BAB 7
Bab 7
Happy Reading
***
Aslan menarik nafas beberapa detik, ia menatapp Rose. Ia melipat tangannya di dada, memperhatikan struktur wajah Rose. Ia tanpa senyum dan mulai berpikir.
“Saya ke sini ketemu bertemu dengan beberapa klien saya.” ucap Aslan.
“Apa kamu punya pacar?” Tanya Rose.
Aslan menatap Rose, ia mengalihkan tatapannya ke arah jemarinya, di tangannya terdapat cincin berwarna silver. Sebenarnya ia enggan menceritakan ini kepada Rose, namun entahlah ia harus jujur dengan wanita ini.
Akhirnya Aslan memperlihatkan Jamari kirinya kepada Rose, dan Rose memandangnya.
“Saya sudah bertunangan, dua bulan yang lalu dengan salah satu gadis pilihan ibu saya,” ucap Aslan.
Rose mengangguk paham, ternyata pria itu sama seperti circle keluarganya yang ada di Indonesia, tradisi di Timur Tengah sepertinya sama saja. Rasanya agak susah diterima dengan nalar kalau ada orang yang mau nikah karena dijodohkan, di mana manusia sudah modern.
Saat ini semua orang sudah berhak memutuskan apapun tentang hidupnya secara mandiri. Tapi ia pernah membaca sebuah artikel kalau perjodohan di keluarga Turki memang masih ada dan banyak di lakukan.
“Dia sepupu saya, adik dari saudara ibu saya,” ucap Aslan lagi.
“Amazing,” gumam Rose.
Aslan tanpa senyum, “Saya sebenarnya terpaksa menerimanya. Saya hanya datang ke Istanbul, lalu bertunangan, dan lalu saya kembali ke London. Rasanya biasa saja, tidak ada yang special dari hubungan saya dengan sepupu saya itu.”
“Kenapa kamu menerimanya?”
“Karena tidak ada pilihan lain, hanya memenuhi keinginan orang tua saya. Tapi saya pikir, ini hanya bertunangan bisa dibatalkan kapan saja.”
“Tapi tetap saja kamu akan menikah dengannya.”
Aslan tertawa dan lalu wajahnya berubah menjadi serius, “Saya tidak berniat menikah dengannya.”
“Really?”
“Itu yang akan saya lakukan setelah ini. Buat apa menikah dengan gadis yang tidak saya cintai, Rose.”
“Tapi kalian sudah bertunangan.”
“I know, perjodohan di Turki itu sangat wajar. Seorang ibu sangat khawatir berlebihan dengan anaknya yang belum menikah di saat usia saya yang hampir berkepala empat, sudah melewati ambang batas dan mereka merasa wajib mencarikan saya jodoh.”
“Dalam budaya lama orang Turki sendiri menjodohkan anak-anak dengan saudara ataupun teman dekat yang mereka kenal hal biasa, masih kental di sana. Tujuannya sendiri tidak tahu pasti, ada yang bilang harta kekayaan agar tidak jatuh ke orang asing.”
“Padahal hati saya bertentangan dengan budaya saya. Saya ragu ketika menjalani ini semua, karena saya tidak yakin kalau saya bisa menghabiskan sepanjang hidup saya dengan orang yang sama sekali tidak saya cintai. Hanya sebatas kenal bahwa dia sepupu saya.”
“Tidak ada kebahagiaan terlihat dengan pandangan orang yang tidak saling mencintai.”
“Jika kamu berpandangan seperti itu, kenapa kamu pasrah menerima calon yang tidak sesuai dengan hati kamu,” ucap Rose.
“Jika dia bukan wanita pilihan kamu, just leave it. Kamu tidak sedang bermain keberuntungan dalam bermain catur. Kamu harus bisa memilih.”
“Iya kamu benar.”
“Kamu tahu?” ucap Rose.
“Apa?”
“Saya teringat dengan saudara saya Juliet, dia juga hasil perjodohan dengan rekan bisnis orang tua saya. Dia sempat mengalami depresi menikah dengan pria yang tidak dia cintai. Dia tidak sanggup menjalani hari-harinya, rasanya rumah seperti neraka baginya. Bukan karena si pria kasar dan main tangan, no bukan seperti itu. Hanya diam-diaman di rumah, tidak berbicara sepanjang hari itu juga membuat diri tertekan.”
“Saya melihat sendiri bagaimana saudara saya, menjalani pernikahan dengan tersiksa. Tinggal serumah dengan pria yang tidak dia cintai, itu bukan pilihan yang tepat. Tidak ada kebahagiaan di dalam sana. Perjodohan itu seperti sedang menukar kebahagiaan kamu demi kebahagiaan orang tua kamu.”
“Saya tahu, banyak yang mengatakan kalau orang tua ingin terbaik untuk anaknya, tapi itu versi orang tua, bukan versi kamu.”
“Saya pikir, kehidupan kamu 100 persen hak kamu.”
Aslan terdiam mencerna kata-kata Rose. Kata-kata yang dia katakana benar adanya, ia tidak bisa memaksakaan kehendak orang tuanya. Ia sadar seseorang sedang mengomentari hidupnya dan terkesan mengurusi hidupnya, sebenarnya dia sangat peduli dengannya.
“Jika kamu di posisi saya, apa kamu mau dijodohkan?” Tanya Aslan, ia melihat tangannya.
Bibir Rose naik keatas tanya senyum, ia menggelengkan kepala, “No, saya tidak mau. Saya bisa mencari jodoh saya sendiri, sesuai dengan kriteria saya. Saya tidak bisa menggantungkan hidup saya dengan orang yang jelas tidak saya cinta.”
Aslan memandang ke arah cincin pertuangan yang tersemat di jari manisnya. Ia kemarin terpaksa menerima perjodohan itu, ia sejak awal saja tidak yakin dengan pertunangan ia dan sepupunya. Inginnya ia melepas cincin di jari manisnya, ia memandang Rose. Ucapan wanita itu sangat benar, ia tidak bisa menerima wanita yang jelas-jelas tidak ia cintai, walau wanita itu adalah sepupunya.
Harusnya generasi muda saat ini, tidak ada lagi system perjodohan. Apalagi pendidikan dan kaum intelektual pasti memiliki pandangan dan prinsip hidup yang berbeda dengan generasi old nya Turki. Ia tahu anak-anak laki Turki itu dari kecil sudah di doktrin untuk menuruti kemauan ibunya. Menurut mereka itu adalah bentuk bakti. Itu yang ia lihat hasil pengamatannya, tidak heran banyak keluarganya masih melakukan tradisi ini.
Sebenarnya ia tidak sepakat akan hal ini jika disebut bakti, karena ia adalah manusia bebas yang berhak berpendapat dan memilih jalan hidup mereka sendiri. Ia menatap Rose, wanita itu hanya diam setelah mengatakan tidak mau. Kata-kata itu seperti menohok hatinya, harusnya ia tidak menerima perjodohan ini? Harusnya ia waktu tidak ke Istanbul? Ia harusnya tidak peduli status sepupu? Ia menerima itu bukan karena sepupunya cantik dan berpendidikan tinggi, no bukan itu. Ia hanya melakukannya dengan terpaksa.
“Harusnya saya melepas cincin dari kemarin?” Gumam Aslan.
Alis Rose terangkat, ia tidak percaya bahawa Aslan ingin melepaskan cincin itu hanya ia berkomentar tentang perjodohan. Ia hanya menganalogikan perjodohan itu dengan saudaranya yang memiliki nasib yang sama. Ia menelan ludah, seketika bulu kuduknya merinding melihat tatapan tajam itu. Entahlah, tiba-tiba terdengar sangat mengerikan, ia seakan menjadi salah satu orang yang mempengaruhi Aslan melepaskan cincin itu.
Rose melihat jemari Aslan bergerak melepaskan cincin yang ada di jemarinya. Dengan cepat Rose mencegah Aslan melakukannya. Mereka saling menetap satu sama lain. Aslan merasakan kulit lembut Rose berada di bawah permukaan kulitnya. Ini kali kedua mereka saling bersentuhan.
“Jangan lakukan itu,” ucap Rose pelan, mencegah Aslan melepaskannya, ia sangat bersalah jika dirinya menjadi wanita yang menyuruh Aslan berpikir ulang tentang pertunangannya.
Aliran listrik seolah menjalar di tubuh mereka, mereka sama-sama bergeming dan saling menatap satu sama lain. Namun jemari itu kalah cepat dengan jemari Rose, cincin itu sudah terlepas dari jari Aslan. Pria itu tanpa senyum dan melepaskannya begitu saja. Ini prihal kebahagiaanya, ia harus menemukan jalannya sendiri. Orang tuanya sudah tidak muda lagi dan tidak open minded dengan dunia dengan dunia luar.
“Saya sebenarnya tipe pria yang tidak suka di atur. Saya kemarin hanya melakukan itu dengan terpaksa, dan dengan opini kamu menambah kepercayaan diri saya untuk melepaskannya.”
Kata-kata Aslan membuatnya merinding, ia seketika ngeblank begitu saja. Ia melihat Aslan mencondongkan tubuhnya mendekat. Sehingga tubuhnya otomatis bersandar di sisi sofa, ia melihat Aslan mengurung tubuhnya. Ia merasakan hembusan nafas Aslan di bawah wajahnya. Oh God, kenapa dia dengan mudahnya mengatakan itu. Prihal pertunangan tidak segampang itu memutuskan. Dia terlihat seperti pria yang egois tanpa membiacarakan dulu denga orang tua dan tunangannya.
“Tapi sebaiknya kamu menceritakan itu dengan keluarga kamu dulu, jangan mengambil keputusan sendiri,” ucap Rose pelan, ia melihat otot bisep Aslan yang terlihat jelas dari pemukaan kaos yang dikenakannya.
Bibir Aslan terangkat tanpa senyum, ia melihat iris mata Rose cukup serius.
“Jika saya tidak beropini seperti tadi, saya yakin kamu tidak melepaskan cincin itu,” ucap Rose.
“Mungkin …” ucap Aslan.
Kata ‘mungkin’ membuatnya merinding, “Saya merasa bersalah berbicara seperti itu.”
“Kamu tidak salah, saya yang salah karena terpaksa menerimanya,” ucap Aslan datar memandang Rose.
Tindakan Aslan seolah mengintimidasinya, apalagi posisinya seperti ini, ia tidak bisa melakukan selain diam. Harusnya mendorong tubuh Aslan agar menjauh darinya, namun tubuhnya bergeming.
“Bisakah kamu memakai cincin itu lagi?” Ucap Rose pelan.
“Buat apa saya pakai? Saya tidak terlalu kenal sepupu saya itu dan apalagi mencintainya.”
“Jika tidak mencintainya harusnya kamu tidak menerima perjodohan itu,” timpal Rose.
“Saya sudah menjelaskan kalau saya terpaksa.”
Rose menarik nafas, “Harusnya kamu merundingkan dulu kepada keluarga kamu bukan keputusan sepihak, Aslan!” Ia tidak tahu tiba-tiba ia emosi, ternyata Aslan orangnya tidak bisa di kasih paham, dia terlihat sangat keras kepala.
“Itu hak saya, saya menentukan hidup saya!”
Seketika Rose terdiam ketika tangan Aslan berada di wajahnya. Pria itu menyentuh wajahnya dengan jemarinya. Harusnya ia menepis tangan itu, namun ia justru ia membiarkankan pria itu menyentuhnya. Jantungnya semakin berdegup kencang.
“Apa yang kamu lakukan?” Bisik Rose pelan, karena jarak wajahnya dan Aslan semakin dekat, jantungnya tidak bisa ia ajak kompromi lagi dan ia semakin gelisah. Tindakan Aslan seolah ingin menciumnya.
“Saya tidak tahu kamu siapa, kenapa sudah bisa mengusik hati saya,” ucap Aslan, menatap Rose dengan intens.
“Apa maksud kamu …”
Rose menelan ludah, sedetik kemudian tiba-tiba bibir Aslan sudah mendarat di bibirnya. Ia hanya bergeming ketika bibir pria itu memangut bibirnya dengan mengebu-ngebu, dan punggungnya didorong oleh Aslan. Ritme kecupan itu semakin berutal. Harusnya ia menendang pria itu, karena sudah lancang menciumnya. Pria itu menghisap bibir bawahnya tanpa henti, ciumannya semakin dalam, basah dan menyeluruh.
Ia sudah memutar otaknya agar tetap waras, ia bukan wanita desperate, kedatangannya ke Roma hanya ingin menenangkan pikiran. Harusnya ia tidak menerima ciuman berutal ini. Namun justru ciuman mengebu-ngebu seperti ini membuat libidonya naik.
Rose sadar ia harus mengambil nafas, kalau tidak ia bisa pingsan. Namun sepertinya Aslan enggan sedetikpun memberi dirinya jeda untuk mengambil oksigen. Ia tidak percaya bahwa ia selama hidup 28 tahun ini betul-betul mengerti ungkapan “I neea air to breath” lumatan itu berubah menjadi decapan. Ia justru mendesah dan pasrah. Ia tidak percaya bahwa Aslan menciumnya segila ini, membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
Ia menyentuh dada bidang Aslan, Oh Tuhan, kenapa dada Aslan sangat bidang dan keras. Ia tidak bisa menahan hasratnya, dan ia menyeimbangi lumatan Aslan. Ia membalas kecupan itu, dan ia merasakan dorongan dari tangan Aslan, sehingga bokongnya menabrak sesuatu, tubuh mereka saling bergesekan.
Bibir mereka saling memangut tanpa henti, dan bahkan kecupan mereka semakin mengebu-ngebu seolah mereka hanya memerlukan bibir saja. Ia merasakan tangan Aslan mengangkat tubuhnya dan mendudukan ke tubuh pria itu. Dengan terpaksa ia membuka kakinya dan duduk di antara pinggang Aslan.
Bibir mereka saling menghisap dan lidah bermain di rongga mulut. Decapan terdengar seolah mereka dua orang yang sudah lama tidak bertemu. Mereka tidak tahu sudah berapa lama tidak merasakan ciuman mengebu-ngebu seperti ini. Mereka sama-sama tidak bisa menghentikannya.
***