Bab 1 Bersentuhan
Bab 1 Bersentuhan
Kereta dari Surabaya menuju Jakarta baru saja tiba di terminal. Lelaki dengan dengan jaket Hodie putih turun dari dalam kereta, dia memakai headsetnya terlebih dahulu dan menarik kopernya keluar.
"Huam… akhirnya setelah sekian lama menunggu aku bisa kembali ke kota ini," Lelaki itu merengangkan ototnya yang terasa keram.
Radit kemudian melanjutkan langkahnya keluar dari terminal, setelah bertahun-tahun tinggal di rumah neneknya di Surabaya, baru kali ini dia bisa kembali ke Jakarta.
Setelah sampai di luar terminal, Radit melepas salah satu headseat dari telinga kirinya, sedikit menjauh dari terminal, ia mencoba menghubungi sopirnya. Radit terus berjalan sambil menunggu teleponya terjawab, sehingga tanpa dia sadari seorang gadis juga terburu-buru dari sisi yang berlainan.
Bugh….
Tabrakan tak bisa dihindari, badan Radit yang kekar dan atletis membuat wanita itu terjungkal ke belakang hingga terjatuh.
Radit melepaskan kopernya, kemudian memasukan ponselnya ke saku celananya, dia segera bergerak menolong gadis itu.
"Maaf…, maaf saya tidak melihatmu." Ucap Radit berjongkok, lalu menjulurkan tangannya menolong gadis itu.
"S-saya juga salah, saya juga buru-buru tadi," ujar gadis itu langsung berdiri tanpa menerima uluran tangan Hendry.
"Sekali lagi saya minta maaf, saya sama sekali tidak sengaja." Radit masih mencoba meminta maaf, namun gadis itu malah pergi berlalu dari hadapan Radit.
"Gadis aneh," batin Radit. Ia segera melanjutkan langkahnya.
Tugh…
Radit menendang sesuatu, ia melirik ke bawah dan mendapati radio kecil di sana, sangat kecil hingga si empunya tidak tahu bahwa benda kecilnya itu telah terjatuh.
Radit sedikit membungkuk dan mengambil radio itu, segera berlari ia mengejar gadis tadi. Radit yakin jika radio itu milik gadis yang bertabrakan dengannya. Sialnya gadis itu sudah menghilang entah kemana.
Tak berselang lama sopir Radit sudah datang menjemput, setelah menerima telepon, Radit segera menuju parkiran. Di sana Pak Parto supirnya sudah berdiri menunggunya.
"Maaf ya, Den, tadi itu macet," ujar Parto meminta maaf.
"Tidak apa-apa, mang, langsung saja." Hendry menyerahkan kopernya ke Parto untuk di masukan ke dalam bagasi, setelah itu dia masuk ke dalam mobil.
Pak parto segera menutup bagasi, setelah itu dia masuk ke kursi kemudi melajukan mobilnya. Di dalam mobil Radit kembali melihat radio yang sedari tadi dia gengam, tangannya membalik radio itu dan ada ukiran kecil di belakangnya. ‘E-l-i-s-a’ tulisan itu hampir samar, namun masih bisa terbaca.
Setelah tiga puluh menit dari terminal mobil Radit telah sampai di rumahnya, rumah dengan tingkat tiga bergaya Eropa yang selalu Radit rindukan. Tiga tahun dia di hukum, orang tuanya mengirimnya ke rumah sang nenek karena kenakalannya. Waktu itu Radit masih SMA, dan dia sangat labil. Sekarang dia sudah dewasa, lebih tepatnya dia sudah mandiri.
"Sayang…." Seorang wanita paruh baya menghampiri Radit dan menciumi pipi pria itu berulang kali. "Mama kangen sekali denganmu," ujarnya lagi, dia adalah Marisa mama Radit.
Marisa memang saat itu tidak tega membiarkan Radit untuk ke rumah neneknya di Surabaya, bahkan dia sampai membujuk suaminya agar Radit di pulangkan saja. Nyatanya itu tidak berhasil, suaminya lebih tahu jika ibunya akan mendidik Radit lebih baik, bahkan nenek Radit terkenal sangat keras dalam mendidik, dan itu sudah terbukti pada papa Radit yang saat ini menjadi pengusaha sukses.
"Kenapa tidak pernah mengunjungiku?" tanya Radit to the poin.
"Mama ingin ke sana sayang, tapi papa kamu…, kamu tahu bagaimana?"
Radit menerima kopernya dari Parto, kemudian masuk ke dalam rumah, ia meninggalkan mamanya di belakang. Radit naik ke lantai dua lalu masuk ke dalam kamarnya. Tidak ada yang berubah, bahkan kamar itu sangat rapi. Mungkin mamanya menyuruh Bi Ijah untuk membersihkan kamar Radit setiap saat. Radit meletakan tas dan kopernya secara bersamaan.
Brughh..
Radit membaringkan tubuhnya di atas kasur, kemudian merentangkan kedua tangannya, Radit mengingat sesuatu, dia segara bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah tasnya diletakan.
Radit kembali mengeluarkan radio itu, entah kenapa benda itu sangat menarik perhatianya, dengan sedikit bersandar Radit menghubungkan headsetnya lalu menghidupkan radio itu, kemudian mendengarkanya sambil bersandar di atas meja.
Hanya lima belas menit Radit mendengarkanya, setelah itu dia meletakan benda itu di atas nakas. Kini waktunya dia membersihkan diri.
Radit keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, pasalnya tubuhnya lebih nyaman setelah mandi.
"Radit.." panggil mamanya dari luar
"Iya ma.." jawab Radit dari dalam, ia berjalan ke arah pintu dan membukanya.
"Turun, kita makan dulu."
"Sebentar, Ma, aku pakai baju dulu."
Tak butuh waktu lama bagi Radit untuk memakai bajunya, kina ia sudah di bawah menuju meja makan, mama dan papanya sudah menunggu.
"Pa.." panggil Radit sopan, dia menyalami papanya dan mencium tanganya.
"Ternyata papa tidak salah membiarkanmu tinggal bersama nenek, lihat sekarang perubahanmu sangat pesat."
"Ehmm..," hanya itu sahutan dari Radit, setelah itu dia ikut duduk di kursi lainya.
Makan malam berlangsung canggung, semua terfokus pada makanan masing-masing. Hanya bunyi dentuman sendok yang terdengar.
"Radit.., mau lanjut kuliah di mana kira-kira?" tanya Marisa membuka percakapan.
Radit menatap papanya dengan dingin."Terserah papa saja Ma.., Radit tidak bisa menentukan."
Papa Radit mendongak, lalu menatap Radit tajam.
"Bukankah Radit selalu diatur papa selama ini?"
Ting…
Armand menghentakan sendoknya kasar. Dan itu membuat Marisa kaget."Ternyata kamu belum berubah..., jadi ini cara kamu setelah apa yang papa beri ke kamu?"
"Radit tidak pernah meminta Pa.., jika pun Radit harus tinggal dengan nenek di Surabaya, rasanya tidak masalah."
"Kamu anak tidak tahu…"
"Sudah, Pa…, anak baru datang, sudah bertengkar aja." Marisa melarai anak dan bapak itu untuk tidak meneruskan perdebatan mereka.
Tring..
Radit menghentakan sendoknya, nafsu makannya sudah hilang, padahal makanan di piringnya masih banyak.
"Radit sudah kenyang, mau tidur. Aku ke kamar, ya, mah." Radit berlalu dari hadapan kedua orang tuanya.
Radit adalah anak tunggal, dia juga merupakan pewaris tunggal semua harta warisan papanya, namun hal itu tidak semudah yang dia pikirkan, dia bahkan harus rela terpisah selama tiga tahun dari mamanya untuk belajar mandiri.
Bahkan sejak kecil saja Radit sudah harus belajar keras, agar dia bisa membanggakan papanya, sayang dia tidak bisa melakukan itu semua. Radit yang kerap kali dibuli oleh teman-temanya membuat dia berubah menjadi anak yang brutal dan suka melawan, bahkan ketika SMA dia kerap sekali keluar malam bersama teman-teman sekelompoknya. Itulah penyebab kenapa Radit diserahkan ke neneknya. Tapi, bagi Radit sendiri ada hal yang lebih dari itu yang disembunyikan oleh papanya. Bahkan rahasia itu lebih besar dari kenakalan-kenakalan yang Radit buat selama ini.
Radit kembali masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan tubuhnya di kasur.