Part 3. Trauma Mendalam
Sore itu Dinda dan teamnya mengunjungi Siska dirumah sakit, setelah sebelumnya mereka terpaksa meninggalkan Siska karena harus ke pengadilan untuk sidang kasus.
Siska terdiam menatap ke arah dinding berbahan kaca, di mana di dalamnya ada adiknya yang saat ini tengah dipasangi beberapa peralatan medis untuk meninjau kondisinya. Sebagaimana yang Sinta tahu, adiknya itu harus dites beberapa kali yang Sinta sendiri tidak tahu untuk apa semua itu. Padahal Sinta berharap adiknya itu bisa langsung dioperasi, dengan begitu ia bisa melihat dan menyapanya untuk menemaninya dalam sekamar.
Sebenarnya Dinda merasa khawatir sejak tadi saat harus meninggalkan Siska yang sudah seperti adiknya itu, apalagi kata perawat Siska terus memanggil namanya saat pingsan, katanya ingin sekali bertemu dengannya dan bahkan sampai meminta pulang.
Memaksa Dinda harus menghapus air mata yang sedari tadi menemaninya saat melihat kondisi Siska dengan leher penuh kiss mark. Pemandangan yang sangat tak lazim untuk gadis seperti siska yang sangat menjaga pergaulanya.
Dinda yakin terjadi sesuatu yang sampai membuat sahabat nya itu nekad mengiris urat nadinya.
"Dinda ..," panggil seseorang yang menyadarkan Dinda akan pikirannya yang sempat goyah dan kacau dengan keadaan Siska dan melihat sepatu Siska dikolong meja Gatot Erlangga. Dinda yakin ini ada hubungannya.
"Mas Benny ...?" Dinda bergumam lirih, saat melihat siapa seseorang yang baru saja memanggilnya.
Dinda mengangguk lalu berjalan keluar dari ruangan dimana Siska terbaring lemah.
"Dinda, duduk lah!" Dinda mengangguk mengerti lalu duduk disamping Kaka kandungnya itu.
"Kamu tahu kalau seseorang sudah memperkosa Siska..? Tadi dokter menjelaskan hasil pemeriksaan Siska ." Ucap Benny, membuat Dinda melototkan matanya seolah tidak bisa percaya bila itu terjadi pada Siska sahabatnya.
" Aku mencurigai seseorang Mas...!" Jawab Dinda.
" siapa...? Apa kamu tahu Siska berhubungan dengan laki-laki belakangan ini..? Setahuku dia tidak pernah macam-macam seperti pergaulan pramugari yang ada disini. Walaupun mas tahu Siska sering kumpul dengan mereka." Jawab Benny.
" Malam kemarin Siska kembali ke kantor saat piket karena harus membuat berita acara pemulangan dan beberapa surat penting untuk persidangan. Dan aku lihat semua berkasnya sudah selesai dan ada didalam mobilnya. Tapi pagi tadi saat aku dan teman-teman menghadap ke ruangan Gatot Erlangga, aku melihat sepatu Siska ada dikolong meja kerja Gatot. Tapi aku belum memastikan lagi. Rencananya malam ini aku akan masuk ke ruangan Gatot untuk memastikan, kalau itu benar sepatu milik Siska. Mungkin aku akan minta security melihat kamera cctv di lorong kantor." Jawab Dinda mengungkapkan kecurigaannya.
" Oke, kita akan selidiki, dan masalah Gatot. Dia juga dalam pengawasan sekarang, banyak kasusnya juga selama ia tugas di Dubai tapi semua mental karena ia terus dilindungi backing yang kuat. Dan selama ini mereka selalu bisa menutupi semuanya.as harap kamu bisa menjauh dari Gatot dan kroninya. Kamu jadi kan resign..?"
Dinda mengangguk
" Iya mas, aku akan lebih fokus Dikantor kita saja..!" Jawab Dinda,walaupun sebenarnya ia berat meninggalkan pekerjaan yang selama ini digelutinya.
Setelah berbicara dengan kakak nya Dinda berjalan kembali masuk kedalam ruangan dimana Siska dirawat.
"Maaf, aku merepotkan kalian." Ucap Siska pelan, sedangkan ekspresinya sangat terlihat canggung merasa tida enak dengan kondisinya yang akhirnya membuat ketiga sahabat nya itu harus mengurusnya.
Terutama Pak Benny Adjie, duda dari kakak Sahabat nya yang selama ini mengisi hatinya. Walaupun belum ada satu ikatan tapi sudah sangat dekat.
"Kamu jangan terlalu banyak berbicara apalagi bergerak! Karena kondisimu sangat lemah, setelah kehilangan banyak darah." Dinda menyahut tegas, yang hanya mampu diangguki lemah oleh Siska yang kian canggung dengan keadaannya saat ini.
"Iya, Mbak..."
"Kamu harus makan," Ucap Benny, yang berdiri disamping Dinda. Saat seorang perawat datang dengan nampan berisi makanan.
Siska sama sekali tidak berani menoleh atau melihat pada Benny.
Setelah ke perawat itu pergi dan menutup pintu ruangan, Benny mendudukkan tubuhnya dengan membawa nampan makanan untuk Siska.
Kalau dalam keadaan normal pasti ketiga sahabat nya akan menggoda Siska dan Benny.
Tapi kali ini suasana begitu kaku,
Sedangkan Siska sendiri hanya terdiam, tidak banyak bicara apalagi berbicara seperti biasanya dia yang paling cerewet diantara Dinda dan Dewi.
Membuat mata tajam Benny memicing, menatap Siska dengan rasa khawatir dengan keadaannya.
"Kenapa kamu banyak diam ? Apa kamu merasa semakin lemas?" Tanya Dewi yang juga merasa kalau Siska sangat pendiam. Hanya menatap keluar jendela.
"Tidak apa." Siska menjawab pelan, sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya, Siska hanya tak pernah menyangka bila hidupnya akan seperti ini sekarang.
Ia merasa masa depan nya saat ini sudah hancur dalam sekejap malam. Entah apa yang sebenarnya ingin Tuhan rencanakan, tapi yang pasti, Siska merasa semua ini tidak adil untuknya. Sampai saat suara Dinda kembali terdengar, menyadarkan Siska akan lamunannya.
"Kalau begitu, kamu harus makan!" pinta Benny sembari menyiapkan sendok untuk mengambil beberapa nasi dan lauk. Dinda berdehem menggoda berusaha mencairkan suasana kaku.
Sedangkan Siska seketika menoleh, menatap ke arah Benny dengan sorot mata takut atau entahlah pandangan nya tersirat pedih.
"Aku bisa makan sendiri. Berikan saja nampannya padaku!" ujar Siska sembari menunjukkan telapak tangan kirinya ke arah Benny seolah sedang ingin meminta pada lelaki itu.
"Tidak. Kamu tidak akan bisa makan sendiri, tangan kananmu saja sedang diinfus. Bagaimana caranya kamu makan, hm?"
"Aku masih memiliki tangan kiri, kamu bisa melihatnya kan..?." Siska menjawab acuh, sembari kembali menodongkan tangan kirinya ke arah Benny.
"Memangnya kamu bisa makan dengan menggunakan tangan kiri? Sedangkan tangan kirimu saat ini sedang terluka."Jawab Benny masih berusaha membujuk wanita yang perlahan mengisi hatinya setelah istrinya meninggal beberapa tahun lalu.
"Berikan saja padaku! Meskipun aku tidak bisa, aku akan berusaha. Setidaknya aku akan makan..."
"Sudahlah. Kali ini kamu harus menerima pelayananku, Siska. Karena kamu tidak akan bisa makan dengan kondisi tanganmu yang seperti ini dan lagi, seharusnya kamu merasa beruntung bisa disuapi Duda keren idola para wanita." Benny berujar santai diiringi senyum percaya diri dari bibirnya, sedangkan tangannya masih memilah lauk dan nasi untuk di suapkan ke pada Siska.
" iya kapan lagi beradegan romantis sama Pak Benny ..? " goda Dewi yang juga tahu kalau sahabatnya memang jatuh hati pada pria itu.
"Sekarang, buka mulutmu!" Benny mengangkat sendok yang sudah berisikan makanan itu ke mulut Siska yang saat ini justru merapatkan ke dua bibirnya, seolah ingin menolak perlakuan Benny saat ini padahal sebelumnya Siska sangat mengharap kan perlakuan romantis dari duda keren itu.
"Buka!" pinta Benny terdengar lembut, bahkan mulutnya ikut terbuka, yang kali ini juga mendapat penolakan dari Siska yang menggeleng kuat.
"Aku tidak akan mau makan, kalau aku tidak makan sendiri." Siska menjawab tegas, sembari kembali merapatkan ke dua bibirnya.
Ketiga sahabat nya tercengang dengan perilaku Siska.
"Apa kamu tidak mendengar ucapan dokter dan perawat tadi? Kamu itu harus banyak makan, untuk memulihkan kondisi tubuhmu."
"Aku tidak peduli. Biarkan saja aku mati." Benny sampai berdecap tak percaya, Dinda mencolek bahu kakaknya untuk tidak berdebat dengan Siska.
"Baiklah. Kamu makan saja sendiri, tapi harus dihabiskan semuanya...!" Benny memberikan nampan makanan itu pada Siska dengan sorot mata khawatir yang kali ini justru disambut baik oleh Siska yang menerimanya.
Tanpa pikir panjang lagi, Siska mengambil sendok,namun...
"Akh ...." Siska berteriak lirih, kala tangan kirinya yang ia gunakan untuk mengangkat sendok itu terasa berdenyut dan sakit.
"Bukan kah, aku sudah mengatakannya padamu, bila kamu tidak akan bisa makan dengan hanya menggunakan tangan kirimu yang sedang terluka, sedangkan tangan kananmu juga diinfus. Jadi, menurut lah apa kata calon suamimu ini...!." Mata Siska melotot mendengar ucapan Benny sementara ketiga sahabatnya tersenyum.
Benny lalu menyendokan makanan pada Siska.
"Makan!" Dengan sangat terpaksa, Siska melahap makanan yang Benny sodorkan dan mengunyahnya tanpa minat.
"Sudah, aku sudah kenyang." Baru habis setengahnya, Siska merapatkan ke dua bibirnya.
"Kamu bahkan baru makan setengahnya."
" Bisakah aku mengambil cuti...?" Tanya Siska pada Dinda.
" Sure,nanti aku uruskan..! Sekarang istirahat lah...!" Jawab Dinda.
****
