dan menebus dosa. Munos masih bermonolog. Pandangannya kosong.

"Betul sekali, Pak." Munos menoleh.

"Istri mas Tiyan dari kota, emang kotanya di mana Pak?" tanya Munos lagi.

"Bekasi kalau ga salah."

Deg!

Dada Munos berdebar. "Mmmhh...maaf Pak, mau tanya lagi," ucap Munos hati-hati agar tak mencurigakan, dadanya semakin berdegub kencang.

"Soalnya saya punya teman orang Bekasi, waktu dia nikah saya tidak datang, jadi tiba-tiba saya ingat dia,"ucap Munos berbohong.

"Nama istrinya Tiyan siapa, Pak?"tanya Munos kian berdebar.

"Fani, tapi lengkapnya siapa saya tak tahu."

Munos berkeringat dingin, semakin dia yakin bahwa Fani yang dia cari adalah Fani yang dibicarakan Pade Warmo. Tapi dia harus memastikannya.

"Ehh, kita jadi membicarakan istri orang jadinya, maafin saya Pak," ucap Munos berpura-pura sungkan.

"Ga papa, Pak, saya maklumin, bapak lagi kangen sama istri di Jakarta ya?" tanya Pakde Warmo.

"Ehh..iya, Pak," jawab Munos kikuk.

Di pusat perbelanjaan kota Malang, Tiyan mengajak Fani masuk ke area pakaian dalam wanita.

"Mas, mau ngapain ke sini?"tanya Fani heran.

"Pakaian dalam Ade masih bagus semua Mas, masih baru lagi," lanjut Fani.

"Mulai sekarang Mas mau kamu tidur pake baju tidur kayak kemarin, apa namanya yaa...itu yang seksi menerawang ada rendanya." Mata Tiyan membayangkan tubuh Fani yang memakainya.

"Maksud Mas, Ade tidurnya pake lingerie?" mata Fani melotot tak percaya.

Tiyan mengangguk pasti.

"Mbak, carikan lingerie yang seksi yang paling bagus." pinta Tiyan pada pelayan toko.

Pelayan toko memberikan empat set lingerie bewarna ungu, hitam, merah, dan biru dongker.

"Saya beli semua," ucap Tiyan, sedangkan Fani masih melongo tak percaya.

"Mass, kebanyakan itu," protes Fani.

"Ga papa sayang, buat ganti-ganti, masa pake yang itu-itu lagi, nanti malam pake yang biru yaa!" Mata Tiyan mengerling nakal.

"Apaan sih, Mas?" Fani mencubit lengan Tiyan. Wajahnya menunduk malu saat si pelayan toko tersenyum ke arah mereka. Setelah membayar di kasir, Tiyan mengajak Fani untuk makan siang di sebuah restoran, dengan menu masakan yang sangat enak, pengunjung bisa melihat langsung para chef mengolah masakannya. Restoran tersebut bernama "Imperial Kitchen" .

"De, Mas mau bicara sesuatu,"ucap Tiyan mendadak serius. Saat mereka tengah duduk menunggu makanan datang.

"Ada apa, Mas?"

"Eehhmm..tapi Ade jangan tersinggung ya, De."

"Iya sayang, ada apa sih? Ade jadi deg-degan." Fani menepuk-nepuk dadanya.

"Mau ga kamu memakai hijab, De?"tanya Tiyan hati-hati.

"Mas ga mau tubuh kamu yang molek ini dinikmati mata orang lain De, cukup Mas yang boleh melihatnya," lanjut Tiyan lagi dengan hati-hati. Fani masih terdiam, dalam hatinya ia juga sebenarnya ingin memakai hijab.

"Eemm...Iya Mas, Ade mau," jawab Fani pasti.

"Alhamdulillah...makasih, Sayang." Tiyan mencium pucuk kening Fani.

"Tapi Ade ga punya baju muslimnya, Mas," ucap Fani lagi.

"Ga papa, dari sini kita belanja baju muslim untuk Ade ya." Tiyan menggenggam erat tangan Fani.

Fani tersenyum penuh bahagia. "Ya Allah terimakasih Engkau telah hadirkan kebahagiaan ini untukku dan suamiku, semoga kebahagiaan selalu bersama kami," ucap Fani dalam hati.

****

Sebulan berlalu semenjak Fani memakai hijab, dia merasa sangat nyaman dan cantik dengan hijabnya.

"Maaf Mas, Ade datang bulan,"lirih Fani, padahal ia berharap segera mengandung setelah hampir dua bulan dia dan suaminya rutin melakukan hubungan suami istri.

Tiyan tersenyum saat melihat Fani keluar dari kamar mandi dengan tatapan sedih. "Ga papa sayang, nanti kita coba lagi ya!"ucap Tiyan tulus sambil mencium kening istrinya.

"Oh ya De, Mas dua hari ke depan mau ke Jogya De sama Mbok, sepupu Mas nikah, kamu mau ikut De?"tanya Tiyan.

"Mau Mas, Ade mau ikut, tapi...lusa Ade ujian praktek, Mas."

"Ya udah lain kali saja ndak papa, De."

"Tapi nanti kalau Ade rindu bagaimana?" Fani merengut.

"Kan bisa video call sayang, lagian Mas gak lama kok, kasian mbok kalau ga ada yang menemani."

"Iya Deh Mas, ga papa."

Sementara itu Munos tengah duduk di ruang televis rumah yang dikontraknya, tak jauh dari lokasi proyek kos-kosan yang sedang dibangun. Sambil melihat-lihat media sosial dan membalas beberapa email perihal pekerjaan.

Beep!

Beep!

Suara ponsel dengan logo apel tergigit itu berdering.

Jojon memanggil...

[Hallo]

[Pak saya dapat info perihal Ibu Fani]

[Cepat katakan]

[Ibu Fani tinggal di Malang Pak, tepatnya di jalan Raya Blimbing Indah Nomor lima puluh dua. Suaminya bernama Septiyan atau biasa dipanggil Tiyan bekerja sebagai mandor kuli bangunan yang cukup dikenal di daerahnya.]

Munos mendengar penjelasan dari orang suruhannya dengan seksama. Dadanya bergemuruh saat Jojon menyebutkan nama Septiyan. Yah, tidak salah lagi Fani adalah istrinya Septiyan orang yang dia kenal.

Antara senang dan sakit dirasakan bersamaan. Cepat diketiknya nomor ponsel papanya pak Karim.

[Hallo Assalamualaikum Pa, aku menemukan Fani Pa, akan segera kubawa menemui Mama, sampaikan pada Mama ya Pa, aku janji secepatnya Pa.]

Tak sabar menunggu esok, Munos sampai tak bisa tidur dengan tenang karena ia akan segera bertemu dengan mantan istrinya, wanita yang mungkin kini telah ia cintai tanpa ia sadari.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel