Bab 6 Berita Kehilangan
Secepat mungkin Juki segera menyusul Ozil yang menggandeng tangan Okan meninggalkan kantin di mana beberapa karyawan melihat adegan barusan yang membuat terkejut sambil berbisik. Adapun Juki hanya bisa menggaruk kepala yang mendadak gatal ditambah juga merasa pasti akan ada sesuatu menimpa Ozil setelah kejadian ini. Namun, dia tak bisa berbuat banyak kecuali merasa bersalah jika ada hal tak enak menimpa Ozil. Dalam waktu singkat akhirnya mereka sampai di ruang kerja Ozil di mana tak ada seorang pun di sana. Ozil membawa Okan untuk duduk di sofa yang terasa empuk disusul suaranya terdengar.
"Haus, Pa!" kata Okan merasakan haus setelah cukup lama berputar mencari Ozil. Secepatnya Ozil menuju sudut ruangan di mana ada sebuah kulkas yang menyimpan banyak minuman. Setelah dapat dia segera menghampiri Okan dan menyodorkan air mineral termasuk untuk Juki. Ketika mereka sibuk melepas dahaga Ozil ikut mendudukkan tubuh di samping Okan, lalu terdengar suara Juki.
"Maaf, ya, Zil, sudah buat gaduh. Jadi merasa bersalah kalau begini," kata Juki setulus hati merasa tak enak dengan keadaan yang dihadapi.
"Tidak apa-apa, Juk. Kebetulan aku sedang tak sibuk juga hari ini dan senang pula bisa lihat Okan yang makin ganteng!" balas Ozil enteng seakan kericuhan tadi bukan perkara berat. Namun, tetap saja Juki merasa tak enak terutama banyak karyawan melihat adegan di kantin. Tak ayal dia menggaruk kepalanya kini karena ada rasa bersalah di hati di mana ujaran Ozil tak mampu menenangkan hati.
"Bukan begitu, Zil. Harusnya aku tak ajak Okan ke sini. Hanya saja aku terpaksa lakukan ini karena kasihan melihatnya macam pria patah hati karena tak bertemu denganmu. Maka jadilah ku ajak dia agar bisa bertemu denganmu. Nyatanya malah ada kekacauan!" terang Juki apa adanya dan didengar saksama oleh Ozil seraya melirik Okan yang hanya mendengar tanpa ikut komentar.
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku malah senang ada di genit ini di sini. Masih pakai seragam pula!" timpal Ozil yang menatap sumringah pada Okan di mana masih lengkap mengenakan seragam sekolah. Adapun tas ransel miliknya dipegang oleh Juki.
"Okan habis pulang sekolah, Pa. Langsung ikut Om Juki kesini." Celotehan Okan didengar mereka di mana Ozil tak menyangka kalau ada anak kecil yang merindukannya. Ozil membelai rambut Okan berulang kali yang terlihat senang. Adapun Juki bisa menyimpulkan betapa saya Ozil pada Okan, meski bukan putranya.
"Sumpah, ya. Kalian seperti ayah dan anak. Bahkan, lama-lama wajah kalian mirip juga!"
"Ih, Om Juki nakal! Okan memang anak Papa Ozil. Iyakan, Pa?" sahut Okan cepat yang sudah memberi pengakuan sepihak. Namun, Ozil justru tertawa seolah kalimat itu bukan masalah baginya. Alhasil, Juki hanya bisa membuang nafas kasar seraya meneguk minuman yang belum habis.
Adapun di kantin, apa yang terjadi barusan menjadi gosip hangat karena disaksikan banyak karyawan. Bahkan, bukti kejadian tak terduga tadi begitu cepat beredar dengan melaporkan sebuah foto saat Ozil memeluk Okan.
"Ya ampun, aku tak menyangka kalau Pak Ozil sudah punya seorang putra. Hapus sudah harapanku untuk dilirik olehnya!" cicit seorang karyawan yang kini kehilangan harapan untuk mendapatkan perhatian Ozil.
"Kau benar. Kalau anak itu adalah benar putra Pak Ozil, berarti telah terjadi hubungan terlarang dong. Anak haram maksudku!" timpal lainnya cukup jelas, meski suaranya agak pelan. Sayang, ada seorang pria berkepala botak di hadapannya segera mengentikan celotehan itu.
"Hush! Jaga bicaramu, Winda! Kalau ada yang dengar bisa diadukan ke Pak Ozil. Mau kau dipecat, huh?" seru pria itu dengan wajah serius di mana Winda segera menutup mulut seraya menoleh kiri kanan.
"Tapi benar juga yang dikatakan Winda, Don. Kalau anak itu adalah putra Pak Ozil berarti statusnya anak hasil di luar nikah dong. Pasalnya Pak Ozil masing single sampai saat ini. Jadi tak ada yang salah dari ucapan Winda barusan!" terang Neni membenarkan kesimpulan Winda dan justru berbicara lantang tanpa takut didengar orang lain. Doni hanya bisa membuang nafas kasar melihat dua temannya yang mengoceh terus dan sulit diperingatkan.
"Benar atau tidak bukan urusan kita. Jika ucapan kalian menimbulkan masalah, jangan bawa namaku. Ok?" pungkas Doni dengan peringatan terakhir pada mereka yang dibalas dengan raut kaget. Selanjutnya Doni memilih segera menghabiskan makanan, lalu meninggalkan mereka yang dilanda bingung tanpa bisa berkata apapun.
"Aduh, bagaimana kalau ucapan Doni terjadi, Nen? Aku tak mau dipecat!"
Jarum jam terus bergerak dengan pasti. Perlahan-lahan keadaan kantin semakin sepi ditinggalkan para karyawan yang sudah selesai menyantap makan siang. Di sudut kantin, ada seorang wanita yang baru saja ditinggalkan oleh rekannya lebih dulu yang harus ke toilet. Adapun makanan di depannya sudah habis kecuali sebotol air mineral yang masih tersisa setengah. Dia menatap keadaan kantin yang sudah sepi dan melirik jam dinding di mana masih ada waktu 10 menit sampai bel masuk berbunyi. Dia meraih handphone di meja dan menyalakan layar. Niat hati dia ingin menghubungi seseorang dan harus diurungkan karen terukir sebuah nama melakukan panggilan. Dia mengukir senyum mendapat panggilan tersebut seraya menerimanya cepat.
"Hallo, Pa."
"Papa sudah di depan sekolah jemput Okan, tapi dia tak ada. Apa dia bersamamu?"
"Tidak. Okan tak ada bersamaku, Pa!"
"Aduh, kemana dia pergi, ya?"
"Maksud Papa apa?"
"Okan tak ada di sekolah, Metha, sedangkan anak-anak sudah pulang semua."
"Papa serius?"
"Tentu saja dan Papa sedang di pos satpam saat ini. Okan tak ada dan awalnya Papa pikir kau yang menjemput, makanya Papa tanya!"
"Aku tak menjemputnya, Pa. Apa mungkin Mbak Nining yang jemput?"
"Tidak mungkin karena dia ada di rumah sedang setrika baju!"
"Ya Tuhan, pergi kemana anak itu?"
"Ya sudah, Papa pergi dulu untuk menyisir sekolah dan semoga Okan baik-baik saja."
"Ya sudah, aku akan kesana sekarang juga!"
Sambungan berisi kabar tak enak diterima Metha yang sontak panik. Jantungnya berdegup dengan kencang karena apa yang ada di pikiran berisi tentang keberadaan Okan. Tanpa berpikir panjang, Metha segera bangun dari duduknya untuk meninggalkan kantin. Dengan langkah cepat Metha berniat kembali ke ruangannya dan meminta izin untuk pulang cepat demi membantu Sahid mencari Okan. Adapun pikiran jelek sudah terlintas di benaknya, meski langsung ditepis dengan menggelengkan kepala. Belum jauh Metha meninggalkan kantin, langkahnya harus terhenti ketika ada suara yang tak asing menyapa telinganya disertai kaki berhenti seketika
"Mama!"
Jantung Metha terkejut mendengar suara itu yang amat dia kenal. Namun, dia terlihat berkerut kening karena tak yakin dengan pendengaran barusan. Alhasil, Metha melangkah lagi untuk melanjutkan tujuannya dan kembali terhenti saat suara itu terdengar lagi hingga jantung ikut berdegup kini.
"Mama tunggu! Ini Okan!"