Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 1 Nekat Menikah Tanpa Restu

Ratih duduk di kursi depan mobil dengan perasaan bercampur aduk. Dia menatap Rangga, suaminya, yang tampak tenang mengemudi di jalanan Jakarta yang padat. Hatinya penuh kebahagiaan, akan tetapi juga diliputi banyak kegelisahan.

Hari ini adalah pertama kalinya Rangga membawanya ke rumah mereka, tempat keduanya akan memulai kehidupan baru sebagai suami dan istri baru.

Setelah menikah secara sederhana di kantor catatan sipil tanpa restu dari keluarganya, Ratih merasa yakin telah membuat keputusan yang benar di dalam hidupnya. Bahkan gadis itu pun rela meninggalkan segala kemewahan demi cintanya pada Rangga. Rangga, yang dulunya sopir pribadi ayahnya, telah berhasil memikat hati Ratih dengan ketulusan dan sikap rendah hatinya. Namun, hari ini, Ratih akan mengetahui sisi lain dari kehidupan suaminya, dan hatinya berdebar kencang membayangkan seperti apa kehidupan baru mereka nanti.

Mobil akhirnya berhenti di sebuah gang sempit di pinggiran kota Jakarta. Ratih mengernyitkan dahi. Lokasi ini jauh dari bayangannya tentang rumah yang akan mereka tempati.

"Ini tempatnya, Sayang," ujar Rangga lembut, mematikan mesin mobil. Dia berbalik menatap Ratih dengan senyum kecil di wajahnya, akan tetapi senyum itu tidak dapat menyembunyikan kegugupannya.

Ratih terdiam sejenak, memandangi sekitar. Deretan rumah-rumah sempit dengan tembok yang mulai mengelupas, anak-anak kecil berlari tanpa alas kaki, dan bau got yang menyengat langsung menyeruak ke hidungnya.

"Kita … akan tinggal di sini, Mas?" tanya Ratih perlahan, suaranya terdengar goyah.

Rangga mengangguk pelan, terlihat sedikit cemas dengan reaksi istrinya.

"Maaf, Ratih. Memang di sini kita akan tinggal. Ini rumah petakan yang kusewa. Aku belum bisa membelikan kita rumah yang lebih baik. Tapi aku janji, aku akan bekerja lebih keras untuk masa depan kita. Percayalah kepadaku, Sayang!" serunya kepada istrinya yang terlihat masih ragu-ragu untuk masuk ke dalam rumah sederhana itu.

Ratih menelan ludah, mencoba meredakan kekagetannya atas kenyataan yang ada di depan matanya saat ini. Dia sangat tahu jika Rangga tidak berasal dari keluarga kaya raya, akan tetapi dia tidak pernah membayangkan keadaan akan seburuk ini. Sejak kecil, Ratih terbiasa hidup di rumah megah, dikelilingi oleh kemewahan. Namun, demi cintanya kepada Rangga, dia rela meninggalkan semua itu, dan sekarang di sinilah sang gadis, berdiri di depan sebuah rumah sempit di perumahan kumuh.

"Yuk, masuk dulu," ajak Rangga, mencoba mengalihkan perhatian istrinya dari suasana sekitar.

Dengan ragu, Ratih mengikuti langkah Rangga menuju rumah yang disebut suaminya sebagai 'rumah'. Pintu kayu yang sudah usang itu berderit saat Rangga membukanya. Begitu masuk, Ratih disambut oleh pemandangan yang sederhana, sebuah ruang tamu kecil dengan sofa tua, meja kayu yang penuh dengan goresan, dan kipas angin yang berputar lambat di langit-langit. Ada satu kamar tidur di sudut ruangan, serta dapur kecil yang terlihat sempit.

Ratih memandangi ruangan itu dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kemiskinan yang dirasakannya, melainkan perasaan campur aduk antara terkejut dan sedih. Betapa besar perbedaan antara kehidupan yang baru ini dengan kehidupannya yang dulu. Namun, sang gadis sangat sadar jika dirinya telah memilih jalan ini, dan dia tidak boleh mundur.

"Ratih? Apakah kamu baik-baik saja?" panggil Rangga perlahan, menyadari bahwa istrinya terdiam cukup lama.

Ratih tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan gelisahnya.

"Iya, Mas. Aku baik-baik saja, kok. Hanya saja, aku butuh waktu untuk beradaptasi."

Rangga menarik napas lega, lalu mendekati istrinya dan menggenggam tangannya erat. "Aku tahu ini tidak mudah untukmu, Sayang. Tapi aku janji, aku akan berusaha keras. Kita akan bangun kehidupan kita dari sini. Percayalah kepadaku," seru Rangga lagi sambil tersenyum ke arah istrinya.

Ratih menatap mata suaminya yang penuh dengan ketulusan. Dia pun mulai merasakan cinta yang begitu besar dari pria itu, dan Ratih tidak ingin mengecewakan dirinya sendiri dengan meragukan keputusan yang telah diambil olehnya karena telah memilih Rangga sebagai pendamping hidupnya.

"Aku percaya sama kamu, Mas," jawab Ratih dengan suara lembut.

"Selama kita bersama, aku yakin kita pasti bisa melalui ini semua ini."

Mata Rangga berbinar mendengar kata-kata Ratih. "Terima kasih, Sayang. Kamu benar-benar istri yang luar biasa bagiku."

Namun, di dalam hatinya, Ratih tidak bisa sepenuhnya menghilangkan bayangan kehidupan lamanya. Ayahnya, Tuan Cahyono, pasti sangat marah ketika dia memutuskan untuk menikah dengan Rangga. Ratih masih bisa membayangkan wajah keras ayahnya saat pertama kali mengetahui hubungan mereka.

Beberapa saat yang lalu,

"Ratih! Apa kamu sudah gila? Kamu pacaran dengan sopirku?" teriak Tuan Cahyono saat itu, suaranya menggema di ruang tamu rumah mewah mereka.

"Ini hidupku, Ayah. Aku berhak memilih siapa yang akan aku cintai!" balas Ratih, meski hatinya gemetar karena ketakutan.

"Jangan bicara seperti itu, Ratih. Kamu tidak tahu apa dampak atas semua yang kamu lakukan!" Nyonya Menur, ibunya, hanya bisa menangis di sudut ruangan, memohon agar putrinya berubah pikiran.

Tapi Ratih tetap teguh pada pendiriannya. Dia bahkan lebih memilih meninggalkan segala kemewahan demi cintanya pada Rangga. Dan sekarang, ketika dia berdiri di rumah petak kecil ini, sang gadis tahu jika dia telah membuat pilihan yang sulit, akan tetapi Ratih juga tahu bahwa cintanya pada Rangga tidak akan goyah.

"Mas, kita harus mulai dari mana?" tanya Ratih, mencoba mengalihkan pikirannya dari kenangan masa lalu.

"Kita bisa mulai dengan membereskan rumah ini dulu. Aku tahu ini tidak besar, tapi aku ingin kamu merasa nyaman di sini," jawab Rangga sambil tersenyum.

Ratih mengangguk. Dia kemudian melepas jaketnya dan mulai membantu Rangga merapikan ruangan. Meski kecil dan sederhana, dia mencoba menerima tempat ini sebagai rumahnya sekarang. Ratih bertekad untuk tetap tegar, karena baginya, kebahagiaan tidak selalu datang dari kemewahan. Cinta yang tulus jauh lebih berharga.

Sambil bekerja bersama, Ratih dan Rangga sesekali bertukar pandang dan tersenyum. Meskipun berat, keduanya yakin bahwa mereka bisa melewati semua ini bersama. Dan di tengah-tengah kesederhanaan itu, Ratih mulai merasakan kebahagiaan yang perlahan tumbuh di dalam hatinya, karena dia tahu, selama ada Rangga di sisinya, dia bisa menghadapi apapun.

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam, mereka duduk berdua di depan rumah. Angin lembut berhembus, membawa kesejukan di antara kelelahan setelah seharian merapikan rumah.

"Kamu menyesal, Ratih? Setelah tahu kehidupanku yang sebenarnya?" tanya Rangga pelan, suaranya mengandung kekhawatiran.

Ratih tersenyum hangat, lalu menggenggam tangan suaminya.

"Tidak, Mas. Aku tidak menyesal sedikitpun. Selama kita bersama, aku yakin kita akan baik-baik saja."

Dan di bawah langit senja, mereka berdua berjanji untuk saling mendukung dan menjalani hidup ini dengan penuh cinta, meski dalam kesederhanaan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel