Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Rahasia yang Terbuka

Bayu, Ratna, dan Indri serentak menoleh ke arahnya.

Wajah Nayla basah oleh air mata, matanya menatap lurus ke arah Bayu yang terlihat terkejut.

"Mas, apa benar yang aku dengar?" suaranya bergetar, tetapi jelas terdengar di seluruh ruangan.

Bayu terdiam, wajahnya seketika pucat.

"Apa benar Indri ini bukan sepupumu?" Nafas Nayla tersengal, dadanya naik turun menahan emosi. "Apa benar dia istrimu? Dan... dia sedang mengandung anakmu?"

Ruangan mendadak hening. Hanya suara isakan pelan Nayla yang terdengar.

Malam itu, rahasia yang selama ini disembunyikan akhirnya terbongkar.

Nayla mengulang pertanyaannya, suaranya bergetar, penuh luka.

Bayu terdiam, pikirannya kacau. Mulutnya ingin berbicara, tapi semua kata terasa macet di tenggorokannya. Sebelum ia sempat menjawab, Ratna sudah melangkah maju, mendekati Nayla dengan tatapan dingin.

"Benar." Suara Ratna terdengar tegas. "Indri bukan sepupu Bayu. Dan sekarang, dia sedang mengandung anak Bayu."

Ratna menyilangkan tangan di dadanya, matanya tajam menatap Nayla—seolah menantang wanita itu untuk membantah.

Jantung Nayla seperti diremas. Dikhianati oleh suaminya sudah cukup menyakitkan, tapi mendengar kabar ini langsung dari mulut mertuanya? Itu jauh lebih menyakitkan.

"Bagaimana bisa kamu mengkhianatiku seperti ini, Mas? Apa kurang pengabdianku selama ini?" suara Nayla pecah.

Tangannya gemetar saat ia memukul dada Bayu berkali-kali, bukan dengan keras, tapi dengan penuh kekecewaan. Seolah berharap suaminya bisa merasakan sepercik dari rasa sakit yang ia rasakan.

Bayu akhirnya bergerak, menangkap pergelangan tangan Nayla dengan kasar.

"Cukup, Nayla!" bentaknya. "Kamu nggak bisa menyalahkan aku begitu saja! Kalau ada yang harus disalahkan, itu kamu, bukan aku!"

Bayu melepaskan tangan Nayla dengan kasar, membuatnya sedikit terhuyung.

Nayla menatapnya dengan mata membelalak. "Apa maksudmu, Mas?"

Sebelum Bayu sempat menjawab, Indri melangkah mendekat. Dengan percaya diri, ia merangkul lengan Bayu, kepalanya bersandar manja di pundak pria itu.

"Jadi kamu masih belum sadar?" Indri menyeringai. "Coba lihat dirimu, dekil, gendut, dan bau."

Kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk hati Nayla.

Indri melepas genggamannya di tangan Bayu dan mendekat ke arah Nayla.

"Sudahlah, Mbak." suaranya merendahkan. "Aku nggak pernah meminta Mas Bayu menceraikan Mbak. Jadi, Mbak Nayla nggak perlu takut menjadi janda."

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Indri.

Ratna terkejut, lalu segera menarik Nayla menjauh dari Indri.

"Dasar perempuan kampung! Apa yang kamu lakukan pada Indri?" suara Ratna meninggi.

Nayla menatapnya tajam. "Aku yang harus bertanya, Ma! Apa yang kalian lakukan padaku?"

"Nayla!" Bayu mencengkeram tangan Nayla dengan erat. "Jangan kurang ajar! Dia ibuku, kau harus hormat!"

Nayla berusaha menarik tangannya, tapi genggaman Bayu begitu kuat.

"Apa pantas dia disebut mertua setelah apa yang ia lakukan?" suara Nayla bergetar penuh kemarahan. "Seharusnya, seorang ibu menjadi teladan yang baik untuk anaknya, bukan malah menghancurkan rumah tangganya!"

"Jaga mulutmu, Nayla!" Ratna mengacungkan jari telunjuknya, matanya membelalak marah. "Dari awal, aku tidak pernah menerima kamu sebagai menantu di rumah ini. Tapi kamu tetap nekat!"

Air mata Nayla mengalir tanpa bisa ia tahan.

"Tapi kenapa harus poligami, Ma? Aku bisa memberikan keturunan untuk Mas Bayu! Aku bisa memberikan cucu untuk Mama!"

Ratna menyeringai, lalu meludah di hadapan Nayla.

"Kamu pikir aku mau menerima cucu dari wanita kampung sepertimu? Tidak, Nayla. Sampai kapanpun, kamu hanyalah pembantu di rumah ini."

Nayla membeku. Selama ini, ia berusaha sekuat tenaga menjadi istri yang baik, menantu yang patuh. Tapi di mata mereka, ia tidak pernah lebih dari sekadar orang luar yang tak diinginkan.

Ratna menoleh ke arah Bayu. "Bawa dia keluar dari kamar ini. Aku tidak ingin dia menyakiti Indri lagi!"

"Ayo ikut aku!" Bayu mencengkeram tangan Nayla dan menariknya keluar dengan kasar.

"Lepaskan aku, Mas!"

Nayla berusaha melawan, tapi Bayu tak peduli. Ia menyeret Nayla seperti seseorang yang membuang sampah.

Setibanya di kamar mereka, Bayu mendorong Nayla hingga terhuyung ke ranjang.

"Kamu bisa nggak berhenti bikin masalah?" suaranya terdengar tajam.

Nayla menatapnya dengan mata penuh amarah. "Aku yang membuat masalah? Justru kamu dan ibumu yang menghancurkan rumah tangga kita!"

Ia bangkit, meraih tangan Bayu dengan penuh harapan.

"Mas, apa kamu lupa bagaimana kita berjuang mendapatkan restu Mama? Apa kamu lupa bagaimana kita bertahan sampai di titik ini?"

Bayu menutup matanya sejenak sebelum berbalik, membelakangi Nayla.

"Aku ingat. Bahkan sangat ingat," suaranya terdengar berat. "Tapi itu dulu. Sekarang, aku tidak punya perasaan apa-apa lagi padamu."

Kata-katanya menghancurkan hati Nayla.

"Kenapa, Mas? Kenapa kamu bisa berubah secepat ini? Apa salahku?"

Nayla menggenggam tangan Bayu, mengguncangnya. Namun, pria itu tetap diam.

Akhirnya, Bayu menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada dingin, "Jika kamu masih mau menjadi istriku, kamu harus menerima Indri sebagai bagian dari rumah tangga kita."

Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi jika kamu tidak bisa menerimanya, silakan tinggalkan rumah ini. Dan saat itu juga, aku metalakmu, Nayla Putri Permadi."

Dunia Nayla runtuh dalam sekejap.

Bayu berbalik dan berjalan keluar kamar, meninggalkan Nayla sendirian dalam kesedihan.

Nayla jatuh terduduk di lantai, bahunya terguncang hebat karena tangis yang tak bisa ia tahan lagi.

"Aku nggak percaya... Mas bisa sejahat ini. Bagaimana mungkin kamu menghancurkan pernikahan kita?"

Tangisannya menggema di ruangan yang kini terasa begitu sepi.

***

Pagi itu, aroma roti panggang dan kopi menguar di udara, tetapi bagi Nayla, tidak ada yang lebih menyengat daripada pemandangan di hadapannya.

“Selamat pagi, Sayang.” Indri baru saja tiba di meja makan dan langsung memeluk Bayu yang sudah duduk di kursinya.

Bayu menyambutnya dengan senyum hangat, sementara Nayla hanya bisa membisu. Tangannya mencengkeram sendok dengan erat, seakan itu satu-satunya yang bisa menahan dirinya agar tidak hancur saat itu juga.

“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Bayu, menatap Indri dengan penuh perhatian.

Indri mendesah pelan. “Semalam aku nggak bisa tidur, bayi ini terus menendang perutku.”

Dengan santai, Indri meraih piring dan meletakkan roti panggang di atasnya.

Nayla yang sejak tadi diam kini mulai berpikir. Bayi itu sudah menendang? Berarti usia kandungannya sudah lebih dari lima bulan…

Ratna, yang duduk di seberang meja, tersenyum penuh kasih sayang. “Ya ampun, kasihan menantu kesayangan Mama.” Tangannya mengusap perut Indri yang mulai membuncit. Lalu, ia menatap Bayu dengan penuh ketegasan. “Bayu, mulai sekarang kamu harus lebih perhatian sama Indri. Perempuan hamil itu rawan jatuh dan nggak boleh stres.”

Bayu mengangguk patuh. “Iya, Ma. Aku akan usahakan.”

Nayla berusaha menelan kenyataan pahit itu. Tangannya semakin erat menggenggam gagang sendok, nyaris membuat buku-buku jarinya memutih. Air matanya menggenang di pelupuk mata, tetapi ia menolak untuk menjatuhkannya. Tidak di hadapan mereka.

Dengan suara yang nyaris bergetar, Nayla akhirnya bersuara.

“Mas, ada yang ingin aku katakan padamu.”

Bayu menghentikan gerakan tangannya. Begitu juga Ratna dan Indri.

Kini, seluruh perhatian di meja makan tertuju padanya. Namun, Nayla tahu… apa pun yang akan ia katakan, tak akan mengubah kenyataan bahwa ia hanyalah orang asing di dalam rumahnya sendiri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel