Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

SELAMAT MEMBACA

***

Dista mengakat kepala ke bantal ia merapikan rambutnya dengan tangan. Ia menegakan tubuh ia melihat jam pada jam tangan menunjukan pukul 11.40 menit. Dista lalu bergegas ke kamar mandi ia membersihkan tubuhnya. Ia hampir saja telat karena tepat jam 1 ia harus bertemu dengan pak Brian. Air hangat menyentuh tubuhnya, rasanya sangat segar.

Setelah mandi Dista keluar, ia menuju ke arah lemari sambil mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Ia memilih blouse chiffon berwarna putih dengan leher tinggi. Ia salah satu wanita yang selalu menjaga penampilan di manapun ia berada. Baginya penampilan itu nomor satu, agar ia diterima dengan baik oleh lingkungannya. Bagaimanapun orang yang berpenampilan menarik selalu diutamakan.

Setelah tubuhnya kering, Dista mengenakan blouse dan dipadukan dengan rok pensil berwarna coklat muda yang sangat pas dengan bentuk tubuhnya. Makeup flawless menjadi pilihan Dista, ia tidak ingin makeup yang terlalu tebal. Setelah itu ia memblow rambutnya hingga bergelombang, tidak lupa ia mengenakan pengharum rambut.

Dista menatap penampilannya di cermin, tidak ada kekurangan satupun pada wajahanya. Menjadi cantik itu salah satu upaya love yourself. Artinya anugrah Tuhan sudah diberikan maka dirawat dengan baik. Hakikatnya menjadi cantik itu penting untuk kepentingan lainnya.

Diri sendiri itu adalah investasi jangka panjang, agar orang lain yang berada di sekitar interest tanpa komuniskasi. Ia tidak naif bahwa cantik itu mudah dihargai. Dengan seperti ini ia menjadi percaya diri. Ia rela bangun pagi hanya demi mencatok rambutnya hingga bergelombang. Karena ia merasakan sendiri akan hasilnya jika ia berpenampilan menarik.

Dista mengambil tasnya dan ia melirik jam melingkar ditangannya menunjukan puku 12.45 menit. ia mengenakan stiletto berwarna nude. Lalu turun ke bawah, ia menatap penjaga kost sedang berjaga di depan.

Dista melangkahkan kakinya menuju Prosperty tower. Ia menuju lobby yang dijaga oleh security. Dista tersenyum kepada security yang bejaga yang sedang mengawani orang-orang yang masuk.

“Ada yang bisa saya bantu bu?” Tanya security itu.

“Saya Pradista, mau ke ruangannya pak Brian.”

“Owh ibu Pradista, mari bu saya antar ke ruangan bapak. Ibu belum ada kartu akses masuk ya.”

“Iya belum pak, soalnya masih baru.”

“Enggak apa-apa, tetap saya antar.”

Dista mengikuti langkah security tersebut, ia memperhatikan area lobby. Area lobby terlihat mewah karena langit-langit yang tinggi dan seluruh dinding terbuat dari marmer. Ia dan security masuk ke dalam lift. Ada beberapa karyawan masuk ke lift yang sama, ada juga yang memperhatikannya.

Dista memandang security itu menekan tombol 25, pintu lift tertutup. Ia menunggu dengan sabar ada beberapa karyawan lain yang masuk di ruang berbeda. Security itu menatap Dista.

“Sekretarisnya pak Brian ya bu?”

“Iya pak.”

“Semoga betah ya bu kerja di sini.”

“Iya pak, semoga saja,” ucap Dista.

Pintu lift terbuka, ia mengikuti langka security itu masuk ke dalam. Ia melewati kubikel karyawan di sebelah kanan yang terutup rapat. Mereka menelusuri koridor ia menatap gedung-gedung pencakar langit dari ketinggian karena ia melihat secara jelas dibalik gedung ini, karena permukaanya yang transparan.

Security itu berhenti di salah satu ruangan yang tertutup rapat. Security itu tersenyum kepada Dista.

“Pak Brian ada di dalam bu, pintunya nggak terkunci, silahkan masuk,” ucap security itu.

“Terima kasih pak.”

Dista menatap security itu meninggalkannya begitu saja. Dista menarik nafas ia merapikan rambutnya dengan tangan, ia melihat lagi penampilannya. Ia mengetuk dan lalu membuka hendel pintu. Dista masuk ke dalam ruangan itu, ruangan yang di dominasi warna abu-abu dan putih.

Di dinding terdapat lukisan gunung yang indah, dan di dekat itu, ada sebuah ruang rapat kecil dengan kursi enam berbentuk huruf U melingkari meja. Dan di sana juga terdapat layar proyektor. Di dekat ruang rapat ada sofa abu-abu berbentuk L, sepertinya untuk ruang tunggu. Ruangan ini juga ditutupi vertical blind gorden berwarna abu-abu gelap. Pencahayaan terang oleh lampu yang terang, kantor ini sangat bagus menurutnya.

Dista bergeming, ia memandang seorang pria berkemeja putih dengan kancing yang terbuka satu, ditumpuk dengan blezer berwarna hitam. Tatapan mereka bertemu, pria itu memiliki alis yang tebal, hidung mancung, mata elang dan rahang yang tegas. Jujur ia akui bahwa pria itu sangat tampan. Tubuhnya proporsional dan dada yang bidang. Siapapun yang melihat pria ini akan segera berlari kedalam pelukannya.

Dista pikir pak Brian itu seperti bos-bos bertubuh gemuk, kepala botak dan berkumis namun nyatanya yang ia lihat malah sebaliknya. Ia tidak menyangka sang pemilik Sheraton Hotel setampan ini. Bibir pria itu terangkat namun tanpa senyum.

“Masuk sebelah sini ruangan saya,” ucapnya tenang.

Dista melangkah menuju pria itu. Ia masuk ke dalam sebuah ruangan. Ia memperhatikan ruangan memiliki meja yang cukup besar berbentuk L. Di meja terdapat leptop dan computer dengan gambar apple yang setengah digigit. Di meja itu terdapat berkas-berkas penting. Ia melihat lemari kaca terdapat sekumpulan map-map penting yang tersusun rapi. Dista duduk di kursi kosong yang telah di sediakan.

Brian memandang wanita bernama Pradista. Ia memperhatikan wajah wanita itu, dia memiliki mata yang bening, bulu mata yang lentik karena perawatan di salon kecantikan. Hidungnya mancung, alisnya terukir sempurna. Bibirnya sensual berwarna nude, makeupnya sangat baik. Rambutnya tebal bergelombang. Ia akui bahwa wanita itu sangat cantik. Cara berpakaian cukup bagus dan masih santun menurutnya. Bukan wanita yang haus akan belaian.

“Nama kamu Pradista?” Ucap Brian mengambil profil dari saku lacinya. Wanita inilah yang dipilih menjadi sekretarinya.

“Iya pak benar.”

Brian mengulurkan tangannya ke arah wanita itu, “Saya Brian, chief executive officer di sini,” ucap Brian.

Dista menatap uluran tangan pria itu dan ia menyambutnya dengan senyuman. “Saya Pradista, senang bekerja dengan bapak,” ucap Dista, ia merasakan permukaan tangan yang kasar dan hangat di kulitnya.

Sedetik kemudian Brian melepaskan genggaman, ia kembali memperhatikan wanita itu. Ia membaca profid Dista.

“Nama kamu Pradista?”

“Iya.”

“Umur 26 tahun.”

“Sarjana ekonomi.”

“Kamu pernah menjadi sekretaris sebelumnya?” Tanya Brian.

“Belum pernah pak, ini pertama kalinya saya menjadi sekretaris.”

Brian menarik nafas, ia memandang wanita itu, “Oke, tidak apa-apa. Sekretaris sebelumnya juga buka besic sekretaris, yang penting kamu tahu administrasi.”

“Bisa administrasi?”

“Bisa pak.”

“Salary kamu sudah dijelaskan oleh ibu Mega?”

“Belum pak.”

Brian menarik nafas, ia menatap Dista, “Berhubung kamu menjadi sekretaris saya, saya sendiri yang akan menjelaskan langsung kepada kamu, benefit apa saja yang kamu dapat selama bekerja dengan saya.”

“Baik pak.”

“Kamu mendapatkan fasilitas tempat tinggal di dekat office, untuk masalah makan, kamu akan makan dengan dengan saya. Breakfast, lunch, dan makan malam, karena biasa saya ngantor hingga malam. Kecuali hari libur.”

“Untuk salary kamu tiga kali UMR Jakarta nanti kamu hitung sendiri. Berhubung kamu tidak bekerja di hotel, maka tidak dapat uang service, karena kita bukan di hotel. Nanti kalau kinerja kamu bagus, saya akan kasih uang bonus dari pribadi saya.”

“Baik pak.”

“Ada yang ingin kamu tanyakan?”

“Untuk job jobdesk?” Tanya Dista.

Brian mengambil jobdesk di dalam lacinya dan ia lalu menyerahkan kepada Dista, “Ini jobdesk kamu. Kamu bisa baca. Kalau nggak ngerti tanyakan kepada saya,” ucap Brian.

“Kalau kamu tidak mengerti tolong kasih tau saya.”

“Baik pak.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel