Bab 20 Terselamatkan oleh Kerumunan
Bab 20 Terselamatkan oleh Kerumunan
Sementara Zeny dan Ramses II menghadapi masalah mereka masing-masing, begitu pun Deanis dan Kamuzu. Sesekali pemuda itu menoleh ke belakang dan melihat Panglima yang mengenalinya di istana tadi terus mengejarnya sambil melempar banyak anak panah padanya juga Kamuzu.
Kuda Kamuzu mendekat dan menyejajarkan dengan kuda Deanis.
“Tuan, kau membawa senjata?” tanya Kamuzu sambil berteriak.
Deanis menoleh dan membalas dengan sama teriaknya, “Hanya pedang belati.”
Kamuzu yang mendengarnya, kembali menoleh ke arah belakang dan mengawasi Panglima Khnurn yang dikenal sebagai panglima yang sangat handal memanah. Kamuzu hanya sempat memantrai anak panahnya milik Panglima Knurn saat ia sibuk menghajar Deanis.
Ya. Sebenarnya Kamuzu tidak benar-benar meninggalkan Deanis begitu saja. Tertera jelas dalam perintah Bast saat mereka bertukar pesan menggunakan burung rajawali peliharaannya, Bast meminta Kamuzu menjaga Deanis dengan segenap nyawanya.
Kamuzu harus siap mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi Deanis, apa pun yang terjadi pada Deanis. Karena itu, ia berpura-pura tidak peduli dengan Deanis dan pergi untuk menyiapkan kuda dan segala sihir juga mantra untuk membuat jarak dan memperlambat para prajurit serta pasukan kerajaan jika mereka terpancing untuk mengejar Deanis. Dan sejauh ini, rencana Kamuzu cukup berjalan lancar, termasuk memantrai setiap anak panah milik Panglima Khnurn agar tidak membidik dengan benar.
‘Sial. Bagaimana kalau aku tertangkap lagi oleh mereka? Tidak. Aku harus berhasil melepaskan diri dari mereka. Tapi bagaimana?’ monolog Deanis dalam hati sambil terus berpikir.
Kemudian Deanis kembali teringat serbuk Setesh. Ia pun menoleh ke arah Kamuzu dan berkata, “Hei! Kau tahu kegunaan serbuk Setesh?”
Kamuzu menoleh cepat dengan mata yang membelalak saat mendengar Deanis menyebutkan tentang serbuk Setesh.
“Tentu, Tuan. Tuan membawanya?” tanya Kamuzu setengah berteriak seperti sebelumnya.
Deanis mengangguk. Ia merogohkan tangannya ke dalam jubah yang dikenakannya untuk mengambil kantong berisi serbuk Setesh yang masih tersimpan rapi di sana. Ia yang tadinya sempat ingin menggunakannya tapi batal karena Zeny sudah mendekatinya terlebih dulu. Kini, serbuk Setesh itu akan lebih berguna.
“Bagaimana menggunakannya? Bast berkata hanya perlu ditabur saja, benar?” seru Deanis sambil memegang kantong itu rapat-rapat di tangan kanannya.
Kamuzu menggeleng. Serbuk Setesh memang bisa digunakan dengan hanya menaburkannya saja, tapi jika itu dilakukan dalam keadaaan statis atau tidak bergerak. Jika dalam kondisi seperti ini, hanya menaburnya hanya akan sia-sia dan target tak mendapatkan dampak yang besar.
“Berikan padaku, Tuan!” seru Kamuzu sambil mendekatkan kudanya lagi dan mengulurkan tangan kirinya pada Deanis.
Begitu kedua kuda mereka sudah saling berdampingan, Kamuzu berhasil menerima kantong itu kemudian digenggamnya kantong itu sambil mulai berkomat-kamit mengucapkan mantra.
Deanis tentu tak tahu-menahu tentang mantra atau sihir, tentu ia pun tak bisa mengerti apa yang sedang dilakukan pria bernama Kamuzu itu. Ia hanya bisa mempercayakan hal ini pada Kamuzu karena hanya itu yang bisa dilakukan Deanis saat ini.
Perlahan, dari kantong serbuk Setesh itu muncul semacam asap yang tampaknya keluar dari celah-celah kantong yang menjadi wadah dari serbuk Setesh tersebut.
“Hayaa iidhhab ilaa maak aleduw waufs,” ujar Kamuzu yang terdengar oleh Deanis karena pria itu mengucapkannya dengan cukup lantang.
Setelah mantra itu terucap, Kamuzu melempar kantong serbuk Setesh itu ke belakang mereka dan mengatakan pada Deanis, “Di depan ada sebuah pemukiman penduduk. Kita harus membuat kuda ini berbelok lalu kita harus menjatuhkan diri, Tuan!” seru Kamuzu.
Deanis sebenarnya tak mengerti maksud dari perkataan dan rencana Kamuzu, namun ia dengan senang hati mengikuti apa yang dilakukan oleh Kamuzu karena ia percaya pada pria itu.
“Sekarang!” seru Kamuzu.
Deanis pun segera menarik tali kudanya ke satu sisi hingga membuat kuda itu berbelok dan ia menjatuhkan diri. Begitu pula dengan Kamuzu.
“Ayo Tuan! Kita lari!” ajak Kamuzu sambil berlari menuju ke arah pemukiman penduduk yang memang terlihat tak jauh dari posisi mereka terjatuh.
Deanis mengikuti Kamuzu dari belakang. Namun tentu saja ia cukup penasaran dengan apa yang terjadi di belakangnya. Tapi seolah bisa membaca pikiran Deanis, Kamuzu berseru, “Jangan menoleh ke belakang! Jangan sekalipun, Tuan!! Terus berlari saja! Cepat!!”
Mendengar seruan Kamuzu, Deanis pun mengurungkan niat dan keinginannya untuk menengok ke belakang dan fokus berlari mengikuti Kamuzu.
Tak butuh waktu lama, keduanya sampai pada sebuah pemukiman warga. Mereka mulai memperlambat larinya dan perlahan berjalan sambil mengatur napasnya. Mereka pun berada di sebuah jalan yang tampaknya seperti pasar. Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling pasar itu. Tampak ramai, menenangkan, dan entah bagaimana ia merasa nyaman.
“Kamuzu, tempat apa ini?” tanya Deanis pada Kamuzu yang berada di sampingnya.
“Pasar, Tuan. Ini hanya pasar rakyat biasa. Kita bisa berbaur di sini dan kau bisa melepas jubah emas itu. Setelah kau lepas, kurasa tak akan ada yang dapat mengenali Tuan dengan mudah,” ujar Kamuzu memberi saran.
Tentu saja Deanis melakukan saran yang diberikan Kamuzu. Ia melepas jubahnya itu dan menggeletakkannya sembarang tempat. Ia bahkan tak peduli jika ada yang memungutnya. Melihat Deanis dengan asal menggeletakkan jubah, Kamuzu pun membaca mantra dalam hati lalu dalam sekejap jubah itu menghilang.
Deanis menoleh ke arah Kamuzu dengan takjub.
“Mengapa kau mengh-hah! Siapa kau?” tanya Deanis yang melihat pria di sampingnya bukanlah Kamuzu.
Pria itu tertawa kecil.
“Ini saya, Tuan. Kamuzu yang sedari tadi bersama Tuan,” ujar pria itu yang mengaku sebagai Kamuzu.
“K-kamuzu? Kau Ka... ah, aku baru teringat. Jadi ini penampilanmu yang sebenarnya?” tanya Deanis agak sedikit canggung.
Kamuzu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Ya Tuan. Bukankah saya sudah mengatakannya pada Tuan dan Tuan Putri sebelumnya. Sepertinya, Tuan sempat tidak mempercayai kata-kata saya sebelumnya,” ujar Kamuzu.
“Ya. Aku memang sempat tak mempercayaimu. Sampai yah, sampai kau menolongku. Kamuzu, terima kasih,” ujar Deanis sambil menepuk bahu kekar Kamuzu.
Kamuzu tampak tersenyum dan membungkuk hormat pada Deanis.
“Tidak perlu sungkan, Tuan. Ketua dengan jelas memberikan perubahan tugas dan rencana pada saya. Dan ini baru permulaan saja,” ujar Kamuzu.
“Permulaan? Memangnya apa perubahan rencana Bast?” tanya Deanis sambil berjalan-jalan di pasar itu.
“Untuk mendampingi Tuan selama apa pun yang Tuan butuhkan. Tugas ini adalah kehormatan besar bagi saya. Kehormatan bisa melayani Yang Terpilih,” ujar Kamuzu.
Deanis tersenyum.
“Begitu kah? Kalau begitu, itu artinya kau harus terus bersamaku, bukan?” tanya Deanis.
“Ya, Tuan. Itu adalah keharusan. Jika terjadi sesuatu pada Tuan, itu artinya saya lalai menjalankan tugas besar ini. Dan jika saya lalai, hanya nyawa yang bisa menebus kesalahan saya,” ujar Kamuzu terdengar bersungguh-sungguh.
Deanis tampak terkejut mendengar ucapan Kamuzu.
“Wow, santai saja. Tidak perlu sampai mengorbankan nyawamu untukku. Aku bisa menjaga diriku sendiri, Kamuzu. Aku bisa ilmu bela diri, jadi aku yakin itu akan meringankanmu,” ujar Deanis.
Kamuzu tersenyum.
“Anda sungguh murah hati, Tuan,” puji Kamuzu dengan rasa kagum dan hormatnya.
Deanis hanya tersenyum tipis.
“Tidak. Aku tidak sebaik itu. Ah, bolehkah aku bertanya?”
“Tentu saja, Tuan.”
“Mengapa kau tak memperbolehkan aku menengok ke belakang saat kita berlari menuju area pasar ini?” tanya Deanis.
“Agar mantra bekerja dengan baik dan Tuan tidak terkena efeknya,” jawab Kamuzu dengan tenang.
“terkena efeknya?”
Kamuzu mengangguk.
“Apa Tuan tahu kegunaan serbuk Setesh?”
Deanis menggeleng.
“Bast hanya memberikannya padaku dan berkata untuk menebarnya saat ingin menggunakannya. Dan ia memperingatkanku untuk tidak menghirup udara di mana aku menabur serbuk itu. Memangnya, efek apa yang diberikan oleh serbuk Setesh?” tanya Deanis lagi.
“Kekacauan, Tuan. Serbuk Setesh akan mengacau balaukan kerumunan atau mengacau balaukan pikiran orang-orang yang menghirup serbuknya. Dan jika serbuk itu dimantrai dengan mantra yang tepat, maka efeknya bisa lebih bertahan lama dan menjangkau lebih banyak korban. Hanya saja, setelah mengaktifkan serbuk itu dengan mantra, kita tak diperbolehkan melihat bagaimana serbuk itu bekerja. Karena itu sama saja mengintip cara kerja Dewa Seth dan kita akan terkena imbas yang sama jika melakukannya,” jelas Kamuzu panjang lebar.
Deanis mengangguk-angguk mulai mengerti.
“Jadi, serbuk Setesh itu diberi nama seperti Dewa Seth?” tanya Deanis.
Kamuzu tersenyum.
“Serbuk Setesh adalah milik Dewa Seth. Beliau memberikan sebagian serbuk berharganya kepada Ketua sebagai hadiah,” ujar Kamuzu.
Deanis takjub mendengarnya. Ia bahkan berbalik badan dan berjalan mundur karena terlalu menikmati cara Kamuzu berbicara menceritakan wawasannya. Sampai akhirnya saat ia berbalik badan, Deanis hampir menabrak seseorang. Seorang wanita. Saat Deanis hendak menghindar, namun terlambat. Wanita itu sudah terkejut padanya dan terjatuh.
“Demi Dewa!!”
*to be continued*