MENGAMBIL KEPUTUSAN
Reina yang sedari tadi melamun di pinggir kolam menyadari jika seseorang sedang mengawasinya, dia menoleh cepat dan ternyata benar dugaannya. Reina berjalan dengan lemas menyusuri koridor penghubung kamarnya dengan area kolam.
Tapi, begitu dia membuka pintu dia menemukan sosok pria yang sedang tersenyum menyeringai padanya. "Dari mana saja Baby?" tentu saja sosok itu adalah sosok pria iblis yang dia benci.
Reina mengepalkan tangannya ketika rasa kaget berganti dengan rasa marah, perempuan itu berjalan cepat menghindari. "Minggir Jeff!" dengan berani Reina menghilangkan kata tuan yang biasana dibubuhkan sebelum memanggil Jeffir.
Namun, yang terjadi Jeffir malah memeluknya. "Kau semakin cantik jika sedang marah," bisiknya menggoda dengan nada dingin.
Bulu kuduk Reina langsing meremang, ia tahu apa yang akan dilakukan Jeffir padanya setelah ini. Memang semenjak jadi tawanan Jeffir, Reina jadi sering gampang paranoid terhadap sebuah situasi entah itu bahaya atau pun tidak.
"Aku mohon jangan lakukan itu lagi, aku masih sakit. Tidakkah kau berbelas kasih padaku?" dia memelas, rasanya baru kali ini Reina memohon pada seseorang dan sialnya orang itu tidak memiliki perasaan.
"Ini di penthouseku Sayang aku bebas melakukan apa yang kumau, atas dasar apa kau mencegahku?!" perlahan Jeffir membelai rambut Reina, tapi kali ini perlakuan Jeffir lebih lembut agar Reina tidak menolaknya.
Karena takut melihat Jeffir sudah siap akan menerkamnya, semakin yakin pula Reina mengambil sebuah keputusan mengenai perjanjian yang di tawarkan Jeffir, karena tidak mau terus disiksa oleh pria angkuh itu Reina mulai membujuk dengan lembut.
Dengan gemetar Reina mengumpulkan keberanian, "Bu-bukan begitu maksudku Jeff, aku mau melayanimu kapanpun. Tapi, setidaknya itu dilakukan setelah aku benar-benar pulih, "Aku Janji" Reina menekan kata janji agar Jeffir yakin bahwa Reina tidak akan berdusta lagi.
"Apa itu artinya kau menyetujui Perjanjian?" Jeffir bertanya dengan wajah sumringah.
Belum sempat Reina menjawab Jeffir, Cristian tiba-tiba saja kembali, dan memanggil tuannya.
"Tuan!" Cristian memasuki ruangan dan melihat Jeffir membelai-belai rambut Reina dengan mesra, secara alami dia senang melihat tuannya sudah bisa memperlakukan Reina dengan baik, sementara di sisi lainnya ia khawatir kalau itu semua hanya akal bulus bosnya itu.
Jeffir menatap asistennya tajam, "Mau apa kau kembali?" dengan tatapan dingin dia marah pada Cristian, karena datang di saat tidak tepat.
Cristian meneguk ludahnya sendiri, tersenyum supaya tuannya tidak marah. "Ma-maafkan saya Tu,tuan ... ada barang ketinggalan, tadi."
Cristian langsung bergerak cepat mengambil map berwarna biru di meja, kemudian bergegas meninggalkan Jeffir yang sedang mencoba merayu Reina.
"Mari kita lanjutkan obrolan yang tadi, sampai mana ya?" Jeffir kembali memulai percakapan dengan Reina. Tapi, setelah kepergian Cristian tiba-tiba saja seseorang memasukkan ruangan itu kembali.
Ceklek!
"Tuan, sepertinya saya harus periksa Nona Reina. Saya harus pastikan kesehatan dia sudah membalas atau sebaliknya," ternyata kali ini dokter yang bertugas menangani Reina yang datang.
Jeffir terlihat menahan rasa marah, karena pengganggu silih berganti berdatangan ke ruangan itu.
"Huh! Sial!" dia mendengus kesal.
Reina tersenyum melihat Jeffir dengan menahan amarahnya. 'Ternyata kau setampan ini jika bisa mengendalikan emosimu tuan,' batin Reina terkekeh.
Jeffir kembali tersenyum ramah, lalu membiarkan dokter itu dengan Reina di dalam ruangan. "Silakan periksa dia! Tapi, awas ya kalau kau berani menyentuhnya!" sungguh Jeffir benar-benar serius dengan ancamannya.
Saat kemudian sang dokter lantas memeriksa kondisi Reina, di damping seorang suster. Mereka meminta Reina kembali berbaring di atas ranjang untuk melakukan pemeriksaan.
Setelah sang dokter selesai memeriksanya, Reina bertanya tentang kondisinya.
"Bagaimana keadaan saya Dok, sakit apa saya?"
"Kondisi Anda sangat baik Nona, kau bisa beraktivitas seperti biasanya lagi. Terpenting Anda harus benar-benar menjaga kondisi kesehatan Anda," dengan lembut dokter itu menasihati Reina agar selalu menjaga kondisi tubuhnya.
"Baik, Dok," Reina menatapnya dengan hangat.
Setelah itu dokter kembali meninggalkan ruangan itu, di susul oleh sang suster. Setelahnya Jeffir kembali menemui Reina, ingin menanyakan perihal perjanjian yang dia tawarkan.
"Reina," Jeffir menatap seisi kamar itu, tapi tidak menemukan Reina, "Jangan-jangan dia kabur?!" bergumam seraya mendengus.
Saat Jeffir berbalik hendak keluar, Reina menarik Jeffir dengan cepat. "Aku perlu bicara denganmu!" setelah mengatakan itu, Reina berjalan menuju balkon di ikuti oleh Jeffir, setelah sampai di balkon dia menutup pintu penghubung kamarnya dengan balkon supaya suaranya tidak di dengar oleh suster yang masih berada di ruangan itu.
"Ada apa Istriku?"
"Panggil Aku Reina, karena sebenarnya kita bukan suami-istri!" tegas Reina, karena merasa panggilan itu sangat tidak cocok untuknya yang bukan siapa-siapa.
"Baiklah Reina."
Kedua siku tangan Reina ditumpuk ke pagar balkon, sementara jemari tangannya saling bersimpul pertautan menandakan pemiliknya sedang cemas, gelisah dan gugup. Pandangannya jauh menerawang pemandangan kota di malam hari, dia menghela nafasnya sebelum kemudian berbicara.
"Tentang tawaranmu Tuan, apa masih berlaku bagiku, aku... aku...," Reina terlihat menggigit bibir bawahnya tampak ragu dan cemas atas apa yang akan di katakan. Jeffir yang melihat itu, hanya menunggu Reina melanjutkan ucapannya. "A-aku ... menerima tawaran itu," akhirnya dengan susah payah Reina mengucapkan itu, kemudian menundukkan kepalanya seolah ucapan itu akan ia sesali seumur hidupnya.
Jeffir menatap Reina dengan senyuman, dia sangat senang mendengar Reina menyetujui perjanjiannya. "Baiklah, aku akan persiapkan semuanya," setelahnya Jeffir langsung mengambil ponsel di saku celananya, dan menghubungi Cristian untuk menyiapkan surat perjanjian.
Saat menelpon Cristian, Jeffir berjalan menjauhi Reina dia mengobrol dengan serius. Tapi, Reina tidak mengetahui apa yang dibicarakan oleh dua pria itu.
Sebenarnya Reina ingin mengetahui apa apa yang sedang dibicarakan, kendatipun nantinya dia akan tahu isi surat perjanjian itu, sehingga Reina memilih berjalan menuju ke kamarnya. Sesekali Reina menoleh kebelakang melihat Jeffir masih sibuk berbicara dengan Cristian lewat saluran telepon, "Apa langkah ini sudah benar? Apa yang harus aku lakukan selanjutnya, apa aku akan semakin menderita?" dugaan itu bermunculan di atas kepalanya.
Setelah satu jam berlalu, terdengar sura langkah kaki dari depan penthouse. Reina buru-buru memastikan siapa orang yang datang itu. Saat ia membuka pintu kamarnya, dia melihat Cristian dan Jeffir. Namun, tatapan Reina jelas terlihat fokus ke tangan Cristian yang membawa map berwarna merah itu.
Jeffir mengambil map berwarna merah itu dari tangan Cristian, dan lantas bergegas menuju kamar Reina. Reina yang melihat itu pun lantas bergegas kembali memasuki kamarnya.
Ceklek!!!
Terdengar suara pintu terbuka, Reina yang melihat itu langsung menutupi wajahnya dengan bedcover.