Bab 1
Aku sedang berdiri di luar pintu sambil membawa hadiah, ketika aku mau mengetuk pintu, aku mendengar suara desahan yang keluar dari celah pintu.
"Kak David, kamu benar-benar mau menikah dengan Elena Budiman?" Ucap seorang wanita sambil tersenyum sinis.
Dia adalah Maya Wirya, teman sekelasku dan David Anadra.
David bernapas terengah-engah, dengan kesal dia berkata, "Dia hanyalah wanita yang buta, bagaimana mungkin dia pantas menjadi istriku."
"Kamu masih bisa memikirkan hal-hal yang aneh, sepertinya yang kulakukan ini masih belum cukup."
Seperti ada sesuatu yang terjatuh di dalam kamar, menghasilkan suara-suara yang berisik.
Aku pun tahu apa yang sedang terjadi di dalam tanpa perlu menebak-nebak.
Aku menggenggam hadiah di tanganku dengan keras, hatiku terasa seperti tenggelam ke dasar laut, aku bahkan tidak tahu kenapa aku masih memiliki tenaga untuk turun ke bawah.
Melihatku selesu ini, bibi pelayan langsung menghampiriku dengan cemas.
"Nona, ada apa? Sedang tidak enak badan?"
Aku menggeleng-geleng sambil tersenyum paksa, lalu memberikan jimat pelindung yang sedang kupegang ini padanya.
"Bibi Isla, ini untukmu."
"Bukankah ini buatanmu sendiri yang mau kamu berikan pada tuan muda?"
Setelah mengingat semua yang terjadi barusan, aku merasa diriku ini sangat konyol.
Tidak ada orang yang tidak tahu kalau aku menyukai David, selain David sendiri.
Selama bertahun-tahun, sikap David yang maju mundur ini membuatku merasa diriku sangat spesial baginya.
Ketika masih kecil, setiap kali aku lupa membawa buku pelajaran ke sekolah, David akan memberikan bukunya padaku, lalu dia sendiri yang dihukum guru membersihkan toilet.
Setiap kali aku meminta maaf padanya dengan rasa bersalah, dia selalu mengelus kepalaku sambil tersenyum.
"Elena adalah puteri kecilku, sebagai seorang puteri, tentu saja kamu harus bahagia."
Semua semangat, antusias dan gairah di masa mudaku, pada akhirnya mendatangkan rasa malu.
Aku berusaha mempertahankan senyuman di wajahku, "Tidak, dia tidak memerlukannya."
Colette yang sedang berada di taman seperti bisa merasakan emosiku, dia pun datang menjilat-jilat tanganku, berbaring di atas kakiku.
Tidak lama kemudian, Colette menggonggong dua kali, seakan-akan dia mendengar sesuatu.
Setelah mencium aroma yang khas ini, aku tahu David sudah datang.
Aku bisa merasakan tatapannya ke arahku, pasti dipenuhi dengan rasa benci dan sinis.
Aku tidak menghampirinya seperti biasa, malah Maya yang berjongkok di sampingku.
"Elena, ini adalah anjing pemandumu? Lucu sekali, apakah aku boleh mengelusnya?"
"Guk, guk guk!"
Aku menggendong Colette dan menjelaskan, "Colette tidak suka dielus oleh orang asing, jadi sepertinya tidak bisa."
"Tidak apa-apa, aku sangat menyukai anjing kecil, aku juga punya satu ekor di rumah, Colette pasti akan menyukaiku."
Maya masih tidak menyerah, ketika dia baru mengulurkan tangannya, aku bisa merasakan Colette melompat dari pelukanku.
Jeritan seorang wanita dan suara Colette bercampur menjadi satu, situasi menjadi kacau.
Setelah suasana hening kembali, aku mendengar erangan Colette, sepertinya dia ditendang oleh seseorang.
Dengan marah David berkata, "Elena, kalau lain kali kamu berani melepaskan anjing itu untuk menggigit orang lain, aku akan membuangnya."
Aku mematung di tempat, ini adalah pertama kalinya David marah padaku.
Aku berusaha menahan air mataku agar tidak menetes, tapi aku juga tidak bisa mengatakan apa-apa.
Sepertinya Maya sedang bersandar di pelukan David sambil menangis, "Kak David, ini bukan salah Elena."
Sampai sekarang Colette masih mengerang, aku langsung menghampirinya, menggendongnya, bersiap-siap membawanya pergi dari sini.
Tapi ada seseorang yang mencegatku.
"Elena, kamu sudah melakukan kesalahan, memangnya kamu tidak perlu minta maaf? Minta maaf pada Maya sekarang juga."
Genggaman David ini sangat kuat, pada akhirnya aku tidak bisa menahan air mataku lagi.
"Jelas-jelas aku sudah memberitahunya, dia sendiri yang tetap mau mengelusnya, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa."
"Sejak paman meninggal, kamu semakin tidak masuk akal." Ucap David dengan kecewa, ketika dia menggendong Maya dan berjalan melewatiku, dia sengaja menyenggolku.
Aku pun kehilangan keseimbangan dan tanganku tidak sengaja tergores sesuatu yang tajam.
Tapi dibandingkan dengan rasa sakit di tanganku ini, hatiku jauh lebih sakit.