4. KEMARAHAN GEMA
Satu jam kemudian. Angga Wijaya terlihat mondar-mandir di ruang tamu, seperti setrikaan panas. Perasaannya begitu gelisah, setelah mendapat kabar bahwasanya sang putra, jatuh pingsan di salah satu tempat hiburan malam.
Putranya itu, memang brutal, disaat perasaannya sedang tidak baik-baik saja.
Sesekali ia melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. "Kapan mereka akan sampai?" gumamnya sangat gelisah. Pandangannya terus mengarah ke luar pintu, berharap yang dinanti-nanti cepat sampai.
Sementara itu, Anita duduk di sofa. Perasaannya tidak kalah kalang kabutnya dari Angga Wijaya.
Dalam hatinya, ia terus melafalkan doa, demi keselamatan Gema, yang sampai detik ini tak kunjung sampai rumah.
Hatinya seperti dicubit-cubit, sesaat setelah mendengar kabar bahwa Gema mabuk berat dan jatuh pingsan di tempat hiburan malam.
Angga Wijaya memalingkan pandangannya ke arah Anita di sana. Dilihatnya sang istri yang mulai pucat sambil mengusap wajahnya berulang kali. Ia paham, bahwasanya Anita sudah sangat kelelahan dan betapa stresnya ia memikirkan semua ini.
"Istirahat, Sayang. Kamu pasti cepek, seharian mengurus keluarga ini. Biar Mas saja yang menunggu Gema di sini," ucap Angga Wijaya sambil mengelus punggung Anita.
"Enggak, Mas. Aku baik-baik saja. Seharusnya yang istirahat tuh, Mas Angga. Mas, pasti lebih capek dari aku."
Angga Wijaya mengulas senyuman kecil, menatap kedua mata Anita penuh kekaguman. Nyatanya, situasi yang terjadi lebih rumit dari yang dibayangkan.
Tak berselang lama, suara mobil terparkir di depan rumah pun terdengar. Angga Wijaya mengangkat kepalanya. Menatap lurus ke luar sana.
Selang beberapa menit, dua orang pemuda pun memasuki ruangan. Angga Wijaya buru-buru menghampiri keduanya. Anita beranjak bangun dari sofa. Namun, tidak bergerak dari posisinya. Dilihatnya, sosok pemuda yang dahulu sangat ia cintai itu.
Juna mamapah tubuh Gema yang berada dalam pengaruh alkohol. Ia cukup kesulitan dan hampir jatuh.
"Maafin aku, Om. Jalanan macet banget tadi," ucap Juna, memberi penjelasan, yang langsung mendapat anggukan kepala dari Angga Wijaya.
"Maaf ya, Juna. Gema udah bikin kamu repot. Sini, saya bantu." Angga segera membantu untuk memapah putranya itu.
"Sama sekali enggak ngerepotin kok, Om." Juna tersenyum kecil.
Sementara itu. "Menyingkir dariku!" seru Gema sambil mendorong tubuh Angga, supaya menjauh.
Kenyataannya, Gema masih memiliki sedikit kesadaran. Dia sudah sadar dari pingsan beberapa saat lalu. Secara tidak langsung, ia bisa merasakan sentuhan dari seseorang yang saat ini sangat dibencinya.
"Jangan pernah menyentuhku lagi! Aku membencimu, Tuan Angga Wijaya!" serunya demikian dan dipertegas dengan tindakan.
"Karena dirimu, telah merebut wanita yang sangat kucintai! Kau menikahi Anita, yang seharusnya menjadi menantumu, bukan menjadi istrimu!" racaunya lagi dan lagi.
"Kau bahkan lebih menjijikkan dari seekor an*Jing!" umpatnya sambil meludahi wajah ayahnya.
Kalimat terakhir Gema, membuat Angga Wijaya termangu beberapa detik. Sebelum akhirnya, dia tetap memapah tubuh Gema dengan dibantu Juna.
Angga Wijaya menulikan pendengarannya, masa bodo dengan segala ocehan yang dilontarkan Gema. Baginya, apa yang diucapkan sang putra tidaklah penting. Toh, ia juga sedang berada dalam pengaruh alkohol.
Keduanya memapah tubuh Gema menuju kamar yang berada di lantai bawah.
Sementara itu, Anita meremas ujung hijabnya. "Ya Allah. Mengapa, semuanya menjadi seperti ini?" gumamnya terdengar sangat lirih.
Ada perasaan bersalah yang membumbung tinggi di dalam dadanya. Sesak yang membuatnya tidak mampu untuk berpikir jernih. Pikirannya begitu kacau.
Keputusan yang diambilnya, nyatanya membawa dampak sangat buruk. Ia ingin menangis. Namun, air matanya seolah enggan untuk keluar. Ya, dirinya terlalu lelah untuk menangis.
Setelah mendapatkan kembali kesadarannya, Anita hendak mengayunkan kakinya. Niat hati ingin menyusul ke kamar. Namun, Angga Wijaya dan Juna sudah lebih dulu keluar kamar.
"Aku pamit pulang ya, Om. Udah dicariin ortu di rumah," kata Juna, sekalian pamit dengan Angga Wijaya.
"Enggak sekalian nginep aja di sini?" tawarnya, yang sebenarnya berat . membiarkan Juna pulang selarut ini.
"Enggak, Om. Enggak enak, nanti malah ganggu kalian. Om sama ..." Juna menjatuhkan pandangannya pada Anita di sana.
Dia bingung harus memanggil Anita dengan sebutan apa? Mau dipanggil 'Tante' tapi kok agak aneh menurutnya. Secara usianya dengan Anita tidak terpaut jauh, malah sebaya.
Selain itu, ia juga tahu persis bagaimana kisah percintaan antara Gema dan Anita. Sebab, ia dan Gema bersahabat sejak lama.
"Ganggu kenapa?" Angga Wijaya menoleh ke belakang. Dia paham alur pembicaraan ini mengarah kemana.
"Saya dan Anita tidak merasa terganggu. Malah sebaliknya, saya merasa senang kalau kamu menginap di sini." Dia kembali memberikan penawaran untuk kedua kalinya.
"Enggak, Om. Lain waktu aja. Sekarang waktunya enggak tepat. Lagi pula, saya udah diminta untuk pulang. Kapan-kapan aja ya, Om."
"Baiklah. Kalau begitu, kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut," pesan Angga Wijaya yang langsung mendapat anggukan kepala dari Juna.
"Iya, Om. Terima kasih. Juna, pamit dulu kalau begitu."
"Assalamualaikum," ucapnya sambil mengecup punggung tangan Angga Wijaya.
"Waalaikumsalam," jawab Angga Wijaya.
Juna menganggukan kepalanya, menatap Anita yang berjarak beberapa meter itu. Ia tidak berani untuk mencium punggung tangan wanita itu. Ada perasaan canggung dan Anita pun memiliki perasaan yang tidak jauh berbeda.
Selanjutnya, Juna mengayunkan kakinya, meninggalkan rumah itu.
"Mas. Boleh aku melihat kondisi Gema?" Suaranya terdengar lirih sambil meremas ujung hijabnya.
"Iya. Dia ada di kamar tamu."
Tidak ada alasan bagi Angga Wijaya untuk menolak permintaan tersebut.
"Terima kasih, Mas."
Setelah berkata demikian, Anita segera pergi menuju kamar tempat Gema berada.
Sementara itu, Angga Wijaya membuang napas berat dari waktu ke waktu. Sungguh hari yang sungguh dipenuhi drama. Kepalanya mulai terasa sakit.
Kata-kata yang dilontarkan Gema tadi, sungguh membuat hati seorang ayah seperti tertusuk anak panah.
"Ya Allah. Semoga semuanya segera baik-baik saja. Amiin."