Part 9
Ervin Aditya POV
Setelah sarapan, aku dan Luna naik ke kamar kami dan Luna langsung melesatkan dirinya ke kamar mandi, karena ia akan menemaniku mencari lokasi untuk kedai kopiku. Sambil menunggu Luna, aku menghidupkan TV dan melihat berita tentang beberapa saham blue chip yang sedang turun. Kemudian aku membuka aplikasi Securitas yang aku miliki dan mencoba membeli beberapa puluh lot saham yang akan aku tabung sedikit demi sedikit sebagai persiapan dana pensiunku. Aku hanya berusaha agar ketika aku sudah tua, aku masih bisa memiliki penghasilan dari pembagian deviden atas saham yang aku miliki. Aku berharap semoga dengan rutin menabung saham dan reksadana diselingi Logam Mulia kehidupan keluargaku ke depan lebih terjamin daripada apa yang dialami orangtuaku dulu.
Ketika pintu kamar mandi dibuka, aku melihat Luna dalam balutan kimono mandi warna pink dan rambut yang tertutup oleh handuk keluar dari sana menuju walk in closet di kamar kami.
Ketika Luna keluar dari walk in closet aku terpana melihatnya. Luna sangat cantik walau hanya mengenakan celana jeans panjang, kaos hitam pendek plus topi. Sungguh luar biasa santai dan aku suka melihatnya memakai ini.
"Vin, aku sudah siap, kamu mau mandi dulu atau langsung?"
"Aku mandi sebentar ya, Lun. Tunggu 15 menitan aja udah selesai kok."
"Okay," kata Luna lalu beranjak menuju laptopnya di meja kerja yang ada di kamar.
Aku memasuki kamar mandi dan menuntaskan kegiatan pagiku dengan mandi secepat kilat. Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Luna masih fokus pada laptopnya. Bahkan hingga aku selesai bersiap siap Luna tidak beranjak dari sana hingga aku mendekatinya.
"Lun, kamu masih sibuk?" tanyaku dan aku mulai duduk didepannya.
Aku melihat Luna kaget karena mendengar suaraku. Tanda ia memang sedang fokus pada apa yang ada di laptopnya.
"Eh, sudah kok Vin, lanjutin nanti saja nggak apa-apa."
"Kamu ngerjain apa?"
"Ini lagi balas email dari vendor yang di Bali buat nikahan Deva bulan depan."
"Deva?"
"Itu lho, temennya Nada yang kemarin ke sini, yang imut."
"Masih kecil kok sudah mau nikah."
Bukannya menjawab Luna justru tertawa terbahak bahak di kursi kerjanya. Aku yang melihat Luna tertawa justru tertegun karena Luna luar biasa cantik ketika ia tertawa, hilang sudah sosok serius jika ia berada didepan laptopnya.
"Ngawur kamu, dia sudah 28 tahun lebih. Mukanya saja yang awet muda. Dia lebih tua daripada kamu."
"Kaya kamu ya, Lun?"
"Aku?" tanya Luna sambil menunjuk dirinya sendiri
"Iya, orang nggak akan nyangka kamu sudah 33 tahun kalo kamu dandan kaya sekarang."
Aku melihat wajah Luna memerah dan sumpah aku ingin melarikan bibir dan lidahku di sekitar wajah dan lehernya yang memerah karena malu. Aku ingin menciumnya, menguburkan wajahku pada lehernya dan merasakan rasa Luna di lidah serta bibirku.
"Wah, makasih Vin pujiannya, tapi sayangnya aku memang nggak seimut Deva. Yuk buruan keburu siang," Kata Luna sambil beranjak dari kursi kerjanya.
***
Kami pergi mengendarai range Rover hitam milik Luna. Selama perjalanan aku sering mencuri curi pandang ke Luna yang fokus ke tab-nya, awalnya aku kira Luna sedang mengerjakan pekerjaannya ternyata ia hanya ngeGame. Ternyata aku kalah menarik daripada game bagi Luna.
Aku mengajak Luna mencari lokasi di sekitar daerah Sleman. Lebih tepatnya jalan Kaliurang yang tidak terlalu jauh dari kawasan UGM. Namun dari segi harga, aku merasa kurang cocok hingga akhirya Luna memberikan saran kepadaku.
"Vin, kamu mau konsepnya gimana, modern atau menyatu dengan alam?"
"Kalo bisa sih dua duanya, Lun."
"Kalo mau yang kaya gitu susah nyari di pusat kota, paling-paling ya daerah Bantul atau Sleman rada ke arah Kaliurang atau daerah deket-deket godean."
"Kamu punya referensi?"
"Ada sih, kemarin temenku nawarin aku buat beli lahan keluarganya karena mau bagi warisan gitu, kalo kamu mau kita lihat aja ke sana, ada di daerah jalan kabupaten."
"Kalo beli kayanya nggak akan nyampe uangku, Lun."
"Ya kamu nyewa aja ke aku, aku penyedia lahan sama bangunannya, nanti kamu itungannya sewa ke aku, kamu bisa bayar kalo sudah balik modal."
Aku menatap Luna. Karena aku merasa ini terlalu berlebihan. Bagaimanapun aku tidak mau memberatkan Luna lagi. Aku tidak mau menjadi suami yang memanfaatkan istri, mentang-mentang istri duitnya tidak berseri.
"Nggak usah kalo gitu, Lun. Aku nggak mau dikira orang memanfaatkan kamu. Apalagi aku pengen mulai semuanya tanpa bantuan materi dari kamu. Dan kalo sudah ada hasilnya ya memang bener buat kamu. Toh itu nafkah dari aku buat kamu."
"Aku nggak ngasih cuma-cuma, Vin. Aku bilang kamu sewa ke aku, cuma kamu bayar kalo kedai kopi kamu sudah jalan. Kiranya nanti bagus, aku akan join di sana buat perluas cafe aku juga. Gimana?"
Aku melihat Luna begitu tulus ingin membantuku dan setelah adu argumen kami di mobil sepanjang jalan akhirnya aku mengalah padanya. Aku baru menyadari Luna adalah tipe wanita yang pantang menyerah atau mengalah bila berdebat, sehingga seharusnya aku sebagai suaminya belajar untuk menekan egoku dan mulai belajar mengalah padanya. Bukan SSTI alias suami suami takut istri atau SPI alias suami pengabdi istri aku melakukan itu. Lebih tepatnya karena aku sudah mendapatkan wejangan dari ibuku soal berumah tangga dan dengan Luna aku akan melakukan apa saja selama itu untuk menjaga keutuhan rumah tangga yang baru saja aku bangun dengannya. Aku akan berusaha sekuat yang aku mampu untuk mempertahankannya. Karena aku sudah menyadari satu hal, setelah aku menikah dengannya, aku tau, aku tidak akan mau kehilangan dia. Wanita yang telah menyelamatkanku dari sesatnya kehidupan yang aku jalani selama ini.
***