Part 8
Kaluna Maharani Atmaji Putri POV
Setelah tadi sholat subuh bersama Ervin untuk yang pertama kalinya, aku melanjutkan tidurku lagi dan aku tidak tau apa yang Ervin lakukan setelahnya. Yang jelas ketika aku membuka mataku, sisi ranjang disebelah kiriku sudah kosong dan tertata rapi. Aku bangkit dari ranjang, menuju kamar mandi untuk sikat gigi dan melakukan aktivitas pagiku.
Keluar dari kamar mandi kamar, aku lalu mengecek Handphone dan sudah penuh dengan chatt dari Hilda.
Hilda : Lun, gimana rasanya malam pertama, sakit nggak, masih bisa jalan, kan?
Hilda : Lun, berapa ronde?
Hilda : Lun, bales dong....penasaran gue, gue nggak bisa tidur semaleman bayangin malam pertama lo sama Ervin.
Fucking Hilda !!! Umpatku.
Hilda : gue berani taruhan, lo berdua pasti sudah langgar itu kontrak setan.
Aku menghembuskan nafasku. Karena masih tidak percaya bagaimana bisa aku memiliki sahabat seperti Hilda yang otaknya mesum, kalo ngomong filternya jebol, lebih parahnya lagi bisa bisanya dia membayangkan malam pertama orang lain. Akhirnya aku memutuskan untuk membalas chatt dari Hilda.
Kaluna : kontrak masih tetap kukuh seperti awal. Dan otak lo coba preloved-in aja, terus beli baru.
Hilda : kejamnya Luna lebih kejam dari ibu kota.
Kaluna : Somprettt!!!
Kemudian aku turun ke lantai satu dan aku menemukan rumah sudah dalam keadaan kosong melompong hanya ada para pekerja rumah tangga.
"Mbak, kok sepi, pada kemana?" tanyaku pada salah satu ART mama.
“Pada ke kantor semua, Mbak, kalo suami mbak Luna lagi berenang di belakang.”
“Oh, makasih ya.”
Kenapa aku jadi merinding membayangkan Ervin berenang. Buru-buru aku menuju ke ruang makan, dan mengambil sarapan nasi goreng yang ada di sana untuk mengalihkan pikiranku dari Ervin.
"Kamu sudah bangun?"
Sendok makan berisi nasi goreng itu berhenti di udara dan tidak jadi masuk ke mulut ketika mendengar suara Ervin yang serak-serak seksi itu. Aku menolehkan wajahku ke kiri dan menemukan Ervin sudah membungkukkan badannya agar sejajar dengan posisi dudukku. Aku diam mematung dan rasa dingin di pipi sebelah kiriku menyadarkanku jika Ervin baru saja memberikan ciuman paginya di pipiku.
Dengan susah payah aku menjawab pertanyaan Ervin, “sudah.”
Aku melihat Ervin mendorong kursi sebelah kananku dan mulai duduk di sana. Buruknya mataku fokus kepada apa yang dilakukan Ervin disebelahku. Ingin rasanya aku memfokuskan kembali tatapanku pada makanan di depanku, tapi kepalaku mengkhianati diriku dengan tetap fokus kepada Ervin yang sudah duduk manis di sampingku sekarang.
Oh Tuhan...
Siksaan apa ini? bagaimana bisa Ervin pagi ini yang hanya melilitkan handuk warna putih di pangkal pinggangnya dengan bagian atas tubuhnya terpampang jelas di depan mataku, justru kelihatan sangat menggoda iman. Badannya yang bagus, bahkan bisa menjadi alas untuk cucian itu sanggup membuat celana dalamku kocar kacir kepanasan dan ingin segera di buka. Pikiran apa ini? Inikah yang di rasakan para wanita yang menyewa Ervin dahulu? Dan setelah aku sadari aku tidak jauh berbeda dengan mereka, karena aku pun mengaku kalah dari Ervin. Ternyata melihat Ervin seperti ini saja libidoku bisa terpancing.
Aku harus menjaga hubunganku dengan Ervin agar tetap profesional, aku harus menjaga diriku baik-baik. Bukannya aku sok suci, hanya saja aku belum menyuruh Ervin melakukan tes HIV, karena aku tidak tau cara memintanya tanpa menyakiti hatinya. Bagiku sudah cukup Ervin sakit hati atas apa yang dilakukan keluarganya, tidak perlu lagi aku menambah sakit hatinya.
“Lun, kamu nanti masih cutikan, temenin aku nyari lokasi, ya?”
"Lokasi buat apa?"
“Belum lama ini aku ikut kursus jadi barista, dan kayanya dari hasil jual mobil kemarin, aku pengen buka kedai kopi kecil kecilan gitu di sini. Karena aku nggak bisa kan gantungin hidup cuma dari penghasilanku sebagai model dan fotografer. Aplagi aku berkewajiban menafkahi kamu, jadi aku harus kerja.”
Aku masih diam seribu bahasa. Fokusku masih pada wajah Ervin yang seperti banyak berfikir sebelum berkata kata.
“Aku tau mungkin buat kamu apa yang akan aku kasih nantinya nggak ada artinya. Tapi itu bentuk tanggung jawab aku sebagai suami kamu.”
Oh Tuhan ....
Mendengar kata katanya aku rasanya sudah mau pingsan. Seserius inikah Ervin memikirkan hubungan kami berdua. Aku saja tidak mengharapkan apapun darinya selain menjaga rahasia ini agar tetap tidak bocor.
Kini aku mengubah posisi dudukku menghadap Ervin, tanpa aku sadari aku mengangkat kedua tanganku dan mengalungkannya di leher Ervin. Aku mendaratkan kepalaku di sisi kepala Ervin.
“Makasih ya Vin,” kataku lirih di dekat telinga Ervin.
Aku merasakan Ervin menganggukkan kepalanya dan kini kedua tangan Ervin memeluk pinggangku. Sebelum pelukan itu terurai, Ervin sudah mencium samping kepalaku. Perlakuan yang cukup sederhana dari Ervin, tapi mampu membuatku selalu ingin menangis karenanya. Mungkinkah Ervin adalah jawaban dari penantianku selama ini. Diakah orang yang aku cari?
***