Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Di meja makan, Luna menunjukkan kemampuan aktingnya yang luar biasa.

Pertama dia menatapku dengan air mata berlinang dan berkata, "Aku hampir mati terkejut karena Julia tadi. Aku membantunya membersihkan kamar dan tanpa sengaja melihat hasil diagnosis kanker hati."

Seluruh keluarga menatapku.

"Akhirnya aku pergi menemui temanku yang merupakan seorang dokter. Dia bilang itu palsu. Mungkin sejak kakak meninggal, Julia semakin mendambakan kasih sayang semua orang ...."

Suasana di meja makan langsung menjadi sunyi.

Orang tuaku menatapku seolah mereka sangat ingin membunuhku.

Luna mulai berbicara dengan nada manis lagi, "Julia, kamu juga ada-ada saja. Jika Paman dan Bibi melihatnya, mereka akan sangat khawatir."

"Apalagi, tidak boleh sembarangan bicara. Siapa tahu hal itu tidak terjadi padamu, tapi bisa saja menimpa keluargamu."

Adikku menggebrak meja dan membentak, "Cukup!"

"Ah ... aku salah bicara. Maaf. Hari ini adalah ulang tahun Julia, aku pergi dulu."

Adikku meraih tangan Luna, menatapku dan berkata, "Orang yang seharusnya pergi adalah orang pembawa malapetaka ini!"

Ayahku menamparku dan berkata, "Cepat pergi!!"

Aku kembali ke dalam kamar, tak lama berselang Dimas menyusulku ke kamar.

Dimas melihat wajahku yang merah dan bengkak, dan hanya berkata, "Ada apa denganmu sekarang? Mengapa kamu menjadi seperti ini?"

"Keluarlah untuk makan."

Aku memuntahkan seteguk darah.

Dimas, yang baru saja keluar, kembali lagi. Melihat noda darah yang lebih luas dari sebelumnya, dia hanya mengenyit dan berkata, "Berhentilah berpura-pura, itu hanya akan membuat orang semakin muak padamu."

Ternyata cinta atau tidak, memang bisa mengubah ekspresi seseorang. Dimas yang dulunya sangat lembut di mataku, kini hanya menyisakan sikap yang kasar dan kejam.

Di matanya, aku juga telah berubah dari gadis kecil yang manis menjadi wanita yang kejam dan licik.

Jika tidak, bagaimana dia bisa begitu mudah tidur dengan Luna, sahabatku itu?

Memikirkan ini, aku merasa mual dan mulai muntah lagi.

Alasan yang dia berikan kepadaku adalah berhubungan seks setelah mabuk. Tetapi alkohol hanya memperkuat hasrat yang ada di dalam hati mereka. Bagaimana mereka bisa menganggap diri mereka sebagai korban yang tidak bersalah?

"Kita putus saja."

Tangan Dimas yang menutup pintu berhenti sejenak. Dia menatapku dengan tidak sabar dan berkata, "Apa yang kamu ributkan lagi?"

Aku mengulanginya lagi.

"Dimas, kita putus."

"Bang!"

Pintu dibanting.

Dia menggaruk rambutnya dengan kesal.

"Apa lagi yang kamu ributkan? Apa kamu tidak bisa belajar dari Luna?"

"Kamu punya keluarga dan aku. Luna tidak punya apa-apa selain ayahnya yang sakit parah dan adiknya yang sedang dipenjara."

"Ya, juga dirinya yang hancur," aku menyambung perkataannya.

"Karena itulah, aku memberikan segalanya untuknya, agar dia memiliki segalanya. Bagaimana?" tanyaku.

"Kamu sungguh tidak bisa dimengerti!" jawab Dimas.

"Jika kamu mau putus, putus saja." Setelah melontarkan kata-kata ini, Dimas membanting pintu dan pergi lagi.

Aku memegang leverku yang berdenyut kesakitan dan meringkuk di lantai.

Bau alkohol di kamar membuatku sangat menderita.

Saat pemeriksaan terakhir, dokter memberitahuku untuk tidak menyentuh alkohol sama sekali. Jika tidak, aku hanya akan punya waktu paling lama satu bulan untuk hidup.

Namun, aku butuh uang. Aku ingin mengakhiri hidupku dengan bermakna.

Aku sudah merencanakan pemakamanku sendiri, tetapi aku kekurangan uang.

"Ding."

Pesan dari Luna.

"Apakah kamu menyukai acara yang aku atur untukmu hari ini?"

"Bagaimana rasanya dibenci oleh orang yang paling kamu cintai?"

Aku tidak membalas dan hanya diam-diam menyimpan pesannya.

Kebenaran akan terungkap suatu hari nanti, bukan?

Aku mengambil beberapa barang-barang yang dibutuhkan dan pergi ke sebuah rumah kecil

Meski kecil, rumah ini adalah tempat terakhir yang menghangatkan hatiku.

"Kakak! Johan sangat merindukanmu!"

Johan adalah anak laki-laki yang aku adopsi. Aku menemukannya saat turun hujan. Dia bilang dia tidak bisa menemukan rumahnya.

Sepertinya aku yang juga tidak bisa menemukan rumah sendiri, jadi dia menjadi adikku.

"Kak, kali ini aku mendapat peringkat pertama lagi."

Aku mengelus kepalanya dan berkata, "Johan hebat. Bagaimana kalau Kakak membawamu makan enak nanti."

Johan mengangguk, "Kakak, aku tahu ayam goreng yang sangat enak, ayo kita makan itu!"

"Aku juga ingin makan es krim!"

Mendengar kata es krim, aku tertegun sejenak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel