Bab 2 Mimpi Buruk
Bab 2 Mimpi Buruk
Pagi itu Riana merapikan semua hal di rumah, mengisi kendi dengan air bersih dari sumur, mengganti seprai biru bunga-bunga yang kotor akibat suaminya terlalu bersemangat sebelum tidur semalam. Dia memasak gulai ikan Sepat yang dibelinya tadi, baru kemudian berganti pakaian dan menjahit rok monokrom buga-bunganya yang koyak tadi.
Di kamar Nenek ada mesin jahit merk Singer yang belakangan Riana gunakan untuk mengasah kembali keahlian lamanya. Saat baru lulus SMA, Ayahnya pernah mengkursuskan Riana menjahit, dan kini dia mensyukuri pilihan Ayahnya waktu itu, sebab menjahit merupakan salah satu kegiatan yang mampu mengusir suntuknya di Rumah.
Usai menjahit, Riana ketiduran di ranjang bekas kamar Nenek lantaran terlalu mengantuk. Disitulah dia bermimpi, mulanya gelap dan berbau. Tidak jelas bagaimana baunya, atau mungkin saja bau itu hanya ada dalam pikiran bawah sadar Riana. Kemudian cahaya kebiruan datang dari belakangnya, dan Riana pun menyadari dirinya ada di halaman belakang Rumah, di bawah pohon beringin yang tampak sedikit berbeda tanpa daun. Perasaan Riana tak enak, kakinya seolah terpaku, sejurus kemudian dia kaku. Tidak ada apapun yang terjadi, disitulah dia sadar tengah bermimpi dan sangat ingin bangun dari tidurnya, tapi tidak berhasil. Dia ingin berteriak, namun suaranya tak keluar.
Dalam mimpi itu Riana tidak dapat berbuat apa-apa, bau yang tak enak semakin menusuk, dan suara pukulan benda keras terjadi berulang-ulang membuatnya takut bukan kepalang. Suara itu terus terdengar dengan intensitas semakin rapat, sampai akhirnya Riana terjaga dan mendapati diri berkeringat hebat. Suara ketukan mengganggu itu berubah menjadi ketukan pintu yang amat kasar. Riana terengah-engah dengan wajah panik yang tak terkira.
"Sebentar!" teriaknya menyadari seseorang mungkin saja menunggu sejak tadi.
Riana membuka pintu, Pak Pos berdiri di sana dengan sebuah amplop putih berperangko burung Cendrawasih. Riana hanya mengucapkan terimakasih sebelum membanting pintu dan duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu. Perempuan itu membuka amplop dan mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Itu adalah surat dari teman lamanya yang telah sukses sebagai penulis di majalah Jelita. Riana tersenyum, mulai membaca surat tersebut.
'Riana, sudah hampir setahun aku tak mengirim kabar. Itu karena aku baru menyelesaikan perceraianku dengan Dina. Ya, kami akhirnya bercerai karena memang tidak cocok dan perbedaan di antara kami cuma bikin kami menderita. Dalam waktu dekat aku bakal balik ke Pekanbaru, aku mau berkunjung ke Rumahmu, di Perawang, rumah paling ujung, kan? Salam rindu, Syarif'
Riana mengernyitkan dahinya, mengecek apakah ada kertas lain dalam amplop, sebab surat Syarif begitu pendek, tidak seperti biasanya dia menulis satu kenangan lucu atau menyenangkan kala mereka masih SMA dulu. Perceraian Syarif dengan Dina juga membuat Riana bingung, lantaran sebelumnya mereka tampak baik-baik saja, atau seperti itu yang mereka ingin orang lihat.
Riana melihat jam dinding bulat dengan bambar balon warna biru di latarnya, sudah jam 4 sore. Itu artinya dia tertidur nyaris 5 jam lamanya. Mimpi menakutkan tadi membuatnya enggan berjalan ke belakang rumah. Kamar Nenek merupakan kamar paling dekat dengan dapur, dan menjadi kamar paling belakang di rumah ini.
Ruang tamu mereka sempit, hanya ada kursi rotan 1-2-3 dengan meja rotan bundar, di atasnya terdapat taplak meja rajut bunga-bunga kecil dan bunga sepatu plastik yang Riana bawa dari rumah Orangtuanya. Ada beberapa foto berwarna pudar ukuran 4R yang dibingkai pada dinding, beberapa foto perayaan keluarga Sarman, pernikahan mereka yang dirayakan di hotel Mutiara Merdeka 7 tahun lalu, liburan ke Bukittinggi, dan foto-foto kenangan anggota keluarga lain baik yang sudah meninggal maupun yang tidak lagi tinggal di sini.
Ruang tamu tersebut berdampingan dengan kamar paling depan bekas kamar orangtua Sarman, baru kemudian di belakang kamar paling depan ada ruang keluarga yang merupakan ruang paling luas dengan perabotan rotan khas Rumah ini. Ada Tv di atas meja rotan, rak-rak kecil ada di bagian bawah meja tersebut, Riana menyusun majalah-majalahnya di sana. Karpet merah beludru dengan motif garis-garis hitam tergelar di depan Tv, sepasang kursi goyang bekas kepunyaan Nenek dan Kakek ada di sudut ruangan, dekat pintu keluar bagian samping kanan Rumah yang akan mengantar siapapun ke area jemuran. Di ruang keluarga ada lebih banyak foto terpajang, dan bunga-bunga plastik menempel di dinding.
Di sisi lain ruang keluarga ada kamar Sarman dan Riana, lalu sebelahnya kamar Kakak Sarman yang juga kosong. Kedua kamar tersebut dapat di akses melalui ruang keluarga. Jendela di ruang keluarga memang Riana biarkan tertutup karena sebenarnya dia krang suka sisi kanan Rumah ini. Kamar adik Sarman berdampingan dengan kamar Nenek di belakang. Di sampingnya ada ruangan serba guna yang kadang digunakan Sarman dan saudari-saudarinya bermain waktu mereka masih kecil. Seluruh interior Rumah ini dindingnya berwarna putih serta cukup bersih untuk ukuran rumah putih di pelosok.
Rumah mereka memang ada di ujung jalan, tidak ada lagi rumah setelah rumah mereka. Bagian kiri rumah mereka adalah hutan bambu, kemudian jalan setapak menuju areal pemakaman yang kalau diperhatikan lebih detail, pemakaman itu akan terlihat dari jendela kamar Sarman dan Riana. Kadang Riana sedikit takut kalau hujan turun di malam hari dan Sarman mendapat shift malam. Rasanya dia tidak sendirian, perasaannya berbisik untuk mengunci diri di kamar dan satu-satunya hal yang dia inginkan adalah tertidur. Langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu tidak benar-benar berhasil meredam suara hujan yang menghujam atap seng, jadi Riana lebih tersiksa lantaran tidurnya tak akan bisa benar-benar nyenyak ketika hujan disertai petir melanda. Terlebih bila keadaan tersebut terjadi setelah ada orang yang meninggal, siksaan batin Riana semakin berlipat.
Sarman pernah menguatkan Riana ketika akhirnya mereka tinggal berdua saja sekitar tiga tahun lalu. Sarman mengatakan kalau dirinya waktu kecil juga takut memandang keluar jandela kamarnya, tapi lama kelamaan dia sadar bahwa orang-orang yang telah mati tidak punya urusan lagi dengan orang yang masih hidup.
Riana mengingat-ingat, selama ini tidak ada hal aneh terjadi selama dirinya merasa ketakutan, kecuali rasa takut itu sendiri yang menyiksa dan mengendalikan pikirannya kalau-kalau ada monster yang menarik tubuhnya, menghancurkan tembok dan melakukan hal-hal seram yang hanya terjadi dalam pikirannya saja.
Setelah merenungi isi surat Syarif hampir setengah jam lamanya, Riana memberanikan diri berjalan ke belakang, meninggalkan surat dari Syarif di antara tumpukan majalah. Dia menutup pintu kamar Nenek dengan cepat. Disambarnya handuk merah yang tergantung dekat pintu dapur, dia membuka pintu belakang dan berjalan melewati teras belakang sebelum menuruni anak tangga kayu yang cat birunya telah mengelupas dan tampak warna asli kayu-kayu tersebut.
Riana mengangkat jemurannya terlebih dahulu, melihat sekilas ke arah pintu ruang bawah yang telah sangat lama tidak pernah ia buka. Ruangan tersebut cukup luas, kira-kira setengah dari bangunan di atasnya. Ayah Sarman menggali hampir 2 meter agar ruangan bawah menyerupai basmen dan dapat menampung banyak barang. Awalnya itu adalab workshop Ayah Sarman, jendela-jendelanya terbuka dan Sarman suka bermain banyak hal di bawah situ waktu kecil. Sekarang ruangan tersebut hanya sebuah gudang dan memberi kesan seram lantaran Riana kadang takut membayangkan sesuatu tinggal di bawah sana selama ini. Pintunya ada dekat tangga belakang, dan lantainya sebagian terbuat dari kayu, sebagian lagi di semen kasar lantaran kayunya sering amblas karena rayap dan lembab.
Riana mandi, sore itu entah mengapa airnya sejuk sekali. Lantai kamar mandi yang terbuat dari bambu sebagian memang sudah lapuk, dan airnya tergenang di salah satu bagian. Usai mandi Riana kembali menutup sumur dengan penutup yang terbuat dari bambu. Hal itu dilakukan agar ayam atau kucing tetangga tidak lagi tercebur ke dalam sana.
Perempuan itu kembali masuk ke dalam rumah, masih mengenakan handuk sebatas dada, dan membawa jemurannya yang tadi ia letakan di antara anak tangga. Jam 5 telah berlalu, listrik menyala, hasil tenaga mesin diesel saluran dari rumah Pak RT. Mesin tersebut akan mati sebelum jam 12 malam, kalau musim bola atau ada tetangga hajatan maka listriknya akan menyala sampai jam 6 pagi.
Riana masuk kamarnya, ada lemari besar yang terbuat dari kayu jati dan di cat coklat mengkilat, pintunya ada 3, di bagian tengah terdapat cermin besar dengan bingkai penuh ukiran. Lemari tersebut Riana bawa dari rumah Orangtuanya karena lemari Sarman rusak dimakan rayap. Ranjang mereka terbuat dari kayu berat dan berwarna gelap, kasurnya adalah kasur dengan kapas berwarna merah putih bergaris-garis. Riana telah memasang bed cover putih polos kesukaannya. Ada meja rias sederhana di sebelah jendela yang lengkap dengan kursi dan peralatan kecantikan di atasnya.
Riana mengenakan kaos hitam longgar dan rok jeans pendek. Dia menaburkan sedikit bedak dan gincu warna merah muda sedikit. Lalu, dia duduk di depan meja rias, menyisir rambutnya sembari bersenandung.
"Assalamaualaikum," suara Sarman yang berat dan menggoda terdengar dari depan.
"Waalaikumsalam," jawab Riana pelan. Tak lama, Sarman berjalan sambil memegang helm dan masih mengenakan kemeja kerjanya, berdiri diambang pintu.
Di ambang pintu kamar tersebut, Sarman mengamati istrinya yang tersenyum sambil meneruskan menyisir rambut. Pria itu punya tinggi badan yang bagus, kira-kira 175 Cm, dengan tubuh berisi dan bidang, dia melipat kedua tangannya di dada dan terus menonton Riana menyisir rambut.
Wajah Sarman oval, bibirnya tipis dengan kumis tipis di atasnya. Kulitnya sedikit gelap karena pekerjaan lapangan, hidungnya mancung, namun tidak begitu besar. Rambutnya disisir belah ke kiri, dan ada lesung pipi yang menggemaskan di mata Riana kala pria itu tertawa atau sekadar tersenyum.
Tak tahan melihat istrinya yang terus memandang ke arahnya, Sarman meletakan helmnya di atas meja sebelah ranjang, lalu mengecup kening istrinya tanpa berkata apa-apa.
"Abang mandi dulu sana," saran Riana mengingatkan suaminya.
"Dua hari lagi kita puasa..."
"Iya, iya tau, mandi dulu, nanti gelap dimakan Buaya," ujar Riana menahan senyum, dia tahu ketergesahan dalam mata suaminya belakangan ini membuatnya sulit bergeser dari kamar, mendapatkan alasan yang bagus merupakan prestasi yang menyenangkan bagi Riana.
Dengan bibir manyun, Sarman mengiyakan Riana. Dia berjalan keluar sambil membawa helmnya dan bernyanyi ringan, lagu Mandi Madu.
"Basah, basah, basah, seluruh tubuh... ah, ah, ah, menyentuh kalbu..."
Riana terkekeh mendengar suaminya bernyanyi demikian.