Bab 2 Awal Kebohongan
Bab 2 Awal Kebohongan
Margo berusaha untuk memercayai ucapan suaminya itu. Namun, pemandangan yang tadi dilihatnya, membuatnya urung. “Tadi, aku melihat Ibu keluar dari pekarangan rumah kita.”
Margo mendesah, dia hampir tidak meyakini akan apa yang dikatakan oleh suaminya, padahal jelas-jelas tadi perempuan bersurai pirang itu melihat kelebatan sang Ibu alias Lasmini berjalan dari arah rumahnya.
Margo merasa jengkel, dia membuka mulutnya dan berpaling sejenak, napasnya berderu begitu cepat dengan kedua tangan mengurut pelipis, tanpa diduga siapa pun Margo kemudian berkacak pinggang akibat merasa jengah akan situasi sedemikian itu.
Bagi Margo, dirinya bukanlah wanita yang suka dibohongi, karena dia pernah berkali-kali meyakinkan kepada dirinya sendiri akan hal tersebut. Sejurus kemudian dia berbalik menghadap kepada Garda dengan posisi masih berkacak pinggang.
Margo menatap dalam kepada mata Garda, kemudian napasnya mulai melembut. Margo memegang kedua rahang tegas Garda, membingkainya untuk memaksa suaminya itu agar melihat ke dalam matanya. Seolah-olah Margo tengah mencari sesuatu, yaitu mencari kejujuran di sana.
"Apa kamu yakin tentang yang kamu katakan, Garda?" tanya Margo hati-hati. Dia tidak mau membakar kepercayaannya terhadap suami yang telah sembilan tahun membersamainya mengarungi bahtera rumah tangga kepada itu.
Margo sangat sadar, kalau pernikahan adalah hubungan jangka panjang, yang dia pupuk begitu sulit atau merasa sakit ketika mengabaikan rasa itu–paling tidak dia tidak ingin merasa baik-baik saja ketika mendapatkan sebuah kebohongan.
"Sayang aku mencintaimu!" ujar Garda lemah. Pupil matanya menciut dia seolah-olah telah kehilangan nyali untuk menghadapi istrinya. Margo tahu akan hal itu, dia tersenyum miring tipis sekali, kemudian melumat bibir Garda dengan sangat brutal.
Seketika jantung Garda berdentum kuat. Garda tidak bisa mengabaikan kebohongannya, namun dia juga tidak tega karena cinta terhadap Margo begitu besarnya, pun tak ingin menolak perkataan ibunya.
Setelah sesi pergumulan bibir itu selesai, Margo lalu mengusap bibir Garda yang tebal menggunakan ibu jarinya dengan penuh rasa sayang, mengabaikan bibirnya sendiri yang masih bergetar.
"Kamu adalah suamiku!" kata Margo dengan mata yang nanar dan bahkan terlihat hampir menangis.
Seperti mendapat setruman aliran listrik, Garda mampu merasakan kepekaan–mengetahui itu. Garda lalu memeluk Margo dengan sangat erat.
"Kamu adalah istriku!" balas Garda. Mereka berdua seakan-akan sedang melakukan pengukuhan akan statusnya.
Dengan sangat sayang Garda mengusap-usap punggung Margo dan mengeratkan tubuh ramping itu pada pelukannya. Seperti tak ada selisih tinggi pada kedua anak manusia tersebut, meski tinggi mereka sebenarnya hanya selisih 10 cm, tapi orang-orang akan mengira bahwa mereka memiliki tinggi yang sama. Garda dengan tingginya 185 cm dan Margo 175 cm, terhitung sangat tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia.
Margo melepas pelukannya, dia melihat-lihat keadaan sekitar dengan tatapan syok.
"Garda, apa kamu yang menyelesaikan semua tugas rumah ini?" tanya Margo menghadap pada suaminya itu sambil geleng-geleng kepala.
"Hmmm, aku sedang libur. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa membiarkan istriku kecapaian mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendirian?" akunya dengan mengubah ekspresi wajahnya menjadi imut sekali, tak lupa Garda mengedipkan-ngedipkan matanya yang beriris hitam bening itu.
"Jadi, bagaimana aku harus berterima kasih padamu, suamiku?" tanya Margo dengan nada manjanya.
Tanpa menunggu apapun, Garda mendekat dan memeluk Margo dengan meletakkan wajah Margo pada ketiaknya.
"Mungkin kamu bisa memberiku sentuhan yang hangat!" cibirnya.
Margo mendorong tubuh kekar Garda dengan sangat brutal dan tiba-tiba.
"Ini masih siang, jangan aneh-aneh!" tukas Margo mencebik.
"Ih, siapa bilang itu aneh-aneh? Aku bahkan tak pernah bosan padamu!" ujar Garda merayu.
"Arghh, gombal kamu, Garda!" olok Margo dengan tersenyum miring.
"Heh?" Garda menaikkan kedua alisnya.
"Kamu tahu kan gombal?" tanya Margo yang lalu membuka lemari pendingin. Tangan kurusnya mengambil satu wadah beling yang di dalamnya terdapat irisan buah lemon, orang-orang menyebutnya dengan infus water. Margo lalu menenggaknya dengan sangat rakus.
Garda memerhatikan istrinya dengan sangat serius, pergerakan aliran air itu. Panorama indah baginya, hingga leher jenjang Margo yang bergerak naik turun akibat aktivitas minum tersebut. Tanpa sadar Garda menelan salivanya sendiri!
Margo bersikap cuek, seolah-olah tak mendapat perhatian dari Garda. Margo lalu meletakkan tabung kaca itu kembali ke dalam lemari pendingin. Kini dengan santainya, dia membongkar kantung-kantung belanjaannya.
"Garda, apa kamu mau membantuku?" tanya Margo tanpa melihat pada sosok Garda yang telah meletakkan wajahnya bertumpu pada tangan kanan dan duduk di atas kursi dapur sambil terus memerhatikan istrinya.
"Ya," jawab Garda memelorotkan diri dari kursi untuk membantu Margo mengeluarkan isi dari kantong belanjaan.
Hening.
"Garda, kamu yakin Ibu tadi tidak ke sini?" tanya Margo tiba-tiba memecahkan keheningan di antara mereka.
"Hmmm, harus aku meyakinkan berapa kali, Sayangku? Oh, istriku sayang!" jawab Garda lalu membelai lembut lengan Margo dengan jantung Garda berdetak keras. Garda tidak pandai berbohong, melihat itu, Margo tergelak, kemudian menggeleng dan memandang suaminya dengan pandangan menuduh.
"Sekali lagi aku tanya. Apa kamu yakin Garda kalau Ibu tadi tidak ke sini?" ulang Margo seakan tidak mau mempercayai ucapan Garda.
Garda menunduk, menekuri beberapa benda yang dia pegang. Sebotol cuka berwadah plastik. Batinnya resah sekaligus gelisah, ekspresinya seperti maling yang tertangkap basah.
"Sungguh, Garda? Jujurlah untuk kali ini!" cecar Margo tak mau menyerah.
"Ayolah, Margo ... aku tidak berbohong!" sahut Garda. Garda merentangkan kedua tangannya ke depan, bersikap pasrah dengan apa yang dikatakannya.
"Sebenarnya, Ibu tidak sedang ke sini. Hmmm, kalau begitu untuk apa Ibu ke sini?" tawar Garda.
"Ya, kamu kan anaknya, barangkali ibu kangen padamu?" cibir Margo.
"Kalau Ibu ke sini pastilah dia kangen padamu, kalau aku kan sudah banyak kali bertemu dengan ibu, mana mungkin dia kangen padaku?" elak Garda.
"Cccck, mana mungkin Ibu kangen padaku? Selama ini yang kutahu, Ibu bahkan tidak menyukaiku," balas Margo lemah.
Garda dengan cepat mengeluarkan semua isi belanjaan dalam kantung berwarna putih itu. Sebungkus wortel, kentang, mayonnaise, kacang polong, buncis, kecap, tomat timun, telor, botol-botol kecil yang berisi bubuk cengkeh, pala, kayu manis, sebotol sedang air asam jawa, beberapa lembar daging sapi has, juga bubuk merica. "Apa ada yang kurang?" cetus Garda tiba-tiba.
"Menurutmu apa?" tanya Margo ketus. Dia tahu, jika suaminya itu tengah mengalihkan bahan pembicaraan.
"Ah, aku lupa!" jawab Garda mengusap kasar wajahnya.
"Termasuk lupa, kalau tadi kamu baru saja membohongiku?" sungut Margo memasukkan semuanya ke dalam lemari pendingin.
Garda memegang tangan Margo, memandang ke dalam mata hazel milik Margo.
"Apa maumu?" sergah Margo tak suka.
"Kamu ingin tahu yang sebenarnya?" tanya Garda hati-hati.
Membeliak mata Margo. Dia mulai menajamkan pendengarannya. Matanya berkeliaran membaca gestur tubuh Garda.
"Kamu adalah istriku!" kelakar Garda sangat garing bagi Margo, Margo lalu menghempaskan tangan liat Garda dari mencengkram tangannya.
"Hati-hati banyak setan mengambil alih hati manusia!" cibir Margo menutup pintu lemari pendingin setelah semua sayuran masuk ke dalamnya.
"Eh, kamu jangan menakutiku, Margo!" ucap Garda pura-pura panik. Dia menelengkan kepalanya pada Margo.
"Jangan mendekat kalau hanya untuk berbohong!" kata Margo hendak mengayunkan kaki pergi dari dapur.
Garda cengengesan dan mulai mengikik geli.
"Heh, aku bercanda, Margo!" sergah Garda makin gusar, satu tangannya memencet hidung, sementara tangan yang lain digunakan untuk mengibaskan udara di depan hidungnya.
"Ini bau apa, ya?" tanya Margo khawatir.
"Sudah, ayo tebak bau apa ini?" pinta Garda pada Margo yang menggerak-gerakkan hidungnya.
Garda semakin tertawa.
"Astaga kamu kentut, Garda!" Margo menimpuk Garda dengan sebuah solet atau sendok untuk meniriskan hasil ulegan dari cobek.
Garda meringis menerima pukulan tiba-tiba dari Margo yang nampak sangat lihai itu.
"Baunya seperti telor busuk! Kurang ajar kamu, Garda!" cibir Margo.
"Hehehe, bukan telor busuk, itu cuma kentut!" balas Garda mengerling, seolah-olah tanpa dosa.
"Sialan, sudah tahu ada orang malah kamu kentut di sini!" balas Margo sengit, dia meremas daun jeruk dan menempelkannya pada hidungnya yang bangir.
"Kan kalau tidak bisa kentut harus masuk rumah sakit, Sayang!"
"Wah, kamu sungguh terlalu, setelah sebuah kebohongan kamu memberiku telor busuk!"
"Kentut tidak ada suaranya kok jadi sebau ini ya, Margo?" kilah Garda.
"Seperti sebuah kebohongan yang diucapkan untuk alasan yang entah, bau!" cibir Margo datar, kaki jenjangnya melangkah pergi dari dapur bermeja marmer hitam itu.