BAB 2
BAB 2
HAPPY READING
***
Poppy masuk ke dalam kamar, ia ingat betul apa yang telah terjadi antara dirinya dan Harvey. Bayang-bayang mereka ketika di New York masih ada dalam ingatannya. Poppy menyimpan tas nya di meja, ia lalu membuka jas dan ia gantung di dalam lemari.
Poppy lalu masuk ke dalam kamar mandi, ia membersihkan diri. Beberapa menit membersihkan diri, Poppy mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur satin. Poppy duduk di sisi tempat tidur, ia membuka gallery ponselnya, ia melihat foto dirinya dan Harvey sedang berfoto di Central Park.
FLASH BACK
Beberapa jam kemudian mereka transit ke Abu Dhabi. Lamanya transit memakan waktu empat jam. Poppy dan Harvey memilih ngopi sebentar di bandara. Harvey menyesap kopinya dan Poppy secangkir coklatnya. Mereka menikmati perjalanan jauh berdua dicuaca musim semi di kota New York. Harvey memandang Ova dan Victor yang berada tidak jauh darinya. Pria itu memilih makan ramen dan soft drink.
“Itu yang namanya Jovanka?” Tanya Poppy membuka topik pembicaraan, memperhatikan wanita berkemeja putih. Ia akui bahwa wanita bernama Ova itu cantik dan wajahnya tidak kalah cantik dengan pramugari yang berada di pesawat Qatar airways yang mereka tumpangi tadi.
“Iya.”
“Itu pacar nya ya?”
Harvey meraih cangkir dari meja dan ia angkat, lalu menyumprut secara perlahan, “Katanya sih begitu?”
“Posesif banget kayaknya, liatin bapak kayak nggak suka.”
Harvey seketika tertawa, ia menatap poppy yang menyesap coklat hangatnya, “Sepertinya begitu.”
“Bapak suka sama dia?”
Harvey seketiika memandang Poppy, “Kenapa kamu berkata seperti itu?” Tanya Harvey.
“Feeling aja sih.”
“Coba jelaskan kepada saya, kenapa kamu mengatakan bahwa saya tertarik pada dia?” Ia ingin tahu pemikiran Poppy tentangnya.
Poppy menatai iris mata Harvey, “Sebenarnya gini, kelihatan sih kalau kamu suka sama dia. Saya melihat kamu crush atau romantical interest pada diri kamu. Kamu agak jaim kalau ditanya tentang wanita itu, padahal sebenernya kamu tertarik. Kelihatannya sih cuek, “ah sudahlah dia udah punya pacarnya” itu ngomong di depan saya. Tapi kalau udah berdua dengan dia, pasti kamu mulai bersikap lembut, perhatian, romantis dan memujinya.”
Harvey lalu tertawa, ia memandang Poppy, “Sok tau kamu.”
“Bener nggak?”
“Hemmm.”
“Intuisi saya berkata seperti itu. You jealous huh, with that guy?”
“Oh Jesus, sok tau lagi kamu, kalau saya jealous.”
Poppy tertawa, ia melirik Harvey, “Pria memang lebih ekspresif saat sedang menyukai wanita incarannya. Kadang si wanita biasa kurang tanggap. Kalau wanita itu simple, jika dia suka, maka mulai mencari tahu ke mana kamu pergi ? Dengan siapa? Satu hal kalau dia suka maka akan dengan menyediakan waktunya dengan kamu.”
“Saya juga melihat kamu mencuri pandang dalam segala kesempatan, dan sekecil apapun itu.”
Harvey menarik nafas panjang, sebenarnya ia tidak terlalu suka jika Poppy menjelaskan kepadanya. Seolah Poppy sudah membuka aib nya terlalu banyak, ingin sekali membungkam bibir itu agar tidak berhenti ngomentari isi hatinya.
“Kamu pernah mendengar pepatah ini nggak? Kalau mereka menyukaimu, maka akan membalas chatmu lebih cepat. Jika mereka menyukaimu maka akan menatapmu secara diam dan lama. Dan jika menyukai maka kamu akan berusaha membuatnya bahagia.”
“Saya memperhatikanmu dengan dalam dan fokus. Kamu menunjukan ketidak sukaan kepada pria itu tanpa beralasan, seharusnya dari awal kamu kalau tertarik mengatakan langsung, yah akibatnya kamu kecolongan.”
“Saya bisa merasakan apa yang kamu rasakan.”
Kata-kata Poppy membuat jantung Harvey berhenti berdetak, ia menatap iris mata Poppy wanita itu seolah mengatakan, “Just let it go. Kerjarlah yang membuat kamu bahagia, jangan biarkan hatimu tersiksa.” Poppy menyesap coklat hangatnya dan menaruh telapak tangannya di meja.
Harvey merasa, baru pertama kalinya ada seorang wanita yang benar-benar mengerti tentang hatinya. Bagiaman Poppy tahu tentang kelemahannya. Ia memegang punggung tangan Poppy, seketika mereka saling berpandangan satu sama lain. Poppy menjauhkan tangannya namun Harvey menolaknya dan malah menggenggam jemari itu dengan erat.
Ia tidak tahu kenapa harus Poppy yang berkata seperti itu kepadanya? Kenapa bukan wanita lain?. Harvey menarik tangan Poppy dengan paksa, lalu kedua tangannya memegang kepala Poppy dan memaksakan wanita itu mendongak.
“Saya tidak suka kamu mengomentari soal pribadi saya,” Harvey menggeram.
Harvey hilang control ia lalu mencium Poppy, ia betul-betul melumat bibir Poppy dengan lidah merajalela. Ia ingin memberikan pelajaran kepada Poppy agar tidak mencampuri kehidupan pribadinya yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
Bagaimana wanita ini mengerti tentang soal percintaan, padahal dia sendiri menjalani percintaan yang toxic dan busive. Baginya kehidupan percintaanya hanya dirinyalah yang tahu, tidak perlu ada orang yang menjelaskan apa yang terjadi. Jujur ia cukup tersinggung dengan ucapan Poppy. Ia tidak peduli ada beberapa orang melihatnya mencium Poppy di depan umum.
Ia dapat mencium aroma bunga peoni dan mawar yang baru mekar dari tubuh Poppy. Ia masih mengesap bibir tipis itu dan ritmenya semakin cepat. Oh God, ia tidak menyangka bahwa bibir Poppy semanis ini. Rasanya bibir Poppy seperti coklat lezat seakan tidak ingin berhenti. Harvey mengontrol emosinya dan menarik diri, namun yang ia rasakan Poppy membalas ciumannya.
Bibir mereka bersentuhan lagi dan mereka menciumnya sangat dalam dan hangat. Ia tidak mengerti kenapa Poppy membalas kecupannya, kecupannya sangat lembut. Jika ia tidak memikirkan bahwa mereka sedang berada di bandara, mungkin ia sudah menjatuhkan tubuh wanita itu ke ranjang.
Harvey berusaha sekuat tenaga lalu melepaskan kecupannya, ia mengatur nafasnya, memandang bibir Poppy yang sedikit bengkak karena dikecup olehnya. Mereka saling menatap beberapa detik, kini mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Poppy menutup wajahnya dengan tangan, Oh God, apa yang telah ia lakukan terhadap Harvey. Kenapa ia mencium balik pria itu, harusnya ia menendang pria itu karena telah lancang menciumnya. Poppy menutup wajahnya dengan tangan. Ia hampir gila memikikan ini, kenapa ia bisa mencium seorang pria yang jelas-jelas bukan status kekasihnya. Harusnya ia memikirkan Nathan. Poppy lalu berdiri dan beranjak dari kursinya namun, Harvey menahan tangan Poppy yang ingin menjauhinya.
Poppy menelan ludah, ia memandang jemari Harvey di permukaan tangannya. Pria itu menatap bibir nya terangkat namun tanpa senyum.
“Kamu mau ke mana?” Tanya Harvey.
Poppy menarik nafas, ia memalingkan wajahnya menolak tatapan Harvey yang memandanganya intens. Jantungnya berdegup kencang, entah apa itu, yang belum ia rasakan kepada Nathan.
“Saya mau ke toilet,” ucap Poppy pelan.
Harvey menarik nafas panjang, ia juga beranjak dari kursinya, “Saya antar kalau begitu. Saya takut kamu tersesat dan tidak menjamin aman jika pergi sendiri.”
Poppy menelan ludah, bisa-bisanya Harvey memikirkan bahwa dirinya akan tersesat, ia pernah ke Eropa sebelumnya dan ia juga sering ke luar negri waktu liburan. Bahkan ia sangat fasih berbahasa Inggris, ia bisa membaca setiap tulisan yang menggunakan bahasa Inggris di sini. Hanya saja tadi ia mengatakan bahwa ke New York baru pertama kalinya. Dan ini Dubai, yang terkenal dengan keamanannya.
“Yaudah kalau gitu,” ucap Poppy pada akhirnya, ia tidak kuasa menolak.
Sepanjang perjalan menuju toilet mereka hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Harvey melihat Poppy menyeimbangi langkahnya, mereka melihat papan sesuai petunjuk dan lalu menemukan toilet yang mereka cari. Ketika ia bangkit dan berpikir bahwa betapa istimewanya hidup, bernafas, berpikir, menikmati dan untuk mencintai.
***
“Sorry sir, only one room is available.”
“Single bed or twin bed?” Tanya Harvey.
“Single bed.”
Harvey menatap Poppy yang berdiri menunggunya yang sedang bertransaksi di meja counter receptionis. Harvey melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 22.30 menit.
“Sudah?” Tanya Poppy memandang Harvey.
“Sisa satu room, itu juga single,” Harvey mencoba menjelaskan.
“Jadi kamu tadi nggak booking dulu?”
“Ya nggak, biasa kalau di New York room selalu available, apalagi cuaca lagi dingin. Mungkin ini sudah malam juga, room sisa satu. Kalau mau cari hotel lagi, udah keburu malam. Kamu mau cari hotel lagi nggak?” Tanya Harvey.
Poppy melirik jam melingkar di tangannya, ini suda terlalu larut dan ia juga sangat lelah untuk mencari hotel lagi, apalagi cuaca sedang dingin. Poppy melirik ke arah pintu lobby ia memandang beberapa pasang tamu masuk.
“Jadi gimana?” Tanya Poppy lagi, sebenarnya ia sedikit khawatir jika berduaan dengan Harvey di kamar hotel yang sama. Mengingat bahwa mereka sudah berciuman tadi di bandara, bayang-bayang itu masih teringat jelas, bagaimana hasratnya mencium Harvey balik.
“Enggak apa-apa ya, pesen ini dulu. Besok kita pesan dua kamar terpisah, udah capek banget soalnya,” ucap Harvey, karena mereka seharian di atas udara. Rasa lelah dan kantuk pasti mereka rasakan.
Poppy lalu mengangguk, “Yaudah nggak apa-apa,” ucap Poppy.
Harvey melangkah mendekati meja counter lagi, ia memesan kamar single bed. Jujur ini bukan maunya, ia mengatakan kepada Poppy bahwa mereka akan di kamar terpisah, namun ketika tiba di hotel Hilton room hanya tersisa satu saja.
Harvey melakukan transaksi pembayaran, ia lalu mendapatkan kunci akses. Poppy mengikuti langkah Harvey masuk ke dalam lift, kamar mereka berada di lantai lima. Harvey menempelkan kartu akses dan lift membawa mereka. Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka dan mereka melangkah menuju koridor.
Harvey menghentikan langkahnya tepat di nomor kamar 505. Victor menempelkan kartu akses dan Harvey membuka hendel pintu. Harvey memasukan kartu itu di dekat sklar dan otomatis lampu menyala. Kamar hotel seperti kamar hotel pada umumnya.
Ketika masuk di sambut dengan kamar mandi dan walk in closet. Di sana terdapat tempat tidur dan di dekat jendela terdapat satu sofa berwarna tosca dan meja berwarna senada. TV flat berukuran besar di depan tempat tidur, di bawahnya terdapat panel kayu yang difungsikan untuk meja kerja, disitu juga terdapat kursi kayu yang bisa berputar.
Kamar ini terasa hangat, ia melihat ke arah jendela, gedung-gedung pencakar langit terlihat di sana. Poppy membuka sepatu dan juga kaos kakinya. Akhirnya kakinya bisa bernafas, ia juga membuka blezer dan ia menggantungnya di lemari.
Poppy memandang Harvey melakukan hal sama, pria itu membuka jaket kulitnya dan meletakan sepatu itu samping sepatunya. Jujur Harvey dan Poppy merasakan lelah luar biasa karena seharian di atas udara apalagi kualitas tidur kurang baik ketika di pesawat tadi.
Harvey masuk ke dalam kamar mandi, ia perlu mandi air hangat dan setelah itu ia akan tidur, karena besok mereka akan bertemu dengan pemilik subway. Harvey menghidupkan shower dan air hangat menguyuri tubuhnya.
Harvey tidak tahu kenapa ia bisa terebak disituasi seperti ini bersama Poppy. Ia bingung dengan dirinya kenapa tadi ia bisa begitu bersemangat mengecup mencium Poppy, sudah jelas bahwa wanita itu memiliki kekasih. Padahal ia bukan pria yang senang mencampuri urusan wanita yang sudah memiliki hubungan dengan pria lain, apalagi berpikiran untuk berpacaran dengan sekretarisnya sendiri.
Padahal sebelumnya, sekretarisnya jauh lebih cantik dari Poppy, namun Poppy membuatnya terlihat berbeda. Harvey ingin melupakan kecupan itu namun ingatan itu seolah tidak bisa lepas dari kepalanya. Ia masih bisa merasakan bagaimana bibirnya menghisap, mengigit dan memainkan lidah di bibir Poppy. Lama-lama ia bisa gila memikirkan wanita itu.
Sementara Poppy mengambil perlengkapan makeup dan mandinya. Ia tahu bahwa Harvey sedang mandi. Ia juga perlu mandi, karena tubuhnya sudah tidak nyaman. Poppy menyiapkan pakaian tidurnya, akan ia ganti di kamar mandi nanti. Poppy mendengar suara pintu terbuka, ia lalu menoleh menatap Harvey. Pria itu hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya.
Poppy tahu bahwa dibalik handuk itu, Harvey sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Apa jadinya jika ia menarik handuk itu, lalu apa yang terjadi antara ia dan Harvey di sini. Semua orang bisa melakukan apa saja, jika sudah dipengaruhi oleh nafsu dan pikiran tidak terkendali.
“Kamu mau mandi?” Tanya Harvey melangkah mendekati nakas, ia mengambil botol mineral dan membuka tutup botol.
“Iya, bandan saya lengket soalnya, capek juga.”
Harvey meneguk air mineralnya, ia memperhatikan Poppy, “Iya mandi lah, handuknya ada di dalam kamar mandi.
Beberapa detik tidak sengaja mereka saling berpandangan satu sama lain. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Tatapan Harvey beralih ke arah bibir Poppy, inginnya mendekati wanita itu dan menghujami ciuman yang hangat dan dalam. Karena tadi ia sedikit kurang lama dan puas. Seperti ada getaran sulit di artikan.
“Mandilah, setelah ini kita istirahat,” ucap Harvey, memecahkan konsentrasinya.
“Iya,”
***
BAB 26
HAPPY READING
***
Poppy memandang penampilannya di cermin, harusnya ia tidak membawa baju tidur ini ke New York. Menurutnya pakaian tidur ini terlalu sexy jika berduaan Harvey, rasanya kurang pantas. Yang notabene bukan siapa-siapanya. Namun hanya ini lah baju tidur yang ia bawa ke New York, ia juga tidak membawa pakaian lebih, karena ia hanya bawa sedikit pakaian. Ia ingin mengisi kopernya oleh-oleh untuk orang rumah.
Kemarin ia pikir bahwa ia akan menginap secara terpisah dengan Haarvey. Jadi baju tidur berbahan satin dengan potongan dada rendah ini menjadi pilihannya. Poppy menatap penampilannya di cermin, ia melihat wajahnya tanpa sapuan makeup.
Poppy hanya mengenakan sleeping mask dan pelembab bibir. Ia menarik nafas panjang, memandang sekali lagi pakaiannya menurutnya piyama ini masih normal, hanya berbahan satin lembut dan bukan transparan. Namun pakaian tidur ini berbahan tipis, permukaanya lembut dan licin, jadi mudah tersingkap ke atas walau hanya duduk.
Poppy memberanikan diri keluar dari kamar mandi. Ia menatap Harvey di sana. Pria itu bertelanjang dada. Ia tidak menyangka bahwa Harvey memiliki tubuh yang sempurna. Dadanya bidang, otot bisep di lenganya sangat menggoda dan perutnya ratanya berkotak-kotak, seperti penggilas pakaian.
Poppy yakin, bahwa Harvey sepertinya sengaja memamerkan bentuk tubuh itu kepadanya. Pria itu hanya mengenakan boxer berwarna hitam yang menutup tubuhnya. Pria itu sedang duduk di sofa sambil meneguk beer botol kaca bertulisan Coney Island. Sedetik kemudian tatapan mereka bertemu.
Harvey memandang penampilan Poppy, wanita itu mengenakan piyama sexy berwarna nude dan bra yang dikenakannya tak sengaja mengintip. Ia laki-laki normal punya fantasi tersendiri tentang wanita. Kalau Afgan mengatakan, “Wajahmu mengalihkan duniaku.” Itu benar adanya.
Harvey tahu bahwa daya tarik lawan jenis itu relatif. Ia sebagai laki-laki memiliki preferensi tersendiri mengenai daya tarik wanita. Saat ini ia berhadapan dengan wanita yang menarik perhatiannya. Sangat sulit baginya untuk melewatkan makhluk indah dimuka bumi ini.
Tatapan Harvey beralih ke dada Poppy, kaum pria sepertinya sangat menyukai wanita berdada besar. Namun untuk dirinya tidak terlalu menyukai ukuran dada yang berlebihan, dada berukuran cup C itu yang paling ideal menurutnya.
Oh Jesus, kenapa Poppy terlihat sangat sexy dan menggoda. Padahal pakaian yang dikenakan Poppy masih diatas wajar, dia mengenakan piyama bukan lingerie sexy yang transparan. Namun entahlah dia terlihat sangat manis menurutnya.
Harvey menarik nafas, bibirnya terangkat namun tanpa senyum, “Mau bir?” Ucap Harvey kepada Poppy, wanita itu di dekat tempat tidur, sepertinya tidak berniat mendekatinya.
“Enggak deh,” tolak Poppy.
“Duduk sini,” Hervey mengarahkan tatapannya ke sofa yang berada di hadapannya, dia menyuruh Poppy duduk di sofa itu.
“Saya ngantuk,” tolak Poppy.
Harvey memicingkan matanya, “Saya hanya mau ngobrol sama kamu, bukan apa-apain kamu. Kita nikmati malam di kota New York, jarang-jangan loh ke sini,” ucap Harvey.
Kalau Harvey sudah ngomong seperti itu, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Poppy melangkah mendekati Harvey dan lau duduk di sofa tepat di hadapan Harvey dengan perasaan cemas.
“Mau minum?”
“Hemmm.”
“Bir nya seger kok, nggak akan buat kamu mabuk.”
“Yaudah kalau begitu,” ucap Poppy.
Harvey menuangkan bir itu ke dalam gelas dan menyerahkan kepda Poppy. Poppy menatap air berwarna caramel itu di dalam gelasnya. Ia tidak memungkiri ia pernah menegak segala jenis alkohol. Ia tidak perlu pura-pura alim yang tidak pernah merasakan alkohol, apple martin, vodca, brandy, bir bintang, wine an masih banyak lain, sudah ia rasakan sebelumnya. Rasanya memang menyegarkan menurutnya.
Harvey menyungging senyum ketika ia melihat Poppy menegak bir itu. Ia hanya ingin bersantai dan menikmati malam bersama sekretarisnya. Harvey menatap Poppy menghabiskan bir dari gelasnya, ia tidak menyangka wanita itu bisa minum dengan segali teguk.
Poppy mengarahkan pandangannya ke jendela, ia menatap gedung pencakar langit dari ketinggian. Ia tahu bahwa Harvey jika keluar kota atau keluar negri pasti selalu menginap di hotel berbintang yang berada di tengah kota.
“Kamu jetlag nggak?” Tanya Harvey.
“Sedikit. Kamu?”
“Sedikit juga,” ucap Harvey, ia tidak akan membahas tentang ciuman mereka yang telah mereka lakukan di bandara, agar Poppy nyaman berada di dekatnya.
“Gimana menurut kamu kamar ini.”
“Lumayan bagus.”
“Maaf ya, malam ini kita harus tidur di ranjang yang sama. Besok saya pastikan kita tidur terpisah.
“Iya, enggak apa-apa kok.”
Poppy tidak munafik ia pernah menginap dengan mantannya terdahulu di kamar hotel saat usianya masih muda. Awal mula ia mengenal hotel ketika ia kuliah di UPH. Dulu ia memiliki kekasih jurusan arsitek. Saat itu mereka pulang agak malam. Kebetulan mantannya dulu orang diluar Jakarta, pria itu malas untuk pulang ke kost karena jaraknya cukup jauh.
Jadi dia memutuskan untuk menginap di hotel rehat sejenak, karena dia sudah dua hari tidak tidur tugas kuliah yang menumpuk. Sebagai kekasih yang baik ia dengan senang hati menerima ajakan mantannya ke hotel. Lagi pula ia tidak memiliki pekerjaan dan tugas kuliah lagi lengang.
Kita stay di Kasur, berdua, cuaca kebetulan dingin dan dua-duanya horny yaudah terjadilah. Sejak saat itu ia menjadi ketagihan. Setiap dua Minggu sekali mereka menyempatkan diri staycation di hotel walau ia tidak menginap. Jujur ia bukan tipikal wanita bar-bar atau yang senang bergonta ganti pria. Orang rumah taunya ia pacaran hanya sebatas pegangan tangan, makan, terus pulang ke rumah.
Tidak ada yang curiga apa yang telah ia lakukan bersama pacar. Untungnya setiap kali berhubungan mereka mengenakan pengaman jadi tidak terjadi kehamilan. Dan Kekasihnya itu juga bukan pria badboy atau fuckboy, dia lumayan pintar dan anak walikota di Kalimantan. Mungkin semua orang tidak menyangka bahwa kelakuannya seperti itu. Namun itu lah yang terjadi pada dirinya.
Selesai kuliah, dia pulang ke kampung halaman hubungan dirinya dan sang mantan kandas begitu saja. Ia juga tidak terlalu suka dengan pria yang terjun di dunia politik. Sejak saat itu ia tidak pernah berhubungan dengan intim dengan siapapun hingga detik ini. Akhirnya ia memiliki pacar bernama Nathan, dan Nathan tipe pria yang taat agama, dia menganggap bahwa hubungan intim dilakukan setelah menikah. Dan dia menjalankan kudusnya dengan baik. Mereka tidak pernah melakukan apapun keculai berpegangan tangan dan mengecup keningnya.
“Kamu mikirin apa?” Tanya Harvey menatap Poppy.
“Ah, enggak,” Poppy memandang Harvey, ia menatap tubuh pria itu. Ia yakin betapa nyamannya direngkuh tubuh bidang. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika melakukan hubungan intim dengan boss nya ini, apakah permainan mereka bisa panas? Apa dia tipe pria yang bermain kasar? Atau bermain secara halus?
Poppy membuyarkan lamunannya, ia menelan ludah dan memilih mundur melangkah menuju tempat tidur. Oh Jesus, bisa-bisanya ia berpikiran untuk tidur bersama Harvey.
“Saya ngantuk, mau tidur,” ucap Poppy, lalu naik ke tempat tidur.
Poppy menarik bedcover hingga ke dada, lalu mengambil posisi tubuh sebelah kiri. Sementara Harvey menatap Poppy yang sudah masuk ke dalam selimut. Harvey melangkah menuju saklar lampu, ia mematikan lampu kamar, hanya lampu tidur itulah yang menyala. Nuansa hening dan remang tercipta.
Harvey mengambil botol birnya lagi, ia menuangkan ke dalam gelas, ia duduk sejenak di sofa sambil meneguk bir. Sementara Poppy mengubah posisi tidurnya menyamping, ia memandang Harvey di sana. Mereka saling berpandangan satu sama lain dari kejauhan. Poppy mencoba memejamkan matanya, namun ada perasaan gelisah menghantuinya. Lalu kembali membuka mata, ia menatap Harvey kembali di bawah cahaya temaram.
Harvey tidak tahu apa yang dipikirakn Poppy sehingga wanita itu terlihat gelisah. Ia menyimpan gelasnya di meja. Ia memilih melangkah mendekati Poppy, ia memutuskan untuk berbaring di samping wanita itu. Harvey menompang lengannya di kepala, lalu menatap iris mata Poppy.
“Why?” Tanya Harvey pelan, ia memandang Poppy.
“Enggak apa-apa,” ucap Poppy.
“Kamu gelisah?”
“Enggak.”
“Tapi kamu kelihatan gelisah.”
Poppy menghela nafas, ia mengubah posisi tubuhnya telentang, ia menatap langit-langit plafon. Ia merasakan tangan hangat Harvey menyentuh jemarinya. Sentuhan itu seolah menjalar keseluruh tubuhnya. Dada Poppy sesak, tidak bisa bernafas, ia semakin gelisah, dan cemas. Jemari Harvey masuk ke sela-sela jemarinya. Ia tidak tahu berbuat apa dan lalu memilih beranjak dari tidurnya.
Poppy menjauhi Harvey ia berdiri di dekat jendela memandang gedung-gedung pencakar langit. Poppy bersandar di dinding, ia melihat Harvey juga beranjak dari tidurnya. Mereka saling menatap satu sama lain. Ia tahu apa yang ada di dalam pikiran mereka saat ini.
“Don’t …” ucap Poppy pelan.
“Why not, Poppy?”
Poppy menoleh memandang Harvey tidak jauh darinya, “Please …”
“Poppy.”
“Oh God,” Poppy melangkah mendekati Harvey lalu melumat bibir itu begitu saja. Inilah yang ingin ia rasakan dari tadi, ia tidak bisa mengontrol diri lagi hingga melakukannya terlebih dahulu.
Harvey merasakan Poppy memangut bibirnya, kecupan-kecupan itu sangat lembut. Harvey memegang kepala Poppy dengan jemarinya, agar ia bisa mengecup bibir itu dengan laluasa. Harvey membalas kecupan itu pelan dan dalam. Mereka saling berpangutan, menghisap dan memainkan lidah. Lama-kelamaan kecupan itu semakin ritmenya semakin cepat.
Harvey menubruk tubuh Poppy ke dinding, ia lalu menarik pinggang Poppy merapat ketubuhnya hingga tidak ada jarak antara ia dan Poppy. Tubuh mereka saling menempel dan bergesekan. Mereka saling menghisap satu sama lain, tidak ada yang mau saling mengakhiri.
Tangan Harvey mengeksplor tubuh Poppy tanpa berniat sedikit untuk melepaskan pangutannya. Tangan Harvey aktif menyentuh paha Poppy dan tangannya masuk ke dalam g-string lalu menyentuh dengan jemarinya. Poppy merasakan denyutan hebat pada tubuhnya, ia hilang kendali. Kakinya lemas seperti agar-agar, andai saja tubuh Harvey tidak menompangnya ia tidak bisa berdiri tegak.
Harvey melepas pangutannya lalu beralih ke leher Poppy, mengecupnya secara dalam, menjilat dan mengigitnya lembut. Jantung Poppy maraton, hatinya seakan melayang, disertai ribuan kupu-kupu terbang diperutnya. Desahan lolos dari bibirnya, jujur ia sudah lama mendambakan sentuhan seperti ini.
Poppy sadar apa yang telah ia lakukan, ia tidak seharusnya melakukan ini. Ia seketika teringat Nathan kekasihnya. Poppy melepaskan diri dari Harvey, ia tahu bahwa ini merupakan kesalahan. Poppy lalu menjauhkan diri dari Harvey. Ia mencoba bersikap waras, ia tidak ingin kegilaanya terjadi.
“Stop, please don't touch me,” ucap Poppy, ia tahu ia salah.
Poppy lalu menuju tempat tidur ia masuk ke dalam bed cover dan lalu memejamkan matanya. Ia tidak akan membuka matanya walau Harvey menyentuhnya lagi. Harvey menarik nafas, ia menatap Poppy di tempat tidur. Ia menyungging senyum dan lalu mendekati tempat tidur. Ia berbaring tepat di samping wanita itu.
“Good night, Poppy,” ucap Harvey, kali ini ia tidak menyentuh wanita itu dan ia tidak akan memaksa Poppy melakukannya.
***
Poppy menatap penampilannya di cermin, ia mengenakan mini dress bewarna navy berbahan satin dengan potongan leher rendah. Rambut panjangnya ia gerai agar punggungnya tertutup oleh rambutnya. Tidak lupa Poppy menyemprot minyak wangi ke lehernya. Ia teringat apa yang telah ia lakukan kepada Harvey kemarin. Semenjak ciuman itu ia berusaha menghindari Harvey, ia kemarin bersikap professional menemani Harvey bertemu dengan pemilik Subway. Setelah itu mereka memutuskan untuk pulang.
Poppy melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 08.30 menit. Ia berniat untuk sarapan, karena perutnya sudah berdemo untuk di isi. Poppy mengenakan high heelsnya dan ia lalu keluar dari kamar. Ia melangkah menuju koridor dengan tenang, ia melewati kamar Harvey yang masih tertutup rapat. Ia berharap tidak bertemu Harvey pagi ini, karena ia mati-matian kemarin tidak keluar kamar.
“Poppy !”
Oh God, ia tahu siapa pemilik suara berat itu, dia adalah Harvey. Padahal tadi ia berharap tidak bertemu dengan pria itu. Baru saja ia melangkah meninggalkan roomnya, siapa sangka pria itu keluar juga. Poppy lalu menoleh kebelakang ia memandang Harvey di sana.
Pria itu mengenakan kemeja berwarna biru dongker dan celana jins. Poppy nyaris tidak percaya bahwa bisa-bisa ia dan Harvey mengenakan pakaian berwarna biru yang sama.
“Hai,” ucap Poppy tenang.
Harvey memandang Poppy, wanita itu mengenakan dress berwarna biru. Dress yang dikenakannya cukup sexy, menurutnya, punggung mulusnya terlihat jelas. Harvey melangkah mendekati Poppy. Bibir wanita itu terangkat dan dia tersenyum.
“Mau breakfast?” Tanya Harvey.
“Iya.”
“Sama-sama kalau begitu,” ucap Harvey menyeimbangi langkah Poppy.
Harvey dapat mencium aroma bunga peony segar dari tubuh Poppy. Ia tahu bahwa itu sudah menjadi parfum khas tubuh Poppy. Ia tidak pernah bosan mencium wangi tubuh Poppy. Bahkan seharian ia rela mencium seluruh tubuh wanita itu.
Harvey melirik Poppy mereka masuk ke dalam lift, “Kamu cantik sekali pagi ini.”
“Thank you,” ucap Poppy.
“Kita nggak janjian kan pakek baju warna yang sama.”
“Enggak.”
“Kenapa bisa sama?”
“I don’t know.”
Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka, mereka melangkah menuju restoran. Tamu hotel sudah banyak mengisi table dan mereka melangkah menuju buffet. Poppy menyeduh teh hangat, dan orange jus. Sedangkan Harvey kopi dan air mineral.
Poppy mengambil salad, oatmeal, dan sandwich. Sedangkan Harvey Omelet, waffle, full breakfast yang berisi bacon, roti panggang, telur, beked beans dan tomat goreng. Mereka duduk di kursi kosong di dekat kolam. View hotel ini cukup bagus dan menenangkan. Jika keluar dari hotel maka ia akan melihat keramaian dan kesibukan kota.
Harvey menyesap kopinya, ia melirik Poppy sedang memakan salad dengan tenang. Sedangkan dirinya memakan full breakfast.
“Tidur kamu bagaimana tadi malam?” Tanya Harvey membuka topik pembicaraan.
“Nyenyak, kalau kamu?” Tidak sah rasanya jika ia tidak bertanya balik, apalagi pria itu boss nya.
“Tidur saya baik. Hari ini kamu akan ke mana?” Harvey memasukan makanan ke dalam mulutnya.
“Pengennya sih beli oleh-oleh buat orang rumah. Tapi nanti sore aja, pengen tiduran lagi di kamar,” ucap Poppy sekenanya.
“Enggak mau keliling kota New York?” Harvey memberi opsi.
“Hemmm, pengennya sih.”
“Kalau kamu mau keluar, kita bisa keliling sama-sama. Soalnya jarang-jarangkan, ke New York.”
“Iya sih bener.”
“Kamu mau ke Times Square?”
“Mau, kepikiran mau ke sana.”
“Yaudah ke sana, sekalian beli oleh-oleh untuk orang tua kamu.”
“Iya, tapi nanti naik ke atas dulu ya. Soalnya tas saya di kamar.”
Harvey mengangguk, “Iya.”
Harvey melirik Poppy, sebenarnya ada hal yang ingin ia tanyakan kepada wanita itu, kenapa kemarin Poppy menciumnya? Kenapa dia menciumnya terlebih dahulu? Apa yang membuatnya berkeinginan melakukan itu? Apa yang wanita itu rasakan setelah menciumnya? Kenapa itu bisa terjadi. Pertanyaan-pertanyaan itu terngiang dikepalanya. Harusnya ia tidak bertanya agar Poppy tidak merasa malu ataupun menjaga jarak dengannya. Yang seperti wanita itu lakukan kemarin, bahkan Poppy rela tidak keluar kamar.
“Besok kita sudah pulang.”
“Iya.”
Poppy kembali memakna sandwich nya. Ia melirik Harvey menghabiskan full breakfastnya. Kini pria itu memakan omlet lihatlah betapa tampannya pria itu.
“Kenapa kamu memperhatikan saya.”
Poppy tidak percaya bahwa Harvey menyadari bahwa ia memperhatikannya. Poppy mengambil gelas berisi orange jusnya. Ia menyelipkan rambut ke telinga.
“Makan kamu sangat baik,” ucap Poppy, untung saja ia melihat Harvey piring kosong di samping gelas kopi pria itu.
Poppy kembali memakan sandwichnya. Ia melihat pria itu menyungging senyum.
“Inginnya sih makan kamu, mumpung lagi di New York, cuaca dingin, dan kita juga di hotel, timeline nya sangat tepat. Cuma kayaknya kamu lagi jaga jarak sama saya, jadi pelampiasnya ke makanan dan bir,” ucap Harve to the point.
Poppy menelan ludah, ia cukup paham arah pembicaraan Harvey secara blak-blakan itu. Ia tidak bisa membayangkan kalau sampai ia bisa tidur dengan boss nya sendiri. Poppy tidak menjawab ucapan Harvey, ia menghabiskan saladnya. Pikirannya tidak tenang jika Harvey sudah membahas urusan ranjang.
Mereka saling berpandangan satu sama lain beberapa detik. Bibir Harvey terangkat, dan Poppy mengusap bibirnya dengan tisu.
“Kamu sudah selesai makan?” Tanya Harvey melihat Poppy menyilangkan garpu dan sendok di atas piring.
“Iya sudah.”
Harvey juga menyelesaikan makannya. Mereka beranjak dari kursi dan melangkah menuju lift. Sepanjang jalan mereka hanya diam, menelusuri koridor. Harvey menatap Poppy yang enggan memandangnya. Kini langkah Harvey terhenti tepat di depan pintu kamar Poppy.
“Poppy,” ucap Harvey seketika, sebelum wanita masuk ke dalam kamarnya.
“Iya,” ucap Poppy, ia menatap Harvey.
“Kenapa kamu mencium saya malam itu?”
Poppy tahu bahwa Harvey akan bertanya prihal ciuman itu. Jujur ia bingung menjawab apa. Ia tahu bahwa Harvey pada akhirnya akan bertanya prihal ciuman yang telah ia lakukan.
Apa ia harus menjawab bahwa itu merupakan tindakan reflek dirinya. Poppy menelan ludah, ia memberanikan diri menatap mata elang itu.
“Maaf, kemarin saya reflek,” ucap Poppy pelan.
“Tidak ada tindakan reflek untuk sebuah ciuman yang dahsyat, itu dilakukan secara sadar. Beberapa menit kemarin kita ngeflay bersama. I know you want.”
“Apa tindakan itu tidak kamu dapat dari pacar kamu?”
Poppy memejamkan matanya sedetik, ia menghela nafas memandang Harvey dengan berani, “Bisakah kamu tidak membahasnya,” ucap Poppy, ia menempelkan kunci akses pada pintu kamarnya, terdengar kunci terbuka.
“Sepertinya saya mengurungkan niat saya untuk keluar dengan kamu,” ucap Poppy lalu membuka hendel pintu kamar, namun Harvey dengan cepat mendorong tubuh Poppy masuk ke dalam.
Harvey menuburuk tubuh Poppy ke dinding, ia lalu melumat bibir Poppy begitu saja. Ia memangut bibir Poppy, ia menghisap, melumat dan menggigit kecil bibir itu tanpa memberi jeda Poppy untuk berpikir. Kedua tangan Harvey menggenggam erat jemari Poppy ke atas dinding, agar wanita ini tidak memberontak.
Kaki sebelah kirinya menggeser pintu dan seketika pintu tertutup. Ia melihat Poppy memberontak namun Harvey menghimpit tubuhnya dan tubuh Poppy. Ritme kecupannya semakin cepat dan Poppy tidak ada perlawanan lagi. Poppy tidak kuasa untuk memberontak, ia memejamkan matanya.
Poppy tahu apa yang dinginkan oleh Harvey, ia membalas lumatan Harvey. Harvey merasakan bahwa Poppy membalas kecupannya, ia melepaskan cekalan itu. Tangannya menangkup wajah Poppy agar ia dapat mencium bibir itu dengan leluasa. Ia memainkan lidah dan menyesap bibir Poppy.
Mereka saling berpangutan satu sama lain tanpa ada yang bisa menghentikan, Tangan Harvey menelusuri tubuh Poppy, ia merasakan punggung Poppy yang terbuka hingga ke pinggang. Ia tidak tahu, jika diluar kerja, wanita ini mengenakan pakaian mini seperti ini. Saat di kantor Poppy selalu mengenakan pakaian kantornya yang kaku.
Harvey melepaskan bibirnya, kini beralih ke leher jenjang Poppy, aroma bunga peony yang segar membuatnya tidak berpikir jernih. Ia mengangkat tubuh Poppy dan menggendong tubuh ramping itu. Kaki Poppy melingkar di pinggangnya. Ia mengecup leher itu dengan lembut, lidahnya bermain. Ia membawa tubuh Poppy ke tempat tidur.
Harvey kembali melumat bibir Poppy, entah sudah berapa lama mereka saling berpangutan seperti ini. Tidak ada yang ingin menghentikannya.
***