Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 2 Memulai Kehidupan Baru

Di sebuah rumah petak sederhana di pinggiran kota Jakarta, Ratih dan Rangga baru saja memulai kehidupan sebagai pasangan suami istri. Rumah itu kecil, tapi cukup nyaman untuk dua orang.

Dindingnya terbuat dari bata yang dicat putih, dengan atap seng yang kerap berderak jika hujan deras turun. Lantai rumah ditutup dengan keramik berwarna krem yang sudah mulai memudar, sementara jendela-jendela kecil di ruang tamu dan kamar memberikan sedikit pencahayaan dari luar. Di sudut ruangan, ada perabot sederhana, seperti kasur, lemari pakaian kayu, dan meja makan kecil dengan dua kursi.

Malam itu, suasana rumah terasa sunyi. Angin malam yang dingin masuk melalui celah-celah pintu dan jendela, menambah kesunyian yang hanya diselingi oleh suara kendaraan dari kejauhan. Di dalam kamar tidur yang sempit, Rangga duduk di tepi kasur, sementara Ratih berdiri di depan cermin, melepas selendang dari rambutnya yang panjang dan hitam.

“Ratih,” panggil Rangga dengan nada lembut. Dia mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Ada satu strip pil KB. Ratih yang melihat itu, langsung mengernyit.

“Ini untuk kamu,” ucap Rangga, mengulurkan strip pil itu.

“Minum dulu sebelum kita memulai semuanya,” ucapnya kepada istrinya.

Ratih terdiam, memandangi strip pil KB itu dengan ragu. "Aku nggak mau minum ini, Mas," jawabnya pelan.

"Aku ingin kita punya anak," jujurnya kepada sang istri.

Rangga menarik napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur dan mendekati istrinya. Dia meraih bahu Ratih, menatapnya dalam-dalam, mencoba meyakinkannya.

“Aku juga pengin punya anak, Ratih. Tapi sekarang belum waktunya. Ekonomi kita belum stabil. Kamu tahu aku baru dipecat, ayahmu kan? Kita harus realistis sekarang!” seru Rangga setengah membentak.

Yang membuat Ratih seketika tersentak seketika mendengar suara suaminya yang besar itu.

Rangga yang menyadari kesalahannya segera berkata,

“Ratih, tunggu aku punya pekerjaan baru dulu. Baru kita akan pertimbangkan untuk memiliki anak,” ujar Rangga mencoba merayu istrinya.

“Apa benar begitu, Mas?” ucap Ratih meminta kepastian dari suaminya.

“Iya, Sayang. Percayalah kepadaku.” tukasnya lagi.

Ratih pun menunduk, menatap pil KB di tangan suaminya dengan mata berkaca-kaca. Memang benar, setelah menikah, Rangga kehilangan pekerjaannya sebagai sopir pribadi ayahnya sendiri, karena sebuah kesalahpahaman yang sampai sekarang masih belum terselesaikan. Pekerjaan itu adalah satu-satunya sumber penghasilan mereka, dan sekarang keduanya hanya bisa mengandalkan tabungan Ratih yang semakin menipis.

“Tapi, Mas ... aku takut kalau kita menunda terlalu lama, nanti malah susah punya anak,” gumam Ratih, suaranya lirih.

“Malah itu yang aku mau Ratih! Tidak memiliki keturunan sama sekali!” Namun semua itu hanya mampu dikatakan oleh Rangga di dalam hatinya saja.

Ternyata oh ternyata Rangga memiliki trauma masa kecil sehingga pria itu telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan mau memiliki keturunan.

Rangga mengelus punggung Ratih dengan lembut, mencoba menenangkan istrinya.

“Nggak usah khawatir. Nanti kalau situasi kita sudah lebih baik, kita bisa coba lagi. Sekarang yang penting kita fokus dulu pada bagaimana caranya bertahan untuk hidup,” serunya kepada sang istri.

Ratih masih tampak bimbang, tapi dirinya bisa merasakan tekanan dari suaminya. Dia tahu Rangga benar, mereka harus berpikir rasional di tengah situasi sulit ini. Dengan berat hati, dia akhirnya mengangguk pelan.

“Baik, Mas. Aku akan menurut,” ucap Ratih pasrah.

“Nah gitu, dong!” sahutnya dengan wajah berbinar.

Rangga tersenyum lega, meskipun senyumnya terlihat samar, seperti menyembunyikan sesuatu di baliknya.

“Bagus, Sayang. Terima kasih sudah mengerti,” katanya sambil menyerahkan strip pil KB itu kepada Ratih.

Ratih membuka bungkus pil KB dan mengambil satu butir. Dia menatap pil itu sejenak sebelum akhirnya menelannya dengan sedikit air. Setelah selesai, dia meletakkan gelas kosong di meja kecil di samping tempat tidur. Dalam diam, Ratih kembali duduk di tepi kasur, mencoba mengatur perasaannya yang campur aduk.

Rangga mendekat, duduk di sebelah Ratih. Tangannya mengelus punggung istrinya, memberi kenyamanan.

“Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang?”

Ratih menatap suaminya dan mencoba tersenyum.

“Nggak apa-apa, Mas. Aku cuma harus menyesuaikan diri dengan semua ini.”

“Lama-lama kamu juga akan terbiasa, Sayang.” seru Rangga lagi.

“Iya, Mas.” Sebenarnya Ratih terpaksa mengikuti kemauan suaminya.

Rangga mengangguk, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Ratih, mencium lembut keningnya.

“Kamu istri yang baik, Ratih. Aku beruntung punya kamu.”

Senyum Ratih mengembang sedikit lebih lebar setelah mendengar kata-kata suaminya. Namun, dibalik semua itu, ada perasaan kecewa yang tidak bisa diabaikannya. Dia sangat menginginkan seorang anak, tapi Ratih sadar jika situasi mereka saat ini memang tidak ideal. Dia harus menundukkan keinginannya demi kebaikan mereka bersama.

Malam semakin larut. Lampu kamar yang remang-remang menciptakan bayangan lembut di dinding, sementara suara kipas angin berputar pelan mengisi keheningan. Setelah beberapa saat, Rangga berdiri dan mematikan lampu kamar. Hanya ada sedikit cahaya dari jendela yang terbuka sebagian, memancarkan bayangan bulan yang redup.

Di dalam kegelapan, Rangga kembali ke kasur dan meraih tangan istrinya.

"Sudah siap?" tanyanya dengan suara lembut, namun terdengar ada sesuatu di balik nada suaranya yang tidak biasa.

Ratih mengangguk dalam diam, meskipun dalam hatinya, masih ada sedikit keraguan. Namun, dia mencoba menyingkirkan perasaan itu. Dia percaya pada suaminya, pada keputusan mereka bersama.

Rangga menatapnya sejenak, sebelum akhirnya meraih tubuh Ratih dan memulai malam yang seharusnya menjadi awal dari kehidupan mereka sebagai suami istri. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam caranya Rangga memandang istrinya malam itu. Di balik senyum lembutnya, tersembunyi sesuatu yang tidak diketahui oleh Ratih.

Setelah semuanya selesai, Ratih terbaring di samping Rangga dengan tubuh yang masih bergetar ringan. Dia menatap langit-langit, pikirannya melayang-layang di antara rasa puas dan kegelisahan yang tak jelas. Sementara itu, Rangga memandangnya dengan senyuman tipis yang sulit ditebak.

“Mas, kamu kelihatan aneh,” ucap Ratih tiba-tiba, merasa ada sesuatu yang tidak beres dari cara suaminya memandangnya malam itu.

Rangga hanya terkekeh pelan. “He-he-he. Nggak ada apa-apa, Sayang. Aku cuma sangat senang. Kamu adalah segalanya bagiku. Kehadiranmu sungguh membuatku merasa lengkap saat ini!”

Ratih mengernyit, tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban suaminya, tapi dia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Dia hanya ingin menikmati momen ini, meskipun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

“Oh ya, Mas. Apakah besok kamu sudah mulai mencari kerja?” tanya Ratih lagi.

“Apa? Kita baru saja menikah Ratih! Masa kamu langsung menyuruhku untuk bekerja?”

“Tapi, Mas ….”

“Sudah-sudah. Kamu tidurlah. Besok saja kita bahas lagi,” seru Rangga kepada istrinya yang hanya dijawab anggukan oleh Ratih.

Malam itu, Rangga tetap terjaga lebih lama dari biasanya. Dia memandangi langit-langit dengan tatapan yang penuh rencana, sementara Ratih tertidur di sampingnya. Dalam pikirannya, ada sesuatu yang sedang direncanakannya, sesuatu yang mungkin akan mengubah kehidupan mereka ke depan, meskipun Ratih sama sekali tidak menyadarinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel