Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Aku berganti pakaian kakak.

Mulai saat ini, namaku Benita. Jovita berubah menjadi Benita.

Saat kembali masuk sekolah, kebetulan ada jam olahraga.

Guru olahraga mengumumkan bahwa hari ini kegiatan bebas, kelompok penindas yang dipimpin oleh Ratri mengepungku.

Hanya saja, hari ini Ratri tidak ada di antara mereka. Yang memimpin tindakan ini adalah anjing peliharaan Ratri yang paling setia, Meisie Anadra.

Dalam video yang memaksa kakak, dia tertawa paling keras dan menjambak rambut kakak dan membenturkannya ke dinding.

Aku menatap Meisie dengan sorot dingin, seolah-olah aku sedang melihat sesuatu yang sudah mati.

Meisie sedikit bergidik karena tatapanku, tetapi dia jadi makin sombong dan berkata dengan sinis, "Bukankah ini Benita, yang ditinggalkan sama laki-laki tua dan mencoba bunuh diri? Cepat sekali kamu kembali ke sekolah?"

Tawa mengejek bergema di sekitar mereka.

"Mungkin bunuh diri cuma cara buat merayu laki-laki tua. Dia itu jalang, mana mungkin mau mati begitu saja?"

"Ya, dia sudah mengiris pergelangan tangannya, tapi secepat ini sudah sembuh. Lihatlah tangannya, bahkan tidak ada luka. Siapa yang mau kamu tipu?"

"Dasar perempuan jalang!"

Mendengar kata-kata hinaan dari mereka, aku merasa otakku tiba-tiba meledak.

Aku tidak berani membayangkan penyiksaan tidak manusiawi seperti apa yang diderita kakak setiap hari.

Namun untungnya, hari-hari berat kakak sudah berakhir.

Pintu neraka mereka telah terbuka.

Aku berjalan lurus ke arah Meisie di tengah-tengah tawa dan umpatan dari sekeliling dan melayangkan sebuah tamparan ke wajahnya.

Setengah dari wajah Meisie langsung membengkak. Sebelum dia sempat bereaksi, aku langsung menjambak rambutnya dan menariknya ke belakang. Aku membantingnya ke tanah, lalu menginjak wajahnya dengan kejam menggunakan sepatuku.

"Ada harga yang harus dibayar kalau kamu bicara omong kosong." Aku tersenyum sambil melihat ke sekeliling, ke arah para gadis yang lain.

Mereka sepertinya tidak menyangka bahwa "Benita" akan melawan. Mereka semua terdiam ketakutan.

Meisie menangis dan mengumpat, "Jalang! Beraninya kamu memukulku! Kalau aku mengadu pada Kak Ratri, dia pasti akan membunuhmu!"

Aku tertawa dingin dan menginjak wajahnya lagi, menekannya berulang kali. "Benarkah? Kalau begitu kamu harus berdoa agar kamu masih bisa hidup sampai dia kembali."

Meisie ketakutan dengan kekejaman yang aku tunjukkan, menangis agar aku melepaskannya.

Tentu saja aku tidak akan melepaskannya.

Aku berjongkok, menekan Meisie di tanah. Aku mengambil pasir di sebelah, lalu memasukkannya ke dalam mulut Meisie.

Meisie tidak bisa berbicara dan akhirnya diam.

Namun, siswa lain yang melihat ini menjerit ketakutan. Jeritan mereka langsung menarik perhatian guru.

Melihat keseriusan situasi di sini, guru olahraga menarikku dengan paksa, kemudian membawa kami bertemu wali kelas.

Di kantor guru.

Air mata Meisie yang bercampur pasir menempel di wajah bengkaknya, sudut mulutnya berlumuran darah. Dia terlihat sangat berantakan dan menyedihkan.

Begitu melihat wali kelas, dia berlari ke belakangnya. "Bu, selamatkan aku. Benita gila, dia ingin membunuhku!"

Wali kelas menatapku dengan sorot dingin, lalu berkata dengan marah, "Benita! Apa kamu tahu apa yang kamu lakukan?"

Aku menjawab tanpa ekspresi, "Dia yang memakiku duluan."

"Dia memakimu, jadi kamu bisa memukulnya, begitu? Kenapa mereka memakimu, bukan orang lain? Kamu masih muda, tapi sudah sekejam ini. Pantas saja mereka memakimu...."

Aku menghela napas dengan tidak sabar. Tanpa menunggu wali kelas menyelesaikan perkataannya, aku mengangkat tanganku dan menamparnya.

"Aku memukul Bu Guru juga karena kamu pantas dipukul."

Wali kelas tercengang, menatapku dengan tidak percaya. Kedua matanya memerah karena amarah.

"Benita! Kamu sudah pintar memberontak? Telepon orang tuamu dan minta mereka datang ke sekolah sekarang juga untuk minta maaf kepadaku!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel