6. Adik Maduku Telepon
"Baik, aku turuti permintaanmu. Aku mohon jangan marah lagi, Sayang," Aku hanya terdiam tak punya niat menjawab permohonan Bang Akram.
"Sayang, pulang yuk!" ajak Bang Akram sambil duduk disamping ku. Hilda sudah bermain bersama Bapak dan Ibu di ruang depan.
"Aku masih pengin disini dulu, Bang. Boleh ya?" pintaku aku belum sanggup menanggung kesedihan sendiri. Di rumah mertua ada Ibu yang bisa menghibur.
"Sayang, aku mau bicara yang lebih leluasa. Mengertilah! Kita butuh becara yang hanya berdua," Bang Akram memohon.
"Apakah aku yang harus selalu mengerti, Bang? Tolong kasih waktu aku untuk menata hati ini. Kasih waktu 2 hari saja untuk menerima keputusan Abang, kali ini saja, Bang. Abang yang harus mengerti dengan kondisiku," ucapku memelas dan menohok.
"Baiklah, tapi besok kita pulang ya?" ucap Bang Akram lembut. Aku mengangguk, sebagai tanda setuju.
"Abang, bermainlah dulu sama anak-anak. Mereka sangat haus kebersamaan dengan Ayahnya!" perintahku.
"Baiklah, kamu segera menyusul ya, Abang bicaranya nanti malam saja. Jangan melamun sendirian di sini," ucap Bang Akram sambil mengelus pucuk jilbabku.
"Nggak lah, Bang. Aku masih punya Allah, yang membuat aku masih berdiri kokoh, dan lukaku akan segera sembuh karena kebohongan yang Abang lakukan," ucapku sambil tertawa sumbang.
"Maaf, ...."
"Hallo, anak-anak Ayah, kalian sudah siap bermain, mana bolanya? Yuk, kita ke halaman depan!" teriak Bang Akram yang baru keluar dari ruang keluarga. Aku mengekor di belakangnya.
"Siap Ayah, let's go!" sambut Daffa.
"Tungguin Kakak, Dek!" teriak Syifa.
"Buruan, Kak. Ayah biar Daffa sendiri terima operan bola Ayah dan Kakak. Kakak satu tim bareng Ayah ya!"
"Siap, Dek. Tendang bolanya ke kami!" ucap Bang Akram.
"Ayah, Kakak tangkap bolanya!" ucap Daffa.
"Melesetnya ke Hilda, Dek. Ini tangkap!" teriak Kakeknya yang berhasil menangkap bola yang nyasar ke arahnya.
"Kakek, luar biasa! Tepat sasaran," Daffa menangkap bola lemparan dari kakek. Hilda bertepuk tangan dengan riang.
"Kak, ini terima!"
"Dek, lemparnya yang benar. Meleset kan?"
"Tenang, Kak. Giliran kita balas kekalahan Daffa," ucap Akram semangat.
Fitri ikut ke teras menyaksikan suami dan anak-anaknya bermain di halaman, Hilda sedang bersama Bapak dan Ibu juga ikut menyaksikan keseruan kakak-kakaknya.
Andai Abang tak membuat hatiku terluka, tentu saat ini aku menjadi wanita paling bahagia. Dengan melihat anak-anak bahagia sudah lebih dari cukup untuk ukuran kebahagiaan saat ini. Padahal jelas-jelas Allah melarang kita untuk berandai-andai, karena hasilnya pasti mengecewakan.
Bunyi dering datang datang dari ponsel Bang Akram. Awal aku mengabaikannya, akan tetapi terus berdering sehingga aku memberanikan diri melihatnya.
"Bang, Handphone Abang bunyi. Ada yang memanggil!" teriakku setelah melihat handphone yang di meja teras bunyi berulang. Tertulis nama Indah, hatiku berdebar kencang.
"Tolong jawab saja sama kamu, Sayang!"
"Beneran, Bang. Boleh! Tapi ini dari ...,"
"Iya, tidak apa, angkat saja. Kasihan anak-anak baru mulai main," ucap Akram dengan lantang.
Aku mengangkat dengan hati yang berdebar kencang, bismillah berilah kekuatan.
"Assalamualaikum," terdengar suara merdu dari sebrang suaranya persis seperti kemari malam saat Hilda menangis kencang.
"Wa'alaikumussallam, salam kenal saya Fitri," aku beranikan diri untuk memperkenalkan diri.
"Saya Indah Mbak, sudah ku tebak nggak diangkat pasti lagi sama istri pertamanya," ucap Indah.
Aku sengaja tidak terpancing dengan ucapannya. Aku masih diam, kelihatannya sangat menggebu ingin bicara.
"Kelihatannya bahagia sekali ya Mas Akram, tawanya terdengar sangat jelas bersama anak-anak."
"Tapi kok bisa menikah lagi ya mbak, apa yang kurang dari Mbak Fitri?" ucapnya terdengar sangat pedas. Kok bisa ya, Bang Akram menikahi wanita seperti ini, batinku.
"Apa kabarmu Indah, selamat ya. Kamu jadi adik maduku sekarang, kapan-kapan semoga kita bisa bertemu," ucapku menahan kesal.
"Bagaimana bisa ketemu, Mbak. Kalau sama mertua saja aku tidak kenal," ucapnya sewot.
"Itu urusanmu sama suami kamu. Nanti pastinya akan di kenalkan sama suamimu," ucap ku.
"Mbak, kenapa suamiku baru satu hari di sini, sudah main disuruh pulang mbak? Itu nggak adil, aku telpon mau protes sama Mas Akram. Mas Akram mana? Aku mau bicara!" ucap Indah seolah memerintah.
"Pak Akram sedang bermain dengan anak-anak di halaman depan," jawabku santai.
"Kenapa kamu lancang mengangkat telepon Mas Akram? Tidak sopan, apalagi ini telepon dariku."
"Adik maduku, yang menyuruh terima telpon itu suamimu. Aku sudah mengatakan kalau kamu yang telpon. Dan beliau yang memaksaku jadi, aku hanya berusaha taat, menjalankan perintah suami. Nanti kalau sudah selesai bermain sama anak-anak jelas telpon balik. Nggak mungkin mengabaikan istri baru kan?"
"Mbak, jangan mancing-mancing emosiku,"
"Siapa yang mancing, Dek. Mending mancing gurameh bisa di masak. Justru aku hanya meladeni kamu, yang dari awal merasa tidak suka denganku, menyudutkan ku dengan bilang kenapa bisa nikah lagi. Berdamai dengan keadaan, kenyataannya kita harus berbagi suami, kamu jelas tahu kan sebelum menikah kalau Pak Akram sudah beristri dan punya anak. Dan kamu menyetujui, itu artinya mau tidak mau kita harus berdamai dengan keadaan, kita harus menjadi partner yang baik kedepannya. Jangan sampai timbul kecurigaan satu sama lain. Aku mau kita berteman, Dek," aku menjelaskan sebuah kenyataan.
"Maaf, Mbak. Aku terlalu emosi karena Mas Akram di sini hanya sehari, sudah dipaksa pulang!"
"Maaf ya, Dek. Kalau suamimu seperti itu. Karena kondisi Hilda, Bapak jadi memaksa untuk pulang. Bukan aku yang telepon,"
"Ya sudah, Mbak. Aku tutup dulu, assalamualaikum," Indah mengakhiri panggilannya.
"Wa'alaikumussallam," tersenyum lega. Ternyata setelah bicara perasaan lebih plong. InsyaAllah aku bisa menjadi partner yang baik untuk berjuang bersama meraih surga Firdaus.
Bapak dan Ibu ternyata memperhatikan sejak tadi, tergambar wajah penasarannya. Ibu mendekat ikut duduk di sampingku.
"Sayang, istri baru Akram?" tanya Ibu.
"Iya, Bu," ucapku.
"MasyaAllah, jika selalu melibatkan Allah hasilnya jadi seperti ini, kamu luar biasa, Nak. Sudah tidak begitu terpuruk, bisa dilihat dari raut wajahmu. Ibu bangga sama kamu, semangat Sayang," ucap ibu tulus.
"Ibu, bisa saja. Allah sudah memberi obat bagi lukaku, Bu. Sikap bapak dan ibu sudah menjadi obat lukaku. Tak ada alasan lagi buat aku bersedih. Hanya saja untuk bicara sama Bang Akram seperti sebelumnya masih belum bisa seperti seperti dulu. Bukan karena maduku, tapi karena Bang Akram sudah membohongiku terlalu lama. Apakah Ibu mendukungku?"
Jawaban seperti apa yang aku minta dari mertuaku? Beliau itu Ibu dari suami, bukan ibuku. Jangan bermimpi akan mendapat pembelaan yang sesungguhnya Fitri. Mereka tetap orang tua kandung suamimu, tentu prioritasnya adalah kebahagiaan anaknya, bukan menantunya.