Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[4]

“Nyonya..” Panggil Jaka, “saya mohon jangan lakukan ini.” Jaka memohon kepala Amelia. Apa yang wanita itu lakukan tak hanya membahayakan dirinya sendiri, tapi juga semua orang yang bernapas di dalam kastil buatan majikannya.

“Nyawa kami bergantung pada Anda, Nyonya.” Jaka mengiba dengan sangat. Ia masih ingat jelas kalimat terakhir yang ia yakini bukanlah ancaman belaka— mengenai luka tubuh sang nyonya. Tuan mereka tak pernah main-main, terlebih jika itu berkenaan dengan adik yang laki-laki itu obsesikan.

“Pergi Jaka!! Saya bilang pergiiii! Jangan halangi saya untuk keluar dari rumah ini. Pergiii kalian semua!” Begitulah teriakan yang menggema.

Amelia mengarahkan pisau ditangannya tepat pada kulit leher wanita itu. Sembari berjalan ke arah pintu utama, sang nyonya besar terus mengancam akan menggoreskan pisau itu ke lehernya andai mereka berani melangkah— even itu satu ketukan saja.

Melihat itu tentu saja semua pelayan di istana baru Damian menyingkir. Meski terus mengikuti langkah Amelia, mereka tetap memberi jarak— takut jika nyonya mereka berbuat nekat dan pisau itu menggores kulit indah sang nyonya.

“Berikan jalan pada Nyonya. Menyingkirlah dari sana!” Titah Jaka pada empat orang yang menjaga pintu utama rumah mewah Damian.

“Tapi, Pak..” Mereka terlihat ragu. Perintah yang tuannya berikan sudah sangat jelas, dan mereka mendengarnya sendiri. Amelia Wijaya tak boleh melangkahkan kakinya keluar dari gerbang.

“Biarkan!” Suara tegas itu membuat seluruh kepala menunduk termasuk juga Jaka. Laki-laki yang baru saja memberikan izinnya tersebut berjalan angkuh menuruni tangga rumah.

Kenapa Kakak dari dalam sana? Bukankah tadi Kakak pergi bekerja?— tanya Amelia di dalam hati. Tangannya bergetar, begitu pun dengan genggaman pada pisau yang ia arahkan ke batang lehernya kala melihat sorot mata tajam Damian.

“Bukalah pintu itu Amel! Katanya kamu mau pergi. Ya pergi saja kalau kamu ingin!” Ucap Damian datar. Langkah kakinya masih menuruni anak tangga dengan kedua lengan yang ia lipat di depan dadanya.

“Menyingkir kalian dari tubuh Istriku. Biarkan dia pergi. Buat seluruh penjaga di luar menundukkan kepala pada kepergiannya,” begitulah titah Damian.

Satu anak buah Damian yang ia tugaskan menjaga pintu utama bagian dalam rumahnya berjalan mendekati pintu, membukakan pintu bergagang kan emas itu untuk sang nyonya.

“Silahkan Nyonya.” Ujarnya penuh rasa hormat.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan Amelia membalikkan tubuhnya, berlari keluar dari rumah yang ia sebut sebagai neraka itu. Seluruh orang yang melihat Amelia berlari menundukkan kepalanya, mereka mendengar perintah dari sang tuan dari alat yang dipasang untuk tahu keadaan di dalam rumah. Alat canggih itu bahkan terpasang pada pelayan kebersihan. Mereka dibekali peralatan super agar setiap pergerakan Amelia dapat sampai ke telinga Damian dan Jaka.

Kaki Amelia terhenti di depan pintu gerbang yang menjulang. Ia menggelengkan kepalanya saat melihat banyaknya pepohonan yang mengelilingi rumah. Tak ada kehidupan layaknya perumahan mewah yang kedua orang tuanya tinggali. Tidak ada tetangga atau pun kendaraan yang melintas.

Dirinya.. Dirinya ada di..

“Larilah jika kamu ingin binatang buas menerkam mu Amel, atau jika beruntung, kamu bisa menemukan lautan dan berenang untuk meminta bantuan nanti.” Damian dengan ketenangannya memberikan saran. Pria itu menyeringai melihat bahu wanitanya yang naik turun karena menahan kesal.

Amelia membalikkan tubuhnya, ia menatap sang kakak dengan pandangan tidak percayanya. Ke tempat seperti apa ia dibawa lari sebenarnya?!

“Dimana kitaaaa, Sialaaan!” Jerit Amelia. Kepalanya hampir pecah sekarang.

“Ini pulau pribadi Kakak. Tak seorang pun dari keluarga kita yang tahu keberadaan pulau dan rumah ini. Jadi kamu masih mau pergi?” tanya Damian sembari mempertahankan seringaiannya.

“Lihatlah ke atas, hanya dengan itu kamu bisa kabur dari rumah ini. Itu pun jika helikopter itu tidak kakak ledakkan saat mengudara.”

Kaki-kaki Amelia melemas. Sosok yang berjalan mendekat ke arahnya bukanlah sosok kakak yang selama ini selalu menjaganya. Bukanlah sosok hangat yang selalu menjadi penopang dalam hidupnya. Sosok di depannya ini juga bukan sosok laki-laki yang selama ini ia cintai. Dia adalah..

“Monster!”

Bukannya terhina dengan makian Amelia yang menyebutnya monster— kalimat itu justru membuat Damian terbahak, “monster inilah yang kamu cintai, Sayang.” Ujar Damian sembari membelai rambut panjang Amelia.

“Masuklah atau kamu ingin melihat salah satu diantara mereka mati karena lalai menjaga kamu, Sayang.” Suara indah yang biasanya membius Amelia itu kini berubah bak suara malaikat yang ingin mencabut nyawa setiap orang.

Benar-benar mengerikan.

“Mari Nyonya, ikut kami.” Amelia mengikuti langkah para pelayan yang tadinya berjalan dibelakang Damian. Dengan seluruh tubuh yang masih bergetar, Amelia memaksakan kakinya untuk masuk ke dalam penjara yang Damian buat untuk dirinya.

*

Amelia memalingkah wajahnya kala melihat Damian keluar dari bilik kamar mandi. Laki-laki itu sama sekali tak merasa risih keluar hanya dengan berbalutkan selembar handuk yang membungkus bagian bawah tubuhnya. Meski mereka saudara, tak pernah sekali pun Amelia melihat tubuh setengah telanjang sang kakak. Kecuali beberapa hari lalu disaat sang kakak merenggut semua hal darinya.

“Terbiasalah,” hanya satu kata itu yang Damian ucapkan sebelum tangan kekar laki-laki itu membuka satu-satunya kain penutup di tubuhnya, membuat dirinya sendiri telanjang di depan sang adik.

“Lihat Kakak Amel.” Amelia memejamkan matanya saat merasakan ranjang yang ia tempati bergerak.

“Untuk apa kamu menutup mata kamu, Amel? Bukankah kemarin kamu sudah melihatnya? Merasakannya juga bukan?”

Amelia buru-buru menarik tangan kanannya yang Damian letakkan di atas milik laki-laki itu. Ia risih dengan apa yang kakaknya lakukan. Hal itu tentu saja membuat seringaian diwajah Damian kembali terbit.

“Kakak merindukan kamu, Sayang.”

Tubuh Amelia bergidik saat Damian memeluk tubuhnya. Demi Tuhan, ia ingin berteriak saat tubuh telanjang kakaknya itu menempel pada tubuhnya, meski ia masih dengan pakaiannya yang utuh.

“Kamu tahu Sayang. Sedetik berpisah dengan kamu bagaikan seribu tahun. Kakak merindukkan berada di dalam milikmu yang sempit, Amel.”

Mual.. Begitulah respon tubuh yang ia tunjukkan. Seribu tahun? Bukankah selama tiga tahun mereka tidak bertemu? Bahkan bukan hanya tidak bertemu, lebih tepatnya kakaknya selalu menghindar kala orang tua mereka membuat pertemuan keluarga.

“Kakak ingin berada di dalam kamu, Sayang,” bisik Damian sensual ditelinga Amelia. Air mata Amelia turun. Ia tidak menginginkan semua ini. Tidak! Kewarasannya masih berada di jalur yang semestinya.

“Katakan jika kamu menginginkan kakak, Amel.” Pinta Damian dengan suara paraunya yang jelas dijawab gelengan kepala dari Amelia.

“Amel..” Lirih Damian.

“Nggak.. Amel nggak mau. Lepas Kak.” Tolak Amelia membuat rahang Damian mengeras. Kedua mata Damian menunjukkan kemarahan karena terus saja ditolak oleh wanita yang ia cintai.

“Baiklah, sepertinya kakak harus kembali memaksa kamu sampai kamu terbiasa dengan semua ini, Sayang.” Damian kembali berbisik dengan dengan seringai tajamnya. Ia tidak main-main dengan ucapannya. Laki-laki itu berharap apa yang ia lakukan dapat membuahkan hasil seperti yang ia harapkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel