Tidak Terima
Kusambar tas selempang yang berisi dompet dan dua ponsel. Dengan berlari, aku menuruni anak tangga, bukan hanya satu anak tangga melainkan dua anak tangga sekaligus.
Brugh
Aku jatuh tersungkur sesaat. Namun itu tak menyurutkan semangatku untuk menyusul Julian yang mobilnya belum keluar dari pekarangan rumah. Aku bangkit kembali, lalu berlari dengan sekencangnya menuju mobil yang sudah siap dikendarai oleh Mang Ismun.
"Mau apa kamu, Anes?" tanya Bu Dian; mama mertuaku, sekaligus mama mertua Kak Mira. Semua mata memandang aneh dan tak suka padaku. Apa aku peduli? Tentu tidak. Tanpa menjawab pertanyaan mertua, sekaligus tatapan heran Julian, aku masuk ke dalam mobil yang akan membawa pasangan mesra ini untuk berbulan madu.
"Keluar! Mau apa, Kamu?" Dengan kasarnya, Julian menarik tanganku keluar dari dalam mobil, tetapi aku berpegangan pada sandaran jok, hingga lelaki itu kesulitan menarikku keluar.
"Aku ikut kamu bulan madu. Ingat, aku juga istrimu dan kita belum berbulan madu. Siap berpoligami, maka kamu harus siap berlaku adil," sinisku dengan tajam. Tak kupedulikan wajah kesal Mira dan semua orang yang ada di sana.
"Oh, baiklah. Aku tidak akan mengganggu pengantin untuk duduk berdua di belakang," tambahku lagi, sambil pindah tempat duduk, persis di samping Mang Ismun.
Ada gerakan kepala dari kedua mertuaku pada Julian. Hingga akhirnya, lelaki itu menurut dan menggandeng tangan Mira untuk masuk ke dalam mobil yang sama denganku. Sungguh pemandangan yang menjijikkan. Suamiku berubah tiga ratus enam puluh derajat dan itu cukup membuat amarahku semakin membumbung tinggi. Kita lihat saja, apa dia bisa berbulan madu dengan tenang di sana.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan mengganggu Kak Mira dan juga suamiku untuk berbulan madu. Aku hanya ingin ikut saja," kataku tanpa menoleh ke belakang.
"Kamu tidak punya tiket," balas Julian dengan malas.
"Nanti aku beli di sana, menggunakan uangku. Tenang saja. Apa kamu lupa aku siapa, Julian? Ah ... Iya, Kak Mira juga mungkin lupa aku siapa. Aku, Anes Katrina Jovan adalah pemilik saham kedua terbesar di hotel milik ayahku dan pemegang saham ketiga di hotel milik Papa Julian. Aku juga pemilik toko aksesoris di sepuluh mal yang tersebar di Jakarta dan Yogyakarta. Jadi, soal tiket yang seharga upil itu, buka masalah bagiku," tukasku dengan penuh percaya diri.
Jika Julian mungkin sudah hapal apa pekerjaanku, tetapi Kak Mira tidak. Wanita berumur itu harus tahu dia berhadapan dengan siapa.
"Terserah kamu saja. Aku malas berdebat!" balas Julian sambil memalingkan wajahnya. Aku melirik sekilas dari spion depan. Pasangan pengantin itu berwajah sangat masam dan kelihatan sangat kesal. Aku tak peduli, yang penting takkan kubiarkan Julian dan Kak Mira bersenang-senang di atas penderitaan ku.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kami sudah masuk tol untuk menuju bandara. Kak Mira tertidur sambil bersandar di pundak suamiku yang juga suaminya. Pemandangan sangat manis, yang seharusnya akulah sebagai Mira saat ini.
Selama kami pacaran, aku memang tahu bahwa Julian sangat menyayangi Kak Mira, tetapi aku juga tidak tahu apakah rasa sayang sebagai kakak saat ini sudah berubah menjadi rasa sayang terhadap lawan jenis.
"Apa sebelumnya, kamu memang menyayangi Kak Mira, melebihi rasa sayang kamu padaku?" tanyaku dengan tiba-tiba. Julian nampak terkesiap dengan pertanyaanku. Bibirnya tak langsung membuka untuk menjawab pertanyaan itu. Dia menarik napas panjang sebanyak dua kali, dengan kening berkerut. Sepertinya di dalam otaknya sedang merangkai kata yang tepat untuk kembali menyakiti hati ini.
"Aku menyayangimu seperti layaknya laki-laki dan perempuan. Namun, kamu sendiri yang membuat semua menjadi rumit," jawab Julian dengan suara pelan. Aku tahu, dia tak ingin membangunkan. Kak Mira dari tidurnya.
"Kami dijebak. Apa kamu sudah melihat CCTV-nya?" tanyaku lagi, masih berusaha untuk menyadarkan dan membuka pikirannya, agar tidak selalu menyudutkanku untuk masalah yang kini sedang kami alami.
"Sudah dan kamu memang secara sukarela masuk ke dalam kamar yang salah. Mau pembelaan seperti apapun, kamu tetap salah. Karena kesalahanmu itu, aku hampir gila dan membuat Kak Mira menanggungnya seumur hidup," balas Julian kembali tidak mau kalah.
Sudah kuputuskan untuk tidak memaksakan opiniku pada Julian, karena di matanya, aku tetap bersalah. Mungkin aku harus menemukan cara lain, agar Julian segera sadar dari kesalahannya. Sekarang? Tentu tidak mungkin. Hatinya masih berbunga-bunga bisa memperistri dua wanita sekaligus dalam waktu hanya beberapa hari saja.
Kami pun sampai di lobi terminal keberangkatan. Mang Ismun membantu menurunkan koper, sedangkan Julian menuntun Kak Mira keluar dari mobil.
"Tolong bantu aku juga, Mas. Aku kan istrimu juga," rengekku sambil membuka pintu mobil. Lelaki itu memainkan bola mata malasnya, begitu enggan menolongku.
"Kaki dan tangan kamu tidak sakit. Masih bisa berjalan sendiri. Plis, Nes! Jangan lebay!" sinis Julian sembari menjauh dari hadapanku.
"Bantu aku, atau aku akan meneriaki Kak Mira pelakor," seruku dengan suara lantang. Pasangan itu menghentikan langkah. Julian berbalik ke arahku, lalu berjalan dengan serampangan menuju mobil, dan membantuku untuk keluar dari mobil.
"Terima kasih, Sayang," ujarku seraya melayangkan satu kecupan di pipi Julian. Lelaki itu mematung dan tidak jauh dari kami berdiri saat ini, Kak Mira nampak pucat. Sepertinya ia sangat marah dengan kelakuanku, hal itu bisa terlihat dari kedua tangannya yang mengepal keras di balik rok yang dia pakai.
"Ayo. Kamu di tengah, Mas. Aku dan Kak Mira di samping kanan dan kirimu," ujarku lagi sambil menarik tubuh terpakunya Julian untuk mendekat pada Kak Mira.
"Kami harus check in dan kamu belum ada tiket," ujar Kak Mira dengan suara sangat hati-hati.
"Oh, tunggu sebentar." Aku segera mengeluarkan ponsel, lalu memperlihatkan tiket pesawat online yang sudah aku pesan menuju Bali. Tempat di mana Julian dan Kak Mira akan berbulan madu.
"Tarraa ... Ini tiketku. Ayo, kita langsung check in!" Dengan sekuat tenaga, aku menarik lengan Julian untuk masuk ke dalam antrean check in. Tak ada suara yang keluar dari pasangan pengantin baru itu karena dapat kupastikan suasana hati mereka pasti tengah kacau dengan kehadiranku.
"Julian, saya mau minum susu coklat dingin. Tolong belikan ya?" ujar Kak Mira dengan suara merdunya.
"Dengan senang hati. Tunggu di sini ya," jawab Julian dengan sangat manis, melebihi kolang Kaling. Secepat kilat, lelaki itu berlari keluar untuk membelikan minuman bagi istri mudanya. Aku hanya bisa menahan rasa sakit hati melihat perlakuan Julian pada Kak Mira. Kadang aku merasa, apakah ini hanya akting Julian saja, agar aku semakin cemburu dan akhirnya meminta cerai darinya? Lelaki itu tidak akan berani menceraikanku, karena dia akan kehilangan tujuh puluh lima persen saham di perusahaan ekspedisi milik papa. Sepertinya Papa yang mengingatkan Julian, sehingga lelaki itu tidak jadi menceraikanku, tetapi malah membiarkanku melihat kebahagiaannya dengan wanita lain.
"Kamu tunggu di sini ya. Saya mau ke toilet," ujar Kak Mira dan langsung pergi begitu saja, sambil menitipkan dua koper besar padaku.
Terlalu cerdas, jika aku hanya berdiri bengong menjaga dua koper ini. Maka, dengan cerdas juga, aku mencoba menemukan kode kunci gembok koper. Julian adalah lelaki pelupa, dia tidak akan membuat kode sudah untuk password apapun itu, termasuk kode koper. Aku menggantinya dan dapat aku pastikan, pasangan pengantin itu takkan bisa membuka dua koper baju mereka.
"Ke mana sih?" desahku sambil berkali-kali melongok ke pintu masuk. Kami memang sudah masuk untuk boarding, tetapi belum check in. Pesawat akan terbang lima belas menit lagi dan Julian tidak juga kembali, begitu pun Kak Mira.
"Apa mereka mengerjaiku?" tiba-tiba saja hati ini kembali panas. Kutinggalkan begitu saja dua koper di dalam, lalu aku berlari menuju restoran kopi untuk mencari Julian, tetapi tidak ada. Aku berlari lagi menuju toilet untuk menemukan Kak Mira, tetapi juga tidak ada.
Kedua kaki ini gemetar, sekaligus lemas. Aku berjalan masuk kembali untuk check in sendiri dengan menahan air mata yang siap tumpah bagaikan air bah. Akhirnya, aku benar-benar ia tinggalkan sendiri di bandara tanpa perasaan.