Honeymoon Julian
Apa maksud semua ini, Julian? Kamu menikah lagi tanpa minta ijin dariku? Keterlaluan!” tanganku terkepal menahan tangis. Aku tidak mau dianggap lemah oleh semua keluarga Julian. Sudah cukup beberapa hari ini perasaanku terombang-ambing dengan sikap mereka.
Semua yang ada di bawah sana, tentu saja sontak menoleh ke arahku dengan tatapan tidak suka. Namun tidak dengan Kak Mira;wanita yang tengah memakai kebaya putih itu menunduk malu tanpa berani menoleh ke arahku.
“Aku minta kamu masuk, Anes!” suara Julian mendikteku. Kaki ini serasa melayang, berjalan mendekati mereka. Nampak Julian sedikit gugup, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Sorot mataku tajam menatap delapan orang di sekelilingku secara bergantian. Lalu aku berhenti pada Julian.
“Aku tidak pernah tahu apa maksud semua ini? Aku tidak pernah merasa bajingan saat menjadi pacar kamu sekian tahun, dan karena kesalahan satu malam yang seperti disengaja, kamu mengambil keputusan sendiri. Aku tidak akan memaafkanmu Julian, dan Kak Mira, akan selamanya menjadi istri kedua. Aku tidak akan membiarkan orang lain mengmabil tempatku yang seharusnya.” Aku berbalik badan meninggalkan mereka semua. Tak ada bantahan yang keluar dari mulut Julian maupun orang tuanya.
Dengan derai air mata, aku berlari menaiki anak tangga. Kaki ini melesat segera masuk ke dalam kamar tamu, lalu menarik paksa dua koper besar yang kubawa dari rumah. Tak kupedulikan sorot tajam pandangan keluarga Julian, saat aku tengah kepayahan membawa turun dua koper besarku.
“Tunggu, Anes!” Julian menahan tanganku.
“Apa lagi?” tanyaku marah.
“Kamu tidak perlu ke mana-mana. Kamu masih istriku dan tempat ini adalah juga rumahmu. Aku hanya minta sedikit rasa kasihanmu pada Kak Mira yang sudah aku nodai, gara-gara kekonyolan kamu salah masuk kamar. Ini semua terjadi karena kesalahanmu. Anes, aku masih sayang kamu, tetapi aku juga sayang Kak Mira. Kalian berdua wanita baik dan aku mau kalian berdua akur sebagai istriku,” terang lelaki itu panjang lebar. Aku berdecih sebal. Jika memang dia sayang padaku, tidak mungkin sengebet ini dia mengambil keputusan.
“Aku tidak menyangka, seorang Julian yang aku kenal begitu rakus wanita. Jika kamu memang ingin menikah dengan Kak Mira, silakan. Aku tidak akan melarang, tetapi aku tidak mau tinggal di sini, apalagi di kamar tamu,” tukasku tegas tanpa peduli sekian mata yang menyorotku dengan sebal dan juga marah.
“Oke, kamu boleh menempati kamarku, tapi tidak untuk keluar dari rumah ini. Bik, bawa koper Anes masuk ke kamar saya!” pinta Julian pada Isti pembantunya. Entah kenapa, kaki ini bagai terpaku dan bibir ini bagai terkunci rapat. Tak bisa bergerak dan memberi pembelaan. Aku hanya bisa menatap nanar dua koper yang dibawa naik kembali, lalu berbelok ke arah kiri, menuju kamar Julian.
“Dasar egois!”hardikku sebelum kembali berlari naik ke lantai atas.
Sungguh indah dekorasi kamar pengantin yang harusnya menjadi kamarku. Kelopak bunga mawar bertebaran di sepanjang karpet, mulai dari pintu sampai ke arah ranjang. Selimut yang dilipat berbentuk sepasang angsa sudah bertengger manis di atas ranjang. Sungguh ironi sekali.
Sedemikian manisnya Julian mempersiapkan kamar pengantin untuknya dan Kak Mira, sedangkan aku diletakkan di kamar tamu. Lihat saja nanti, aku pasti akan membalas semua perbuatan Julian padaku.
Srak!
Kuhempaskan sepasang angsa itu ke lantai. Bed cover tebal yang menutupi kasur, kukibas dengan sekuat tenaga, hingga semua kelopak mawar berhamburan ke lantai. Kini kasur sudah bersih dari bunga mawar. Aku berbaring sambil membentangkan tangan.
Air mata masih mengalir deras di kedua pipiku. Ini adlah takdirku. Entah apa yang akan kulakukan nanti, tapi aku harus kuat dalam menjalani semua ini. Takkan kubiarkan Julian semena-mena padaku. Begitu juga dengan keluarga dan istri barunya.
Tanpa sadar, mata ini pun akhirnya terpejam. Terlalu lama menghirup mawar, membuat aku seperti sedang menikmati aroma relaksasi yang mengendurkan seliruh saraf di tubuhku, yang masih terus menegang. Aku tersadar, saat suara ponselku berdering. Namun, hanya sebentar. Lalu dering itu berhenti. Aku menoleh kea rah jendela, kenapa di luar sana langit sangat pekat?
Apakah akan turun hujan? Aku turun dari ranjang, berjalan menuju jendela. Kusingkap kain gorden penutup, lalu memandang langit yang begitu gelap. Bola mataku bergerak turun. Di halaman rumah, kulihat Julian tengah menuntun Kak Mira masuk ke dalam mobil yang sudah dihias dengan begitu cantik. Bik Isti dan Pak Rohman sibuk memasukkan barang ke dalam bagasi mobil. Aku tertawa miring. “Mereka akan berbulan madu, dan aku dibiarkan mati menahan kesal di kamar ini? Pantas saja, dia berbaik hati mempersilakanku tidur di kamarnya.” Dengan amarah memuncak, kuambil vas bunga, lalu kubuka jendela, dan …
Praaang!
Kulemparkan kuat hingga jatuh tercerai berai di lantai tanah;tepat sebelum Julian masuk ke dalam mobilnya. Semua mata menatap ke arahku. Tidak ada air mata yang jatuh, melainkan jari tengah ini kuacungkan pada mereka semua. “Jangan panggil aku Anes, jika tidak bisa membalas semua perbuatan kalian.”