(Bonus bab) Aku tak Sanggup Lagi x Dijadikan Kambing Hitam
Lelah rasanya hati Farida menghadapi semua ujian yang menimpanya selama ini. Dadanya bahkan terasa sangat sesak meski hanya untuk bernapas.
Farida menghempaskan cengkraman tangan Adam dan ia pun berlari menuju kamarnya. Di sanalah tempat yang menjadi saksi bisu selama ini dimana Farida selalu menumpahkan semua tangisnya.
"Dasar nggak berguna. Bisa-bisanya dia malah marah padaku," ucap Adam geram.
Ia pun lalu pergi meninggalkan Farida yang kini telah masuk ke dalam kamar dan meninggalkannya. Di sana Farida hanya bisa duduk di pinggiran ranjang melampiaskan semua kemarahannya yang hanya bisa ia tahan.
"Ya Allah, aku udah nggak kuat lagi hidup seperti ini," ucap Farida pelan." Tangannya meremas ujung sprei yang tak berdosa.
Bayang-bayang tangan bapak mertuanya yang menggerayangi tubuhnya tadi masih terus bermain di kepalanya.
"Aaaaaaaaaaa!"
Farida berteriak meluapkan emosi dan kemarahannya. Namun, tak ada yang mendengarnya karena Adam pun bahkan telah pergi meninggalkannya.
Air mata Farida masih terus jatuh membasahi pipinya dan ia pun berusaha payah mengatur napasnya yang sesenggukan.
Tiba-tiba saja Tasya berlari masuk ke kamar dan menghampirinya yang masih terduduk di bibir ranjang dengan butiran kristal yang masih belum kering.
"Bu, ayah kemana?" tanya Tasya yang di tangannya memegang es krim berwarna pelangi. Sesekali lidahnya menjulur menjilati es krim rasa buah-buahan yang terlihat sangat segar.
Farida tak menjawabnya langsung. Ia berusaha menetralkan suaranya yang parau sembari mengusap air matanya.
"Ibu kenapa menangis?" tanya Tasya lagi.
Kali ini matanya tampak sendu menatap Farida yang matanya telah sembab karena menangis.
"Ibu nggak kenapa-kenapa, kok, Tasya," ucap Farida sembari menangkup kedua pipi Tasya.
"Jika bukan karena kamu, mungkin ibu sudah menyerah, Tasya. Ibu benar-benar sudah tidak sanggup dengan semuanya ini," batin Farida lalu memeluk tubuh Tasya.
"Ibu dengan menangis lagi, ya, Bu. Tasya ada di sini buat ibu," ucap Tasya dengan lembut.
Mendengar kalimat itu keluar dari mulut malaikat kecilnya semakin membuatnya ingin menangis meraung. Namun, mana mungkin ia melakukannya. Yang ada Farida hanya kembali meneteskan air matanya menumpahkan semua kesedihan itu di dalam dekap Tasya yang terasa hangat.
Tidak mungkin Farida mengandalkan pundak Adam yang seharusnya menjadi penopang dan tameng di saat dirinya hancur dan terjatuh.
Lihat saja sekarang, Adam bisa pergi meninggalkan Farida setelah ia memaki dan tak mempercayai sepatah katapun yang keluar dari mulut istrinya.
"Tasya, Tasya ikut ibu, ya," ucap Farida melepaskan pelukannya sembari mengusap air matanya.
"Memang kita mau pergi kemana, Bu?" tanya Tasya dengan suara polosnya.
"Pergi kemana saja, Tasya. Pergi yang jauh sampai tak ada yang menemukan kita."
Di tengah keputusasaan Farida, ia hanya ingin membawa putrinya pergi jauh, tapi kemana ia akan pergi membawanya sementara tak ada sanak saudara yang ia kenal. Dia hanya tinggal punya ibu yang sudah tua renta yang tak mungkin ia tinggalkan.
"Tasya bantu mengemas baju, ya," ucap Farida.
"Kita nggak tunggu ayah pulang dulu, Bu? Tadi kata ayah dia mau ke rumah Oma."
Jantungnya terasa akan berhenti mendengar perkataan Tasya. Hatinya dipenuhi dengan kebimbangan. Entah darimana dan bagaimana ia memberitahu pada Tasya yang masih terlalu kecil perihal semua yang terjadi.
Kenyataan bahwa seorang anak akan selalu merindukan orang tuanya memang Farida tahu akan hal itu.
"Ya Allah, bagaimana ini. Aku ingin pergi dari sini, tapi aku juga nggak mau memisahkan Tasya dengan ayahnya. Dia masih terlalu kecil untuk merasakan hidup tanpa ayah," batin Farida bimbang.
*** Dijadikan Kambing Hitam
Adam terus melangkahkan kakinya menuju ke rumah orang tuanya. Sesampainya di sana Adam langsung masuk ke rumah tanpa rasa canggung.
"Loh, Dam, kamu tumben ke sini nggak bilang sama ibu. Ada apa, Dam? Apa yang yang ibu transfer buat kamu masih kurang?" tanya Nadia menyambut kedatangan Adam.
Saat itu Nadia sedang duduk di sofa sembari membaca majalah fashion kesukaannya.
"Bapak kemana, Bu?" tanya Adam dengan nada suara datar. Namun, deru napasnya terdengar sedikit berat.
"Bentar, ini ada apa kok kamu tiba-tiba nyariin bapak kamu. Bukannya tadi kalian sudah bertemu, ya?" tanya Nadia penasaran.
"Bapak dimana, Bu? Jawab saja pertanyaan ku," pinta Adam.
Gejolak hatinya merasa ingin marah tapi sayang kepercayaannya jatuh pada ayahnya sehingga Adam tak sanggup untuk marah apalagi membenci ayahnya dan memilih untuk membelanya.
"Bapak ada kok, Dam. Bapak belum lama pulang. Sebentar ya ibu panggil dulu."
Nadia langsung berjalan masuk ke dalam kamar untuk memanggil Hardi yang tengah berada di dalam kamar.
Tak lama Nadia kembali menemui Adam bersama dengan Hardi yang ternyata telah mengganti baju dengan yang lain.
"Mau apa lagi kamu datang ke sini?" tanya Hardi dengan sedikit ketus.
"Pak, aku ke sini mau minta maaf. Aku mau minta maaf atas kesalahan istriku pada bapak. Aku tahu kalau bapak tidak mungkin melakukan apa yang istriku katakan tadi," ucap Adam yang saat itu langsung berdiri dari duduknya melihat Hardi datang menghampirinya.
Nadia yang tak mengerti obrolan Meraka hanya bisa menautkan kedua alisnya seakan-akan bertemu satu sama lain.
"Kasih tau sama istrimu itu supaya punya sopan santun. Bisa-bisanya dia menuduhku seperti itu. Dia itu benar-benar sudah sangat keterlaluan."
"Iya, pak. Aku akan memberitahunya dan mengajarinya sopan santun agar dia lebih menghargai bapak lagi."
"Tidak hanya mengajarinya sopan santun saja, Dam. Itu saja tidak cukup, kamu harus memberinya pelajaran supaya dia kapok," sarkas Hardi.
"Tunggu sebentar! Ini sebenarnya ada apa? Apa yang kalian bicarakan ini?" tanya Nadia mengerenyitkan keningnya merasa penasaran.
"Jadi begini, Bu. Ibu ingat kan tadi bapak pamitan sama ibu mau ajak Adam mancing. Nah, pas bapak sampai di rumahnya Adam ternyata Adam nggak ada terus bapak berniat untuk menunggunya pulang karena bapak pikir Adam akan segera pulang ...."
"Langsung saja pada intinya, pak. Nggak perlu bertele-tele." Nadia yang sudah sangat penasaran sudah merasa tidak sabar ingin tahu semuanya.
"Ya tadi pas bapak nunggu Adam, tiba-tiba si Farida godain bapak bahkan mengajak bapak untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Tapi, bapak kan nggak mungkin melakukan apa yang dia minta jadi bapak tolak permintaannya. Eh, dia malah memaksa bapak dan merusak baju bapak sampai kancingnya copot."
Seketika kedua mata Nadia melotot dengan sempurna mendengar cerita dari suaminya. Telapak tangannya mengepal dengan sangat erat.
"Kurang ajar! Berani-beraninya dia melakukan semua itu sama bapak mertuanya sendiri. Benar-benar menantu yang nggak tahu diri," umpat Nadia dengan nada kesal.
"Itu juga yang bapak nggak habis pikir. Selama ini bapak memang baik sama dia dan bapak selalu bantuin kalian tapi bukan berarti bapak menyukainya." Hardi semakin membelokkan cerita agar terlihat Farida yang bersalah bukannya dirinya.
"Dam, kamu percaya kan sama bapak kamu? Nggak mungkin bapak menggoda istri kamu yang mukanya aja pas-pasan begitu." Nadia mencoba memastikan.
"Iya, Bu. Aku percaya kok sama bapak. Nggak mungkin bapak melakukan semua itu semua itu. Pasti Farida yang memulainya."
"Benar-benar harus dikasih pelajaran itu si Farida. Nggak punya otak banget dia sampai berani menggoda bapak mertuanya bahkan berani mencoba menuduhnya. Ibu harus kasih dia pelajaran."
Nadia yang sudah benar-benar sangat marah dan geram pada Farida sudah buru-buru ingin melampiaskan padanya. Sehingga Nadia pun mulai melangkahkan kaki untuk mencari Farida.
"Bu, ibu mau kemana?" tanya Adam sedikit berteriak.
"Ibu mau kasih pelajaran buat istri kamu itu," jawab Nadia tanpa menoleh.
"Hmmm bagus ... Mereka percaya dengan apa yang aku katakan pada mereka. Rasakan kamu, Farida, kamu akan menerima semua ini. Itu semua salahmu karena tidak menurut padaku," batin Hardi girang karena semua orang lebih percaya padanya.