Bab 13 Terpesona Tembok Tersayang
Bab 13 Terpesona Tembok Tersayang
Vasto masih menunggu sebuah kehaluan. Apakah itu?
Yang jelas, sedari tadi senyumnya tak luntur-luntur. Bagai tato naga di kulit, yang dibuat permanen.
Bedanya, senyum itu bukan seringai naga. Karena rasanya kayak ada manis-manisnya, seperti mata air pegunungan.
Vasto melirik tubuhnya. Belum ada lingkaran tangan dari wanita yang dikiranya mahasiswa magang di sekolahnya.
‘Pasti dia mahasiswa magang semester pertengahan, yang lagi praktek kerja lapangan. Aku yakin! Dia seperti itu, dia lagi praktek mengajar.’ Batin Vasto membuat kesimpulan sendiri.
“Kok lamban banget, ya, Dek? Bisa lebih cepat lagi, nggak?” kata Karenina resah.
Tentu saja, dia takut telat pada hari pertamanya mengajar. Sungguh, itu tidak lucu.
“Kenapa?” Vasto pura-pura tak mendengar. Sejujurnya, dia baru menyadari, bahwa Karenina tidak hanya cantik. Namun, punya suara yang sangat memikat aduhai.
“Adek cakep ... bisa lebih cepat lagi, nggak? Saya sudah telat,”
Vasto berdehem jumawa. “Nggak usah sok tua, sih! Aku seumuran dengan kamu, palingan!”
“Lantas, kenapa kamu masih SMA, kalau seumuran denganku?” kata Karenina, lembut, tanpa menjelekkan.
“Yeah, namanya juga masih muda. Katanya, masih paling indah itu adalah masa di SMA. Jadi, nikmatin aja!”
“Oh, begitu ya. Sudah berapa kali tidak naik kelas?” tanya Karenina.
“Empat kali. Dua kali SD, satu kali SMP, dan ... satu kali SMA,” kata Vasto santai.
Karenina terkejut. Dalam bayangannya, dia harus cepat-cepat turun dari motor siswa ini.
‘Ini pasti siswa badung. Sayang banget, padahal orangnya ganteng, bersih, dan sepertinya anak orang kaya!’
Berbeda dengan Karenina yang ingin buru-buru, Vasto melajukan motornya pelan. Jujur saja rasa hatinya membuncah saat ini. Padahal tak pernah ia bertemu dengan Karenina sebelumnya.
Laju motor yang semula kencang, ketika Karenina mengisinya di jok belakang berubah pelan. Vasto merasa ada desir aneh yang bergulir di dadanya. Sedikit menggelitik lembut namun terasa nyaman.
Vasto menganggap bahwa ini adalah cinta. Cinta pada pandangan pertama pada wanita yang baru ia temui yang sekarang telah duduk di atas motornya.
"Lo murid pindahan baru atau mahasiswa keguruan yang mau magang di sekolah gue?" tanya Vasto sedikit mengalihkan kepalanya agar suaranya terdengar oleh Karenina.
"Memangnya saya kelihatan kayak gitu ya?" kekeh Karenina.
"Iya," jawab Vasto tanpa ragu.
"Hm, masa sih?" usil Karenina dengan nada manjanya.
"Jadi?" tanya Vasto masih penasaran.
"Entar juga tau, kok" cetus Karenina sengaja memancing rasa penasaran murid Badung di depannya itu.
*** PRIA PALING SWEET ***
Lapangan SMA Nusantara kini telah dipenuhi oleh banyak siswa dan jajaran pejabat sekolah. Upacara Senin pagi kali ini sedikit diwarnai dengan siulan-siulan jahil para murid cowok disana.
Hal itu karena adalah wajah baru yang terlihat lebih menyegarkan untuk mereka, yang berdiri anggun tepat di barisan paling depan jajaran para guru.
Upacara dilakukan seperti biasanya, dan sampailah kepada sesi pemberian amanat dari pak Budiono yang merupakan kepala sekolah di SMA Nusantara.
"Baiklah, di ujung upacara ini saya akan memperkenalkan seorang guru baru yang akan menjadi bagian dari kita semua." Lantang pak Budi dalam pidatonya.
Kepala laki-laki berkepala plontos itu beralih ke sebelah kiri, mempersilahkan Karenina dengan tatapan lembutnya, tak lupa senyuman maut yang membuat Karenina bergidik kengerian.
"Jangan sawan! Jangan sawan!" gumamnya sambil memaksakan senyum.
"Ada masalah mbak Kare?" Ujar pak Budiono sedikit berbisik menjauh dari microphone.
"Ah, enggak" Karenina menggeleng lalu maju beberapa langkah guna memperkenalkan diri ke hadapan penghuni sekolah.
Karenina dengan anggunnya menelungkup kan tangan ke khalayak lalu disambut riuh oleh murid-murid disana.
"Wah, Beningnyaa"
"Cantikmu mengalihkan duniaku ibu Kare"
"Pak Budi saya ijin gak naik kelas kalo gurunya ibu Kare!'
Hampir semua laki-laki disana mengaguminya. Karena cantiknya, anggunnya, dan senyuman Karenina yang membuat siapapun takluk.
Terutama pada jajaran barisan Vasto dimana mereka berkata bahwa Ibu Kare yang mereka sebut lebih cocok jadi gebetan mereka saja dibanding menjadi guru mereka.
Sedangkan, di tempatnya Vasto berdiri dengan sorot kaget. Ia tak mengira ternyata Karenina yang cantik itu akan menjadi guru di sekolahnya.
Akan tetapi, tanpa di duga ditempatnya Karenina merasakan sesuatu hal yang aneh. Suara-suara yang merupakan panggilan-panggilan ghaib yang begitu mengganggu dirinya.
Entah kenapa semakin lama, hal itu membuatnya semakin larut dalam panggilan tersebut.
Hingga upacara selesai, Karenina yang notabene belum tahu seluk beluk isi sekolah pun berjalan sesuai kehendak hatinya. Ia seperti terasa di dorong untuk berjalan mengikuti panggilan itu.
Beberapa murid laki-laki menggodanya, melihatnya ketika berjalan dengan kekaguman, memberikan siulan-siulan khas anak SMA yang ingin mendekati perempuannya.
"Hai Ibu Kare!"
"Mau kemana nih kok sendirian aja, mau adek temenin gak?"
"Satu tambah satu, dua. Aku tambah kamu sampai tua"
"Eaakkk"
Gombalan-gombalan garing mereka rupanya benar-benar sama sekali tidak terdengar di telinga Karenina. Pendengarannya sudah tertutup dengan suara ghaib yang terlanjur telah menguasai pikirannya.
Karenina berjalan bak seorang yang tak memiliki tujuan hidup. Ia berjalan kosong, lurus dan cenderung kaku.
Tubuhnya mengikuti saja kemana arah kakinya berjalan. Selang beberapa waktu Karenina telah sampai di sebuah tempat.
Tak dinyana Karenina malah berjalan ke sudut sekolah dimana terbentang sebuah tembok yang begitu penuh dengan coretan-coretan para siswa disana khas anak-anak bucin SMA.
Seperti ini,
'Diatas ketoprak masih ada kerupuk jadi jangan sombong kamu tuh cuma lontong!'
'Pulang diomelin gak pulang dibiarin, definisi anak yang tak dirindukan'.
'Aku selalu salah di matamu, sedangkan kamu selalu benar di mata orang tuaku'
Kalimat-kalimat konyol yang ditulis anak-anak di sana rupanya tak sama sekali memberi kesadaran pada Karenina. Wanita itu justru takjub dengan keindahan tembok kumuh nan lusuh yang terbentang di hadapannya.
"Tembok ini begitu tampan!" cetusnya takjub dengan tangan melayang hendak membelai tembok yang menurut kebanyakan orang sedikit angker itu.
Helasan angin seperti menambah suasana di tempat itu terasa mencekam. Suara-suara horor yang seharusnya membuat Karenina takut dan kabur justru membuat suasana hatinya sangat senang berada disana.
Beberapa orang yang melewati tempat itu, tanpa melihat Karenina pun merasa seperti hawa yang berbeda yang membuat bulu kuduk mereka merinding.
Karenina perlahan berjalan hendak memeluk tembok itu dengan wajah seperti telah menahan rindu berapa tahun lamanya.
"Ya Tuhan, kau idamanku sejak dulu" rancu Karenina sambil dirinya yang terus mengecupi tembok yang sudah terbilang rusak tersebut.
Tangan bersih nan lentik wanita itu menjamah dinding tembok layaknya tengah melepas rindu pada pria idamannya.
Wajahnya berbinar, senyumnya melebar dan tawa kering yang cenderung aneh kini mengiasi ruangan kosong tersebut. Karenina tertawa-tawa, matanya menggeliat manja pada tembok jamahannya tersebut.