#1
"Hai cantik, sendirian aja. Nanti malam gimana? Kosong kan?"
Gadis yang sedari tadi duduk di kursi taman dan sibuk dengan laptopnya langsung menengok ke arah suara.
Tak hanya dirinya, ternyata semua murid SMA Taruna Nusantara yang tengah menikmati waktu istirahat mereka juga beralih memperhatikan peristiwa ini. Seorang anak baru SMA mereka, mengobrol dengan salah satu gadis keturunan kulkas di sekolah. Apalagi mendengar poin ucapan dari laki-laki tadi.
Gadis itu hanya menautkan kedua alis sempurnanya tanda tidak mengerti.
"Kalau ntar malem lo udah dipesen, batalin aja bisa? Ntar gw bayar dua kali lipat juga gapapa kok." sambungnya dengan sengaja meningkatkan volume, berharap perhatian penjuru taman dan kantin yang bersebelahan.
Keduanya menyadari keheningan yang terjadi di sekitar. Semua memperhatikannya, menunggu jawabannya.
Gadis itu memilih beralih. Dengan cepat menutup laptopnya dan beranjak meninggalkan situasi yang mulai tak terkondisi. Termasuk bisikan-bisikan yang mulai muncul di sekitar dan laki-laki di hadapan yang tersenyum samar. "Maaf, Kak, saya nggak mengerti apa maksudnya. Tapi saya mohon, jangan ganggu saya." ucapnya cepat, implisit pamit dan segera berbalik.
"OII CHELSEA! HOTEL BIASA YA! NTAR MALEM JAM 10 AJA!" tambah sang pemancing masalah, tanpa sadar kelakuannya menarik mereka kepada 'bahaya' dalam arti tersendiri SMA Taruna Nusantara.
Dan tanpa beban sedikitpun, ia kembali ke meja kantin. Tempat pertama munculnya usul kurang ajar tadi tertuang.
Melupakan tawa yang sempat terlihat sesaat sebelum hal tadi terjadi, tiga orang pengisi meja menghela napas gusar.
"Anjing lah, Ner. Mampus kita abis ini," sebut Lanno memecah keheningan di meja mereka.
"Gw gak akan ngelakuin itu kalau bukan karna dare lo." bela Rainer sambil melirik ke arah Nathan, sang kunci utama kejadian berbahaya tadi.
Sejauh ini Rainer hanya berpikir jika 'mampus' yang disebutkan Lanno tak lebih dari sekedar teguran BK atau bahkan pemanggilan orang tua.
Padahal, percayalah. Jika sudah menyangkut Chelsea dan bahaya, SMA mereka punya sejarah kelam tentang keduanya.
Yang dilirik tadi mendengus tak setuju. "Itu mah lo nya aja yang mau modusin Chelsea. Kalau enggak juga lo bisa nolak dan minta dare lain."
"Ya kan gw gentle. Nerima tantangan. Emang elo?" sindir Rainer tak berotak.
"Goblok, mana ada cowok gentle tapi nawar cewek? Ngerendahin harga dirinya di depan umum." balas Nathan dengan mudahnya.
"Dih?! Kan-"
"Udah kek ngomongin Chelsea nya. Takut gw," sebut Lanno yang seharusnya lebih dulu mereka pikirkan sebelum semuanya berubah seperti ini.
"Eh iya, kita minta maaf nih ke Chelsea sekarang? Nanti kalau ketemu Vero gimana, mati beneran kita." tambah Brandon ikut khawatir. Padahal jelas-jelas kelakuan mereka yang di luar batas, bukan hak nya merasa takut menghadapi Vero setelah melakukan hal tadi pada Chelsea.
Nathan menggeleng, "Jangan. Vero nggak tau soal ini, kelas dua belas lagi TO kan. Chelsea diem, kita diem."
"Chelsea ngomong, kita mati, goblok."
"Ya lo mau ketemu Vero sekarang? Apa bedanya minta maaf sama Chelsea dengan diem aja? Kalau Vero tau tetep bakal ngamuk dia."
Lagi dan lagi dalam kurang lebih beberapa menit ini, Lanno dan Brandon menghela napas kasar. Baru sadar dengan apa yang baru saja dipancingnya keluar.
*
Tiupan peluit mengakhiri kegiatan ekstrakurikuler basket mereka. Semua anggota basket berlari ke pinggir lapangan untuk beristirahat dan mengembalikan ion tubuh mereka.
Tak terkecuali Rainer, Nathan, Brandon dan Lanno. Mereka berkumpul di salah satu sudut lapangan untuk melepaskan lelah seusai latihan. Perhatian Rainer teralih ke salah satu kursi penonton setelah mendapat kode dari Nathan.
Ia mendapati Chelsea yang masih dengan laptop di pangkuannya, didekati oleh dua cowok yang sepertinya satu angkatan dengan dirinya. Rainer memang belum terlalu banyak mengenal anak-anak di SMA Taruna Nusantara ini.
"Tuh cewek emang biasa kayak gitu?" tanyanya kelewat polos -revisi! Kelewat bego.
"Bego... bego..." tegas Nathan menggelengkan kepalanya tak percaya dengan pertanyaan Rainer. "Menurut lo setelah kejadian pas istirahat gak ada yang penasaran dan ikut gangguin dia?"
"Jadi gw harus minta maaf?" tanya Rainer lagi kini bernada malas.
Gelengan dari Nathan sedikit membuatnya bingung harus apa sebenarnya. Untuk kedua kalinya, Rainer mengikuti arah pandang Nathan setelah kode sekilas dari nya.
Ia memperhatikan kelompok anggota basket yang merupakan senior mereka. Satu berbicara mengabari soal Chelsea di kursi penonton, dan satu lagi yang langsung berjalan sebelum rekan nya menyelesaikan.
Mereka yang kurang lebih terdiri dari tujuh orang dengan cepat menghampiri Chelsea. Melemparkan tatapan perang yang spontan berhasil menarik mundur dua cowok yang tadi mendekati gadis itu.
Mata Rainer masih lekat-lekat memperhatikan bagaimana Chelsea mencoba mengelak dari sentuhan bahkan pertanyaan cowok yang paling cepat bergegas tadi.
"Ke mobil!" bentak cowok itu keras, berhasil terdengar ke seluruh lapangan. Sayangnya hal itu tak sedikitpun berpengaruh pada Chelsea yang sudah beranjak pergi.
"Gw mau nyamperin dia," sebut Rainer spontan saja setelah Chelsea berjalan meninggalkan lapangan.
Untung sekali Nathan lebih cepat merespon dan berhasil menggagalkan niat teman bodohnya ini. "Belom jelas guard nya sebanyak itu? Lo mau mati, hah?"
Tak setuju namun terpaksa membenarkan peringatan Nathan, Rainer kembali melihat sekilas ke arah Chelsea. Kini gadis yang berjalan di koridor itu memberinya akses untuk mereka beradu pandang.
Hanya sekilas namun berhasil melipatgandakan rasa penasaran Rainer terhadap pemilik netra coklat cerah barusan.
*
Peluh sudah penuh membasahi tubuh Alvero. Lelah akibat latihan ditambah frustasi memikirkan strategi agar tak kalah di kandang sendiri pada perlombaan antar sekolah beberapa hari lagi.
Es di genggamannya sebagai cara paling efisien menurunkan suhu tubuh dengan cepat ia nyatakan gagal ketika kakinya melewati ruang latihan ekskul Modern Dance. Melempar minumannya ke tong sampah terdekat, Alvero berjalan memasuki ruang MD yang pintunya tak tertutup rapat itu.
Benar kan dugaannya.
"Sea..." panggilnya malas.
Yang dipanggil menengok, dengan tak acuhnya tak menanggapi walaupun yang dilakukannya kini adalah menutup semua aplikasi termasuk monitor laptopnya.
Alvero memilih berjalan mendekat, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Chelsea yang tengah berleseh nyaman. "Maaf."
"Maafin nggak ya?" tanggapnya sengaja. Membebaskan Alvero dari kecemasan sekilas dan beralih mengacak rambut adiknya.
"Kak ih! Tangan Kak Alver kotor!"
"Lagian tadi kan gw bilang ke mobil, Sea. Kalau tadi di lapangan yang banyak orang gitu aja ada yang berani ganggu kamu, apalagi di sini?"
Mengetahui mode mengomel kakaknya telah dimulai, Chelsea yang selesai membereskan peralatannya bergegas berdiri. Mengajak kakaknya -walaupun secara implisit- untuk segera pulang.
"Apa yang bikin mereka nekat begitu sih? Mereka ngapain aja?"
Chelsea berjalan lebih dulu keluar dari ruang MD dan sengaja beberapa langkah mendahului kakaknya.
"Mereka anak kelas sebelas kan? Kamu-" Alvero menghentikan ucapannya menyadari sang adik tak sedikitpun menanggapi atau bahkan menyimak.
"Gw lagi ngomong sama kamu, Seesea." tekan Alvero mengubah panggilannya.
Chelsea berbalik menghadap kakaknya namun mempertahankan jalannya. "Ngapain aku dengerin Kakak kalau Kak Alver aja nggak dengerin aki? Aku kan udah bilang mereka cuma nanya progress penampilan MD buat besok."
Alvero hanya menggeleng malas menanggapi lagi. Adik nya ini terlalu payah dalam hal berbohong. Padahal dengan sikap protektifnya, seharusnya Chelsea mulai melatih diri untuk mencari solusi.
Ya walaupun Alvero pasti marah besar jika Chelsea ketahuan berbohong.
Chelsea yang kembali berbalik agar tak terus berjalan mundur dengan cepat Alvero tarik hingga menabrak tubuhnya. "Untung ketangkep kan," omel Alvero karena tepat di hadapan Chelsea sudah terdapat tiang dengan kolam ikan luas di kanan mereka.
Adiknya yang hanya terkekeh kecil lagi-lagi membuat Alvero gemas. Kini ia menggandeng adiknya erat, menyatakan jika hal seperti tadi bukan tidak mungkin kembali terjadi.
"Oh iya, besok kamu opening doang kan sekali?"
"Kalau dikasih tau nggak surprise dong."
"Kasih tau jadwal samasekali nggak bikin surprise nya gagal, Sea."
Chelsea manyun, akhirnya kalah menanggapi sang Kakak. "Aku pembuka, tepatnya sebelum sambutan dari Kepsek. Sama puncak penutupan malamnya."
Alvero melepaskan genggamannya, beralih melingkarkan tangan menuju bahu adiknya. Chelsea yang tak terlalu terganggu berhubung kondisi sekolah sudah cukup sepi hanya menyamankan diri, tak sadar tanggapan positifnya menambah poin kemenangan Alvero dari seseorang atau mungkin dua orang yang menatap mereka dari sebrang sana.
