Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. SEMESTA SEDANG BERCANDA

Halaman parkir.

Gema sudah berada di dalam mobil. Entah mobil siapa itu, sebab mobilnya sedang berada di bengkel, setelah ia adu dengan pohon besar.

Dalam hitungan detik, mobil itu tancap gas meninggalkan area rumah sakit. Sementara itu, hanya berselang beberapa detik, Angga Wijaya pun sampai di sana, bersama Anita yang ikut mengejar.

Angga Wijaya mengumpat kasar dan menghentakkan kakinya sebagai bentuk kekesalan, sebab ia tidak berhasil mengejar sekaligus menghentikan Gema.

"Mas, tunggu! Jangan dikejar. Sabar, Mas." Suara Anita sedikit tersengal-sengal, sebab ia terus berlari mengejar suaminya. Sayangnya yang dikejar telah lolos duluan.

Angga Wijaya, melihat Anita yang napasnya terengah-engah. "Kamu enggak apa-apa, Sayang? Maafin aku ya."

Anita mengangguk sambil mengerjapkan matanya. "Iya, Mas. Enggak apa-apa."

"Mas enggak perlu ngejar dia. Percuma dikejar. Gema tidak mau bertemu, Mas. Dia akan menolak, Mas."

Ucapan Anita ada benarnya juga. Namun, tetap saja. Sebagai seorang ayah, Angga tidak bisa tenang, melihat anaknya bersikap ugal-ugalan seperti itu.

Padahal putranya itu baru saja sadar dari pingsan, setelah mengalami kecelakaan siang tadi. Akan tetapi, hal tersebut seolah tidak membuatnya kapok.

"Sebaiknya kita pulang saja. Biar nanti kuperintahkan beberapa orang untuk mencari keberadaan anak itu."

"Iya, Mas. Sebaiknya memang seperti itu. Awasi dia dari jauh, agar dia tidak merasa terganggu."

Angga Wijaya mengangguk tanda setuju.

**

Tiga puluh menit kemudian. Mobil yang Gema tumpangi pun, berhenti di depan sebuah klub malam.

"Udah sampe ni, Gem," ucap seorang pemuda yang duduk tepat di samping Gema.

Sedari tadi, pemuda itulah yang menyetir. Sedangkan Gema duduk sambil melamun di samping pemuda tersebut.

"Woi, Gema!" teriaknya, yang akhirnya menyadarkan Gema dari lamunannya.

"Lu lagi bengong atau tidur, Bro?" tambahnya penuh pertanyaannya, saat melihat temannya baru tersadar dari alam khayalan.

"Bukan urusan, Lu," jawab Gema bernada ketus.

Tanpa pake kata lagi, dia segera membuka pintu mobil, kemudian keluar. Nyelonong begitu saja. Sedangkan temannya itu, mengumpat kesal.

"Sial banget tuh anak. Udah dibantuin, bukannya bilang makasih, malah langsung kabur," desisnya sambil menyunggingkan bibir.

"Dasar cowok lagi galau. Bawaannya sensitif aja," gerutunya, sebelum akhirnya ia juga keluar dari mobil. Kemudian menyusul Gema yang sudah lebih dulu pergi.

Sesampainya di dalam klub. Gema langsung duduk di depan bar. Segera dia memesan minuman yang paling mahal di sana. Kadar alkoholnya terbilang tinggi. Dia memesan dua gelas sekaligus.

Tidak perlu waktu lama, minuman itu telah siap. Gema langsung menenggak minuman dalam gelas itu, dalam satu kali teguk. Kemudian, berganti ke gelas lainnya.

Tidak ada dua menit, dua gelas minuman telah habis, hanya menyisakan beberapa tetes di dalamnya.

"Tambah lagi!" serunya lantang. Kesadarannya masih 90%. Walau begitu, pikirannya sudah melalang buana sedari tadi. Raganya memang ada di sini, tetapi pikirannya entah sedang berada di mana?

Selang beberapa detik, temannya yang akrab dipanggil Juna itu, datang.

"Woi, Bro. Lu minum apa?" Dia langsung menjatuhkan tatapannya pada dua gelas di depan Gema.

Gema, tampak masih baik-baik saja. Walaupun tatapannya sudah kosong. Ya, memang sedari tadi sudah kosong, seperti orang yang tidak lagi memiliki semangat hidup.

"Ini minumannya." Penjaga Bar, memberikan dua gelas minuman seperti yang Gema pesan tadi.

Tanpa pake lama, Gema langsung menenggak minuman tersebut.

Juna bergidik ngeri, melihat Gema yang mampu menghabiskan empat minuman dengan kadar alkohol tinggi, dalam waktu singkat.

"Astaga, Bro! Lu udah gila atau apa? Itu minuman langsung habis aja!"

Seruan itu, seolah tidak mampu menyadarkan Gema dari rasa keputusasaan.

"Pesan dua lagi!" Suara Gema bergema di sana. Orang-orang yang berada di sekitarnya pun, menolah untuk sesaat, sebelum akhirnya kembali asyik dengan kebahagiaan masing-masing.

Tak perlu waktu lama, dua gelas minuman pun tersaji di depan mata Gema.

"Bro, udah!" Juna mencoba untuk menahan. Dia menggenggam pergelangan tangan Gema.

Hal tersebut, langsung mendapat tatapan tajam dari Gema.

"Lepasin tangan gue!" tegas Gema.

Ditariknya tangan Juna, sehingga tidak lagi ada penghalang. Selanjutnya, dia menenggak minuman itu lagi, sampai tandas.

"Bro! Elu benaran udah gila ya! Sakit hati boleh aja, tapi jangan merusak diri lu kayak gini!"

Juna tidak peduli, orang-orang memandanginya dengan tatapan aneh. Baginya yang terpenting sekarang, ialah membuat Gema sadar, agar temannya itu tidak lebih dalam terjerumus dalam lubang hitam. Bisa bahaya masa depannya.

"Pesan dua lagi!" seru Gema, yang kesadarannya sudah mabuk berat itu.

'Jaga bicaramu, Gema! Aku menikah dengan Mas Angga bukan karena harta, melainkan karena aku mencintai Mas Angga!'

'Jangan pernah kamu bersikap kurang ajar lagi, kepada ayahmu! Aku mencintai Mas Angga, begitu juga dengan Mas Angga!'

Kata-kata itu, kembali menari-nari di dalam kepalanya. Dia tertawa sangat keras.

"Lu, pernah sakit hati enggak?" tanya Gema dibawah pengaruh alkohol.

"Pasti lu belum pernah ngalamin hal, yang seperti gue alamin kan?" sambungnya meracau.

"Hahaha ... Di dunia ini, mana ada cowok yang ngalamin hal seperti yang gue alamin. Cewek yang gue cintai, ternyata dia lebih milih cowok lain."

"Ok, kalau itu orang lain, lah ini bokap gue sendiri. Lu bisa bayangin engga, jadi gue ah? Gue bakalan hidup satu atap sama cewek yang gue sayang, bukan sebagai suami istri, tapi sebagai anak dan orang tua. Lucu kan? Semesta, becandanya kadang enggak ngotak banget. Hahaha."

"Gue tuh kerja ke luar kota, buat apa memangnya, ah?" Gema menatap serius Juna. Namun, temannya itu tidak bisa berkata-kata.

"Iya, buat halalin dia lah. Masa buat nikahin sapi ... Hahaha."

"Gue udah nyiapin rumah buat dia. Maskawin buat dia, tapi apa? Pas gue pulang ke rumah, ternyata dia udah nikah sama bokap gue. Sakit hati gue, Jun. Lu bisa rasain engga, sakitnya gimana?"

"Iya, gue bisa rasain, tapi lu jangan kayak gini, yang ada lu cuma bikin rusak badan lu aja. Rasa sakit lu enggak bakalan hilang!" Juna meninggikan suaranya, sebab musik DJ, membuat suaranya sulit tertangkap oleh telinga Gema.

"Merusak kata lu?" Gema mendesis, sedikit menyeringai geli, mendengar penuturan Juna.

"Bersetan dengan kata peduli! Gue memang udah hancur. Gue udah engga punya semangat hidup lagi. Mending gue mati sekalian!"

Kalimatnya semakin meracau kemana-mana. Mengoceh tanpa ada rem. Nyerocos saja, seperti rel kereta api.

"Astaga, Gem. Enggak baik lu ngomong gitu. Gue yakin, lu bisa bangkit dan lupain ini semua."

"Alah! Gue udah enggak perlu kata-kata penenang kayak gitu. Bagi gue dah basi yang kayak gitu. Mending kata-kata itu, buat lu aja. Enggak usah lu peduli lagi sama gue."

Gema hendak menenggak minuman itu. Namun, segera dirampas oleh Juna. Entah sudah gelas yang keberapa itu? Juna sudah sangat geram.

"Cukup, Gem!"

PLAAAKKKKKK!

Terpaksa ia menampar Gema. Alhasil, pemuda itu tersungkur ke lantai dan tidak sadarkan diri.

Semua orang langsung tertuju pada dua pemuda yang baru saja saling beradu argument itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel