Bab 1 Pagi Kala Itu
Bab 1 Pagi Kala Itu
"Biarkan orang lain berbicara sesuka hati karena pada dasarnya mereka tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetap melangkah jangan biarkan opini orang lain menenggelamkan suara dari dalam diri Anda" -Romansa Universe.
21 Febuari 1993
Riana, perempuan 26 tahun yang tinggal di tepi Sungai Siak berusaha menghindari celotehan ibu-ibu yang sesekali memandangnya dengan bisikan janggal pada ibu-ibu lainnya. Riana tahu itu perbuatan salah satu tetangganya, tapi dia tidak benar-benar tahu siapa namanya. Namun, benaknya menebak dengan benar kalau ibu-ibu itu sedang membicarakan dirinya, pernikahannya, yang sudah 7 tahun tidak juga dikarunia anak.
Suami Riana, Sarman merupakan seorang kontraktor operator mesin di pabrik kertas tak jauh dari tempat mereka tinggal. Sarman, hanya Riana yang tahu betapa bertanggung jawabnya pria itu, betapa baik dan sangat menenangkan sampai Riana sering kali tidak memikirkan mengenai anak dan pertanyaan orang lain tentang itu. Memang sejatinya pasangan ini tidak pernah peduli pendapat orang soal anak, tapi lama kelamaan Riana mulai menarik diri dari pergaulan, membatasi apa-apa yang berhubungan dengan tetangganya, dan mencurigai tiap percakapan dengan orang yang ia kenal.
Pagi itu Riana belanja cepat sekali, geraknya pun secepat yang ia mampu. Dia menyumpal belanjaannya ke dalam keranjang rotan yang suaminya anyam sendiri, sampai penuh dan campur aduk di dalamnya, tidak seperti biasa, Riana menyusun dan meletakan belanjaan berdasarkan berat serta jenisnya.
Kadang Riana duduk di bawah pohon beringin belakang rumahnya, menatap jajaran pohon bambu kuning yang sering kali bersiul waktu siang. Di sana dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan, kalau-kalau dirinya tak menikah 7 tahun lalu, andai saja Ayahnya tak meminta hal itu terlaksana, mungkin dirinya ada di suatu tempat yang berbeda. Air mata Riana menetes tatkala pikirannya itu digeser sosok Sarman yang lembut dan membuatnya jatuh cinta setiap hari.
Dikuatkannya batin, saat tanpa sengaja dirinya berjalan terlalu cepat dan merobek bagian bawah rok bunga-bunga monokrom yang dikenakan. Riana menghela napas, meminta maaf pada penjual jamur sawit yang dagangannya bergeser karena tertabrak olehnya.
Riana menyelesaikan belanjanya, lalu berjalan dengan perasaan bingung. Payung warna-warni menghalau panas yang mulai terik, dan keranjang rotannya tidak mungkin bisa lebih padat lagi. Dia berjalan menyusuri jalan berbatu yang kalau turun hujan akan sangat licin. Dia terbayang wajah tetangganya, ibu-ibu dengan rambut keriting dan tahi lalat di dahi sebelah kiri. Wanita itu tak hanya sekali dua kali menggunjingi pernikahan Riana, hampir setiap bertemu, Ibu itu akan membisikan sesuatu dengan pandangan menjengkelkan ke arah Riana atau Sarman kepada siapapun yang ada di dekatnya.
Rumah Riana ada di ujung jalan berbatu yang semakin lama semakin menyempit. Rumah itu merupakan satu-satunya rumah dengan pagar bambu, sementara pemilik rumah lainnya tidak berpikir untuk membuat pagar. Pada awal pernikahan Riana meminta Sarman membuat pagar agar merasa lebih nyaman. Di sana rumah mereka terbuat dari kayu, cukup luas dengan gaya panggung dan panjang ke arah belakang. Halamannya di tumbuhi rumput gajah, ada pohon mangga tinggi menjulang di depan, di sisi kanannya. Bagian belakang ada pohon beringin besar, bangku panjang dari bambu dan meja kayu yang menempel pada pohon beringin. Di luar pagar belakang di tumbuhi pohon bambu, ada semacam bangunan tambahan yang berfungsi sebagai kamar mandi dan toilet tanpa atap, tidak besar, di sana ada sumur bulat yang di cincin beton dan peralatan mandi lainnya. Tak jauh dari sana adalah Sungai Siak.
Riana membuka pintu rumahnya, seperti biasa, terlihat rapi dan cantik. Ada tv 14 inch hitam-putih yang menjadi hiburannya ketika Sarman mendapat shift malam. Biasanya dia nonton Srimulat atau Sinetron Debu Durjana yang dibintangi aktris muda Hanna Silalahi. Listrik tak menyala 24 jam di tempat mereka, kadang Riana merindukan rumah Orangtuanya, kehangatan dan kelengkapan fasilitas yang ada di sana. Tapi, dia tak punya pilihan lain selain menjalani apa yang menjadi haknya saat ini.
Dia menyusun belanjaan di dapur, membungkus cabai merah keriting, bawang merah dan putih, serta kentang dan wortel hingga teri dan terasi dalam koran bekas yang Sarman beli dari pengepul kertas bekas. Lantas dia memasukannya ke dalam lemari lapuk dekat jendela.
Dapur rumah mereka tidak terlalu luas, lantainya dari kayu lebar yang jika berjalan cepat maka akan menimbulkan suara gaduh. Sebuah meja panjang diletakan di sebelah lemari lapuk, tingginya tidak sampai 1 meter, di atasnya ada kompor minyak dan botol-botol minyak itu sendiri, toples bekas biskuit lebaran tahun lalu menjadi wadah jelantah yang kadang kalau akhir bulan akan mereka gunakan untuk makan bersama nasi putih hangat. Sebuah papan telur yang isinya sudah habis separuh tergeletak di sebelah kaleng jelantah, lalu ada kelapa bulat dan toples garam serta penyedap makanan. Di sisi satunya, dekat pintu keluar menuju halaman belakang ada meja makan dari bambu yang di cat kuning dan tidak match dengan apapun di dapur itu. Kursinya terbuat dari rotan, cantik mengkilap dan tidak seimbang dengan meja bambu. Di atasnya ada penutup makanan. Piring, sendok, dan perkakas lain ada di samping meja itu, yang di susun rapi pada rak piring besi warna putih bercampur biru. Di sebelahnya lagi ada kendi-kendi peninggalan Orangtua Sarman, yang mereka isi dengan beras, air bersih, atau mie instan di masing-masing kendi. Ada 4 kendi, 1 diantaranya sompal karena kejatuhan palu beberapa bulan lalu.
Totalnya ada 5 kamar di rumah ini. Dulu waktu Sarman masih remaja, rumahnya penuh dengan keluarga mereka. Kedua orangtuanya punya 3 anak, Sarman anak kedua, si sulung Perempuan sudah menikah dan tinggal bersama suaminya, sementara adiknya saat ini sedang persiapan Ebtanas Sekolah Menengah Atas di Pekanbaru. Mereka juga tinggal dengan Nenek Sarman yang cerewet waktu itu. Semua kamar terisi di masanya.
Keluarga Sarman punya ladang tebu awalnya, yang dibagi dengan tanaman rotan. Ayah Sarman seorang seniman sekaligus pembuat kerajinan rotan, dari haril penjualan perkakas rotan itu mereka sempat menjadi keluarga berada dan disegani tetangga. Tapi, setelah Ibu Sarman meninggal secara mendadak, Ayah mereka mulai sakit-sakitan, ladang mereka terjual untuk biaya Rumah Sakit dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Sekilas keluarga Sarman terdengar malang. Akan tetapi, Sarman tak pernah sekalipun merasa hidupnya tak adil. Sebaliknya, Riana telah ia puji sepanjang waktu bersama karena telah Tuhan kirim sebagai pelipur lara dan keindahan dalam hidupnya yang sederhana. Riana menyukai kesederhanaan suaminya, cara-cara pria itu mencintainya, dan kebahagiaan yang terus tersemat tanpa orang lain pahami.
Riana memang terbilang cantik, dengan rambut bergelombang sepunggung, kulit bersih dan tubuh proporsional kadang membuat para suami tetangga 'teralihkan' kala Riana lewat, membuat para istri mencibir Riana yang notabennya merupakan perempuan dari kota Pekanbaru dengan segala keterawagan diri yang dibawa ke tepi sungai Siak ini. Mata Riana redup, membuai siapapun yang memandangnya, apalagi ketika tersenyum dan kedua belah pipinya merekah bagai bunga mekar di pagi hari, sejuk dan cantik. Bibir Riana terbelah tengahnya, berisi dan kemerahan. Kadang Sarman tidak konsentrasi bekerja karena kecantikan istrinya yang tertinggal di rumah.
***
Selamat datang di Rumah Paling Ujung. Ini adalah horor-thriller Romansa Universe. Ikuti kisahnya hingga akhir. Terima kasih.