Selendang merah
Cici Permata wanita berusia 26 tahun, membawa Mira dalam gendonganya menuju mobil city car putih yang terparkir di carport minimalis kediaman keluarga kecil tersebut. Betapa terkejutnya dia saat melihat selendang tipis merah menyala, menutupi kaca depan mobil mereka.
Cici menghentikan langkahnya, menoleh kebelakang, bertanya sedikit aneh pada Akmal.
"Bi... ini selendang merah siapa?"
Akmal hanya menoleh, menekan saklar lampu untuk mematikan lampu teras depan rumah.
"Hmm...!"
Akmal masih cuek akan pertanyaan istrinya.
Cici kembali menekan saklar menyalakan kembali lampu teras, kembali memberi pertanyaan yang sama, "Abi, ini selendang merah siapa?"
Akmal tersenyum tipis, "Punya Ami lah, punya siapa lagi? Emang ada wanita lain dirumah kita? Jelas-jelas kita tinggal hanya bertiga, Oneng datang jam sembilan. Atau jangan-jangan punya istri tetangga sebelah!"
Akmal menggoda puncak hidung istrinya, agar tidak memikirkan hal-hal aneh yang sangat membingungkan dirinya sejak dini hari.
"Abi, Ami serius....! Masak tetangga sebelah meletakkan selendangnya di mobil kita? Buat apa coba?"
Cici menatap kesal kearah Akmal.
Akmal tidak ingin berdebat dengan sang istri, dia mengambil selendang merah nan halus lembut tersebut, meletakkan didalam kantong travel bag yang akan dia masukkan ke dalam bagasi mobil belakang. Sontak kejadian itu membuat Mira putri kecil mereka menangis tanpa sebab.
Cici berusaha menenangkan putri kesayangannya, mengusap lembut punggung Mira, kembali mematikan saklar lampu teras, bergegas memasuki mobil.
"Tenang sayang...! Kamu mau apa? Mau kue, susu, atau apa?"
Cici menggerakkan kakinya, untuk menimang putri kecilnya agar tenang. Namun Mira menangis semakin keras, melihat kearah belakang, seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan.
"Apa siih nak, Ami disini, sebentar lagi Abi masuk. Kita antar Abi yah?"
Cici terus membujuk Mira agar tenang, menanti Akmal memasuki stir kemudi.
Akmal tersenyum sumringah, menggoda putrinya agar tenang, "Abi disini, anak cantik Abi mau apa? Mau sama Abi? Duduk disini?"
Mira masih menangis, namun tidak diacuhkan oleh Akmal, segera melajukan kendaraannya meninggalkan kediaman mereka menuju kantor cabang tempat Akmal bekerja.
Cici memberikan susu pada Mira, agar tenang dalam pelukannya.
"Tuhkan, diam kalau udah dapat dot kesayangan. Anak Abi pintar."
Akmal mengusap lembut kaki mungil Mira yang tertutup kaos kaki agar tidak kedinginan.
Cici masih tampak kebingungan, masih membayangkan selendang merah yang digunakan wanita tadi malam, "Apakah itu selendang merah wanita kereta kencana? Kenapa dia meninggalkan selendangnya? Apakah dia akan...? Aaaagh, sepertinya aku terlalu dihantui perasaan takut."
Akmal tengah serius melajukan kendaraannya, seketika dia melihat sosok wanita sangat cantik yang terlintas dihadapannya, saat mengehentikan mobil di persimpangan lampu merah yang tengah menyala.
Wanita yang mengenakan selendang merah, bahkan sangat memukau pandangannya.
"Cantik... sangat sempurna...!"
Akmal terpesona, bahkan tidak menyadari bahwa lampu sudah hijau namun dia masih melamun hingga terdengar suara klakson dari arah belakang.
Cici yang menyadari suaminya tengah melamun, menepuk pelan pundak Akmal, "Abi... mikirin apa sih? Udah hijau...! Jalan...!"
Akmal terlonjak kaget mendengar suara istrinya. Dia menunjuk kearah tampak kebingungan, membuat dia kembali menekan pedal gas untuk menambah kecepatannya.
Cici yang menyadari suaminya sedang tidak baik-baik saja, hanya bisa tersenyum tipis, "Lihat apa sih? Ampe enggak tahu lampu hijau."
Akmal menoleh kearah Cici, mengusap lembut kepala istrinya, tersenyum manis untuk menutupi rasa khilafnya.
"Ami hari ini kerja?"
"Hmm, kayaknya enggak. Kasih tugas aja, Ami lagi malas keluar rumah. Palingan nanti pergi sebentar buat belanja mingguan kayak biasa."
Akmal mengangguk mengerti, "Hati-hati yah Ami sayang. Makasih tadi malam, Ami hot banget."
Cici tertawa terbahak-bahak, mendengar celotehan suaminya semakin tidak biasa, "Kok tumben Abi bilang makasih? Selama empat tahun menikah, paling cuma kasih sun sayang aja. Sekarang baru denger ucapan makasih, kayaknya baru dapet durian runtuh Ami sangking bahagianya."
Keduanya kembali tertawa, merasakan kebahagiaan yang tidak akan pernah berakhir, karena kebersamaan yang selalu hangat, walau ada beberapa pertikaian, namun kedewasaan keduanya mampu memberikan kenyamanan untuk keutuhan rumah tangga mereka.
Akmal pria hitam manis, berusia 27 tahun yang berprofesi sebagai manager Bank swasta. Wajah manis sangat berwibawa, membuat Cici sang penari seni melayu jatuh cinta pada pandangan pertama.
Mereka diperkenalkan melalui perjodohan keluarga diusia muda. Merasa cocok dan memutuskan untuk menikah setelah melakukan pendekatan beberapa bulan.
Mobil terparkir didepan kantor cabang tempat Akmal bekerja, tentu sudah dinanti beberapa rekan kerja pria bertubuh ideal itu, tidak tinggi, namun sangat menarik perhatian kaum hawa.
Cici menahan lengan Akmal, sebelum suaminya keluar dari mobil kecilnya, memeluk lengan suaminya penuh perasaan cinta, "Ami merasakan sesuatu yang berbeda kali ini, semoga Abi baik-baik aja. Jangan lupa kabarin Ami yah?"
Mata Cici berkaca-kaca menahan tangis, sepertinya tidak kuasa untuk membendung rasa takut kehilangan suaminya.
Akmal mengusap lembut kepala Cici, mengecup lembut kening istrinya, "Insyaallah Abi baik-baik saja, Ami juga hati-hati. Abi pergi hanya tiga hari, bukan tiga abad!"
Cici memajukan bibirnya manja, menanti ciuman mesra dari suami tercinta.
Tentu Akmal menggoda istrinya, mengecup lembut bibir Cici, namun kembali pemandangannya semakin terganggu karena melihat sosok wanita yang dia lihat saat berada di lampu merah, tengah duduk dibelakang kursi penumpang tengah memperhatikan kemesraan pasangan suami istri tersebut.
"Astaghfirullah...!"
Akmal melepas ciumannya, membuat Cici terlonjak kaget, merasakan apa yang dirasakan Akmal.
"Abi kenapa?"
Cici mengalihkan pandangan, kearah pandangan Akmal, yang masih mengusap-usap dadanya pelan.
"Hmm, enggak apa-apa. Yuuk, kita turun aja. Abi ambil travel bag dulu di bagasi belakang."
Bergegas pria manis itu turun dari mobil, membuka pintu bagasi, kembali mengusap matanya, atas pemandangan yang dia lihat barusan.
"Kenapa wanita itu seperti mengikuti langkahku? Perasaan tadi hanya lihat sekilas di lampu merah. Kenapa seperti dia mengikuti keluargaku? Aaagh... mungkin karena aku terlalu lelah, karena tadi malam tidur agak larut."
Akmal menutup pintu bagasi, mendekati Cici, yang tengah menunggunya sambil menggendong tubuh mungil Mira yang masih terlelap.
"Yuuk, kita basa basi dulu!"
Akmal membawa Cici, untuk bergabung dengan rekan kerjanya mengucapkan selamat jalan dan selamat sampai tujuan.
Cici yang sedikit kelelahan karena menggendong Mira, meminta Akmal menurunkan baby stroller milik Mira yang selalu mereka bawa kemanapun.
Akmal yang merupakan suami siaga, bergegas mengambil baby stroller sesuai permintaan sang istri, namun betapa terkejutnya dia saat kembali melihat wanita yang sama mengikutinya dengan berdiri tegak menatap lekat wajah pria hitam manis itu.
Akmal terdiam, kakinya menggigil, sedikit ketakutan, karena mengagumi kecantikan wanita yang sangat mempesona dihadapannya, tanpa tersenyum, namun sangat memukau. Pesona wanita yang sangat menarik, bahkan meluluhkan imannya sebagai seorang pria biasa.
"Ya Tuhan... apakah ini hari terakhir ku berkumpul dengan keluarga kecilku?"
Akmal mengusap lembut wajahnya, menarik nafas dalam, membuangnya pelan, kembali fokus pada istri yang menantikan kedatangannya membawa baby stroller untuk putri kesayangan mereka.