Bab 6 Tanggung Jawab
Aldy Pov.
Perlahan senja mulai berganti gelap, kuayunkan langkah kaki ke pelataran hotel setelah berkeliling ditemani orang kepercayaanku yang kutugaskan untuk mengelola salah satu hotel milik keluarga Kusuma dan baru dua tahun dibuka. Nama orang kepercayaanku adalah Pak Irfan. Dia sudah lama bekerja dengan Papa, bahkan sebelum aku lahir. Selain dia orang yang baik, dia juga memang bisa diandalkan dan setia. Di sela waktu berbincang kami, tiba-tiba dering telephone berbunyi, rupanya Mama yang menghubungiku. Aku pun bergegas meninggalkan Pak Irfan dan beranjak ke taman yang ada di depan hotel agar jauh dari keramaian.
"Ya, Ma?"
"Apa sudah menemukan calon menantu untuk Mama, heuh?"
"Proses, Ma. Ngebet amat, deh, macam bisul!"
"Jangan lama-lama, loh! Mama sudah gak tahan ingin menimang cucu sebelum rambut Mama jadi uban!"
"Iya iya, baru juga dua hari di Bali, Ma. Aldy belum ke mana-mana juga karena masih urus sedikit kerjaan di hotel, tapi sudah panggil Nico untuk bantu carikan. Mama doain saja semoga Aldy cepet dapat jodoh sesuai harapan, ya!"
"Amin. Ya sudah, kamu jangan lupa makan. Love you, Nak!”
"Love you, Ma,"
Sambungan telephone pun terputus. Sekilas pikiranku melayang membayangkan betapa bahagianya orang tuaku jika harapannya kupenuhi. Aku pun ingin segera menikah dan membangun keluarga kecil bersama wanita pilihan yang kucintai. Tak pernah luput kusebut namanya di sela doa-doaku dan berharap dia selalu baik-baik saja.
"Aku ingin menikah, tapi kamu ada di mana jodohku?"
Saat pikiranku mengembara entah ke mana, dari jauh kulihat seorang wanita memasuki pintu gerbang hotel membawa kantung plastik di tangan kanannya. Perlahan sosoknya semakin mendekat dan terlihat jelas.
"Itukan teman wanita yang jatuh tadi pagi!" gumamku lirih. Setelah kupastikan dia orangnya, tanpa ragu aku pun menghampirinya.
"Permisi, Mbak!" ucapku yang membuatnya menghentikan langkah.
"Iya." Dia pun menoleh mentapku heran.
"Maaf, Mbak temannya wanita yang tadi pagi jatuh di area kantin, ya?" tanyaku padanya.
"Iya betul. Ada apa, ya, Mas?" jawabnya cepat.
"Temannya baik-baik saja, Mbak?" lanjutku lagi.
"Nisa sudah baikan, kok. Hanya masih nyeri sedikit," terangnya dengan wajah santai.
Percakapan kami terus berlanjut dengan suasana yang santai. Apalagi setelah kukatakan bahwa aku adalah salah satu Staff di hotel ini. Wanita yang mengaku bernama Niken malah semakin menjadi, bahkan sedikit marah-marah karena kejadian yang membuat temannya terjatuh dan kini sakit. Aku maklumi semua sikapnya karena memang itu terjadi akibat kelalaian pihak hotel karena ternyata ada ceceran minyak di lantai.
Setelah obrolan lumayan panjang, dia mengajakku untuk menemui Nisa untuk meminta maaf secara langsung sebagai perwakilan dari pihak hotel atas insiden itu dan aku pun menyanggupinya. Entah kenapa dengan hatiku juga, sejak melihat Nisa pagi tadi, ada rasa ingin tahu lebih tentang dirinya. Kami pun bergegas menuju kamar tempat Nisa berada dan kini kami sudah berdiri di depan pintu kamar bernomor 2022. Niken menempelkan kartu, kemudian membuka pintu perlahan dan mempersilakan masuk. Niken memanggil-manggil Nisa, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Selagi Niken yang terus memanggil, kulangkahkan kaki memasuki kamar dan tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka menampilkan wanita dengan handuk sebatas paha dengan kepala dililit handuk. Mataku melotot karena apa yang kulihat barusan.
"KYAAAAAAA!" teriak Nisa dan secepat kilat aku langsung memutar tubuh menyelamatkan mataku dari pandangan yang sebenarnya sayang untuk dilewatkan.
"Astaghfirullah!" suaraku kaget mengalihkan pandangan ke arah lain.
'Brak'
Pintu kamar mandi kembali tertutup karena Nisa masuk lagi, sedangkan Niken tartawa terpingkal-pingkal melihat reaksiku dan Nisa. Jujur, ini bukan pertama kali kulihat wanita seperti itu, apalagi di Bali. Namun, entah kenapa melihat Nisa seperti itu ada perasaan aneh di hatiku dan di dalam semvakku yang mendadak bergetar.
Saat kumasih berdiri di dekat pintu, Niken mempersilakanku duduk dan aku pun menurut saja, walaupun dengan perasaan canggung. Terdengar Nisa berteriak meminta Niken memberikannya pakaian, sedangkan aku hanya mampu duduk kaku karena seumur hidup baru kali ini mendapati kejadian memalukan seperti ini.
Tak berapa lama, akhirnya Nisa keluar dari kamar mandi dengan memakai dress selutut berwarna biru terang dengan motif floral. Dia terlihat cantik natural, meskipun tanpa make up dengan rambut yang masih dililit handuk.
"Nis, kenalin ini Mas Aldy dan dia merupakan Staff di hotel ini. Dia ke sini mau minta maaf untuk kejadian lo jatuh tadi pagi!" terang Niken mencairkan suasana yang sedikit kaku.
"Saya Aldy, Mbak," ucapku yang kemudian berdiri dan mengulurkan tangan kanan.
"Saya Nisa, Mas," jawabnya tersenyum dan menjabat tanganku. Seketika hatiku mendadak lega karena dia cukup ramah dan kupikir dia akan marah-marah karena melihatnya hanya memakai handuk tadi.
"Saya datang ke sini sebagai perwakilan pihak hotel, ingin meminta maaf karena kecerobohan kami sudah membuat Mbak Nisa jatuh. Kami benar-benar minta maaf, ya, Mbak!" tutur Aldy meminta maaf dengan tulus.
"Saya baik-baik saja, Mas, dan sudah sembuh juga. Salah saya juga jalan gak hati-hati," jawabnya sambil mengulum senyum.
"Oh, terima kasih kalau begitu, tapi saya juga minta maaf karena barusan lihat Mbak ...," lanjut Aldy menggantung kalimatnya yang tak sampai hati untuk mengucapkannya.
"Wah, kalau itu Mas harus tanggung jawab, tuh!" potong Niken dengan seringaian aneh.
"Tanggung jawab apa, Mbak?" tanyaku bingung dan menatap Nisa juga yang berkerut kening. Sama-sama bingung.
"Karena Mas sudah lihat Nisa cuma pakai handuk, jadi kuputuskan kalau Mas Aldy harus menikahi Nisa!" terang Niken santai sambil memainkan kedua alisnya.
"NIKAH?" bukan suara Aldy, tapi Nisa terperanjat dengan bualan aneh Niken.
"Iya," jawab Niken singkat dan santai.
"Lo macam-macam saja, Ken, kalau bicara suka ngaco, deh! Mending mandi sana terus keramas supaya otak gak panas!" oceh Nisa dengan wajah terlihat kesal.
"Gue gak ngaco, woy! Mas ini sudah lihat lo cuma pakai handuk. Orang bule sudah biasa kayak begitu, tapi beda kalau orang kita, mah. Gimana Mas, mau gak nikah sama si jones akut ini? Masih perawan, kok. Kalau gak percaya, boleh dicoba. Dijamin enyoy!”
****
Di lain tempat, Nico terlihat baru saja sampai di depan sebuah hotel di daerah Kuta dan tak terlihat Aldy bersamanya. Langkah lebarnya berjalan tergesa ke arah lift menuju lantai 5. Hotel yang didatanginya adalah salah satu jajaran hotel bintang 5 dan pemilik hotel ini adalah Aldy. Tak berapa lama, lift yang membawa Nico pun sampai ditujuan. Dengan senyum berbinar, Nico melangkah dan berhenti di depan pintu kamar bernomor 5020. Tanpa ragu, dia menekan tombol beberapa kali dan tak perlu menunggu lama, akhirnya pintu kamar pun dibuka oleh seorang wanita cantik berambut pendek dengan wajah cantik khas Indonesia. Namun, wajah asem macam ketek tak dicuci sebulan pun tampak di depan mata ketika pintu yang semula tertup kini terbuka lebar menampilkan sosok yang membuat Nico menelan saliva dan ingin segera kabur melarikan diri. Merry terlihat marah menatap tajam ke arah Nico.
"Hai, Sayang!" ucap Nico sesaat pintu dibuka, tapi tak dijawab dan justru meninggalkannya begitu saja.
"Hadeuu, terpaksa keluarin jurus maut!" gerutu Nico dalam hati.
"Sayang aku minta maaf. Aku benar-benar lupa kalau kamu akan datang!" terang Nico yang mengekori Merry yang acuh padanya.
"Hah? Lupa?" jawab wanita itu.
"Iya, maaf. Aku benar-benar lupa tadi. Sejak kemarin aku bersama Aldy di Ubud dan aku lupa untuk isi baterai karena terlalu asik berbincang, makanya jadi tak tahu kalau kamu menelphone, Sayang!" terang Nico sambil terus mengikutinya mondar-mandir seperti buntut kuda.
"Terus kamu pikir aku akan percaya?” sahutnya ketus macam cabe rawit di dalam tahu goreng.
"Ya, Tuhan, aku gak bohong kali ini, Sayang!" ujarnya lagi masih membela diri.
"Ooooh, jadi yang sudah lalu rupanya bohong semua, huh?" timpal Merry membuatku tercekat.
"Ya sudah kalau tak percaya. Kamu tanyakan sendiri ke Aldy!" sahutnya sambil memberikan handphone kepada Merry dan langsung meninggalkan dia yang masih berdiri.
"Hallo, Aldy. Ini aku, Merry!"
" .... "
"Aku baik. Maaf kalau aku mengganggumu!"
" .... "
"Hmm ... Apa benar tadi siang Nico bersamamu?"
" .... "
"Ah! Tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu. Terima kasih, ya."
Tut. Dengan cepat Merry memutus panggilan telephone dan wajah malu-malunya mendadak terbit ketika mengembalikan handphone.
"Percaya?" tanya Nico menatapnya yang malu-malu dengan pipi merona.
"Iya, aku minta maaf sudah curiga," kata Merry pelan dengan wajah menyesal. Secepat kilat Nio menarik tangannya agar dia ikut duduk di sofa.
"Jangan ngambek lagi! Aku juga minta maaf karena sudah lalai dan tak menjemputmu, Sayang. Maafin aku, ya!" pinta Nico sambil meggenggam kedua tangannya.
"Iya, aku juga minta maaf sudah marah-marah tak jelas tadi," sahut Merry lagi menambahi.
"Emang, punya cewek satu-satunya marah-marah mulu kayak orang nagih hutang gak dibayar!" gerutu Nico dalam hati.
"Memang kamu bicara tentang apa sampai lupa waktu bersama Aldy?" tanya Merry dengan raut penasaran.
"Aku pernah bilangkan kalau orang tua Aldy sudah kebelet ingin punya menantu," ujar Nico mengingatkan kembali hal tersebut.
"Iya."
"Kedatangan Aldy ke Bali merupakan bagian dari rencana Aldy untuk mencari wanita alias calon menantu untuk orang tuanya. Istilahnya, sambil menyelam minum air. Liburan sambil cari cewek!" tutur Nico dengan jelas.
"Ok. Terus?" tanya Merry lagi.
"Nah, Aldy minta aku bantu cari cewek untuk dia. Menurutku itu bukan hal mudah karena Aldy golongan pria suci!" cetus Nico lagi.
"Pria suci gimana maksudnya?" bingung Merry dengan julukan yang Nico sematkan.
"Aldy masih perjaka. Belum pernah tarik semvak cewek, Sayang!" cicit Nico dengan wajah mengejeknya.
"Bagus dong! Emang kamu yang sukanya tarik semvak aku sampi robek. Tak dikasih marah!”
CUT!
21 Desember 2020/09.28