Bab 4 Selubung Amarah
Bab 4 Selubung Amarah
Hari sudah berganti malam. Langit kota Bukittinggi diselubungi awan hitam. Guntur bersahut-sahutan, menimbulkan bunyi menggelegar, seperti hati Margo yang bergemuruh oleh amarahnya terhadap Garda.
Di dalam kamar sebuah rumah yang terkesan mewah itu, Margo memandangi pantulan wajahnya di dalam cermin, pikirannya berkecamuk, kemudian pikiran itu berkelana ke masa lalu.
Margo mengingat saat pertama bertemu dengan Garda, hatinya berkecamuk lagi. Hampir sepuluh tahun berlalu sejak saat itu–Margo sedang bekerja paruh waktu di sebuah restoran dan Garda merupakan tamunya. Dan itu adalah hari pertama bagi Margo bekerja di restoran tersebut.
Kini tanpa sadar Margo mengikik geli, dia bahkan tidak pernah menyangka kalau orang yang menabraknya saat itu, kini telah menjadi suaminya.
Dahulu Garda memang merantau ke Jogja demi menghindari perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya, dan saat kabur itulah dia bertemu dengan Margo. Berkat keagungan Dewi Amor yang bergabung dengan Dewi Fortuna, benih-benih cinta mulai tumbuh. Singkatnya, mereka berdua menikah dalam perkenalan yang relatif singkat, yaitu hanya tiga bulan setelah peristiwa Garda menabrak Margo yang mengangkat tray dari pesanan pelanggan.
Di kota pendidikan tersebut, terdapat kebetulan apik, yaitu saat Margo diajak duduk oleh temannya yang bernama Andika. Garda dan Andika adalah teman satu komunitas, sehingga dia dengan Garda dapat ngobrol sangat hangat dan Margo hanya menjadi pendengar saja.
Margo tanpa sadar hanya mengamati lelaki pemilik alis tebal dan bulu mata yang panjang nan lentik itu, ajaibnya, seakan tahu tengah diperhatikan oleh Margo, pemilik mata legam itu memandang balik, sehingga Margo dan Garda mau tidak mau mereka bersirobok, saling menatap dalam diam, pandangan keduanya beradu, dan terkunci dalam kebisuan yang sensual, seakan semua yang ada di situ lenyap dan hanya menyisakan Margo dan Garda saja.
Pemandangan indah sepasang anak manusia, mata yang beriris hitam itu memandangi lawannya dengan intens, membuat seluruh tubuh Margo terasa kaku, hatinya berdesir, dan jantungnya berdetak seperti genderang mau perang. Seakan terbius oleh pandangan Garda yang tiba-tiba, Margo merasa hampir lupa daratan, bahkan dia sendiri tidak yakin akan apa yang tengah dirasakannya. Sampai suatu saat, Margo mengakui kalau hal tersebut adalah cinta pada pandangan pertama.
Menurut pandangan Margo saat itu, Garda terlihat sangat tampan, dengan wajah kharismatik yang membuat hatinya merasa hangat.
Alis tebal Garda yang begitu menawan, bulu mata yang lentik, rambut agak ikal yang tersisir rapi ke belakang. Di mana alis yang memesona bagi Margo itu membingkai mata tajam Garda dengan sangat pas. Hidung bangir yang terpahat sempurna, dengan tulang pipi tegas dan rahangnya yang kokoh, serta tak lupa bibir tebal yang bagi Margo terkesan sangat seksi ....
Bagi Margo, bibir Garda adalah bibir paling menarik. Warnanya merah kecoklatan dan alangkah liarnya, ketika Margo tanpa berpikir, membayangkan bibir Garda itu mampu menelusuri bibirnya, juga semua miliknya, tubuhnya mungkin? Margo menggeleng cepat dengan rona wajah yang terlihat malu-malu.
Tanpa diduga siapa pun, Margo lalu menyesap lemon tea milik Andika. Gadis berambut pirang itu seolah-olah lupa kalau dirinya sedang bekerja, padahal di pangkuannya terdapat tray kosong. Andika sampai melotot akan tingkah Margo itu dan tanpa ingin membuat Margo merasa canggung, Andika pun tertawa dan berkata, "Kami sangat karib, sering minum dalam gelas yang sama!" seru Andika yang membuat Margo sadar akan tingkah konyolnya. Dia pun akhirnya memutuskan pergi dari meja bernomor seratus empat puluh sembilan itu.
Sejak pertama kali bertemu Garda, Margo sering membayangkan betapa indahnya menjadi pengantin wanita lelaki tampan tersebut, tapi Margo bahkan tidak pernah membayangkan kalau jalannya akan secepat itu. Dia dan Garda belum lama saling mengenal, namun berkat Garda yang memang berani dan terus mendesak Andika untuk menjodohkannya dengan Margo, semua terasa begitu mudah. Belum mengenal lebih lama–lebih baik–dan Garda menjadikan Margo sebagai istrinya dengan sangat profesional.
Alih-alih takut menghadapi keluarga Margo yang sebenarnya kurang setuju dengan keputusan Margo menjadi mualaf, Garda datang dengan penawaran sempurna. Menjadikan Margo istri dan semua itu adalah suratan Yang Di Atas.
"Maaf ... Bapak, Ibu! Saya sebagai lelaki dewasa yang merdeka dan melihat dik Margo yang juga seorang mualaf, saya berniat memperistrinya. Saya mohon tolong izinkan kami berdua membina rumah tangga, kami saling mencintai. Meski baru kenal tiga bulan dengan dik Margo, tapi naluri saya sangat yakin kalau dia adalah jodoh saya, kami akan menikah sesegera mungkin, tentunya jikalau kalian semua setuju!" ujar Garda tanpa terlihat kecanggungan yang merayapi wajah dan pita suaranya saat menghadapi orang tua Margo, terlebih ayahnya yang merupakan pria berkebangsaan Perancis sebelum menikah dengan ibu Margo.
Setelah memikirkan masak-masak dan berdiskusi dengan Margo dan istrinya, Alexander pun menyetujui permintaan Garda, dengan syarat Garda harus membuat Margo hidup bahagia. Saat itu, dengan sangat yakin, Garda menyanggupi semua persyaratan dari ayah Margo.
Perasaan lega pun menyusup ke dalam hati Margo, dia bahkan berjanji akan menjadi istri yang baik untuk Garda. Margo teringat juga pesan ibunya yang selalu dia pegang, "Margo, sebagai istri kamu jangan pernah melawan suamimu, biarkan dia bermanja padamu, karena dengannya kamu akan menjadi tempat pulang yang paling nyaman, dan dia tidak akan bisa berpaling darimu, bahkan tidak akan pernah terpikir untuk berselingkuh dengan wanita mana pun!"
Mengingati pesan Rindi alias Ibu Margo, Margo mendesah. Pikiran yang berkecamuk begitu membuatnya sangat ingin meluapkan emosinya. Biasanya saat begini, dia akan menenteng tas ransel besar, juga memasukkan kamera kesayangannya, yang akan berguna untuk sekadar memotret panorama alam. Hobi itu bagi Margo mampu membuatnya menjadi lebih hidup lagi. Ya, Margo bukanlah gadis kebanyakan, dia lebih terlihat seperti seorang gadis yang suka berpetualang atau mungkin orang menyebutnya independen.
"Ah, apa kamu menyesal menjadi istri Garda, hah?" tanya Margo kepada pantulan tubuhnya di dalam cermin.
Seketika lamunannya membuyar, saat pintu kamar terbuka. Derit pintu itu juga membuyarkan pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam kepala Margo.
Margo yang tengah duduk di depan cermin hias dalam balutan piyama sutra berwarna kemasan bermotif bintang-bintang di sana, tidak menoleh ke arah pintu namun, hanya melirik dari cermin, tentang siapa yang datang.
"Bukankah seharusnya istriku memakai baju yang membuatku bersemangat?" ujar Garda yang tiba-tiba sudah berada di bahu kanan Margo, setelah meletakkan rambut Marco yang terurai ke belakang punggung.
Dalam posisi masih bertumpu pada bahu Margo, Garda kembali berucap, "Apa kamu berniat agar suamimu ini bekerja keras membuka kancing demi kancing piyama panjangmu itu, Sayang?"
Hingga bukan main betapa kesalnya hati Margo, dia sampai membuka mulutnya karena menahan gemuruh dalam dadanya. Seketika hati kecilnya pun berkata, "Apa suamiku itu memang sangat bodoh? Dia tidak tahu aku marah?" kata Margo dalam hati, dan yang pasti Garda tidak dapat mendengarnya.
Namun Garda dapat melihat sorot mata kesal itu, mata hazel Margo yang nampak sayu, terlihat jelas dalam pantulan cermin. Margo tetap bergeming, tidak menjawab sepatah kata pun untuk membalas perkataan Garda. Giginya mengertak kesal, meski sebenarnya Margo sendiri tidak dapat memungkiri hasratnya, tersebab hidungnya yang mancung bin bangir itu telah mampu menghidu aroma parfum maskulin yang dia sangat yakin wanginya berasal dari tubuh Garda, akibat posisi suaminya membungkuk dan bertumpu pada bahu kanannya itu.
Sekali lagi, tak dapat dipungkiri oleh Margo, debaran halus dalam dadanya yang terasa menggelitik. Margo tengah gusar akan hasratnya sendiri dan tanpa sadar, dia telah menggigit bibir juga mengepalkan tangan kurusnya.
Sebenarnya, tidak hanya Margo yang akan berkata kalau Garda sangat tampan, semua wanita juga bakal mengakui akan ketampanan Garda. Tubuhnya yang tegap, postur tingginya terlihat begitu menjulang, terlebih jika dibandingkan dengan pria pada umumnya. Tangan Garda yang liat dan berotot itu sungguh menghoda, kini saat Margo memandangi pantulan tubuh Garda dia sudah menelan salivanya sendiri. Benar saja hanya dengan melihat bayangan suaminya, hasrat Margo kian menggelayar, meski berulang kali Margo meyakinkan dirinya agar tidak perlu untuk tertarik pada Garda malam ini–mengingat apa yang telah dilakukan Garda, yaitu berbohong kepadanya. Hal itu membuat Margo mendesah lagi.
"Tadinya aku berharap akan Menemukanmu dengan gaun tidur yang seksi, Sayang! Tapi tidak apa-apa, aku akan membantumu melepasnya. Hmm piyama bintang, ah ... bintang, kamu selalu menyukai sesuatu yang berbentuk bintang." Saat selesai mengucapkan pernyataan itu, Garda lalu menjilat bagian sensitif Margo, kulit di belakang telinga tanpa permisi.