bab 2
Aure mengendarai mobil dengan pelan, dia berhenti di sampaing gerbang tinggi yang bertuliskan *Pesantren Darussalam*. Mengambil ponselnya dan segera menelfon Ranisya.
“Assalamualaikum Re,” sapa Ranisya ditelfon.
“Waalaikumsalam, aku ada di luar gerbang. Kamu sama Fano kesini ya. Aku nggak bisa masuk, takut pakde Fata liat, nanti khawatir.”
“Oh, ok kita kesana. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Kembali senyum mengembang disudut bibirnya. Setelah pertemuannya dengan Evan, ada rasa bahagia yang muncul dari dalam hati. Kembali teringat senyum Evan untuk pertama kali padanya.
“Ini kartu namaku, hubungi aku saat mobilmu sudah ada di bengkel.” Kata-kata Evan yang masih terngiang dikepalanya.
Dia pandangi kartu nama itu berkali-kali, kemudian menyelipkan didalam dompet, diantara kartu debit dari ayahnya.
Tuk tuk tuk
Kaca mobil diketuk dari luar. Segera Aure membuka kunci pintu mobil. Ranisya langsung duduk di belakang, Aure geser kesamping dan Fano duduk di kemudi depan.
Pandangan Fano langsung tertuju ke Aure. “Kamu nggak luka kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Enggak kok. Cuma mobilnya aja yang rusak.” Jawab Aure meyakinkan.
“Kok kamu bisa nabrak depan sih Re?” sahut Ranisya.
“Tadi kusyuk ngobrol sama kalian, makanya lupa jarak sama depan.” Aure tersenyum lebar, bahkan wajahnya tak terlihat habis kena musibah.
“Aneh ya, abis nabrak jadi sinting. Senyam senyum nggak karuan.” Fano geleng-geleng dan mulai menyalakan mesin mobil.
“Kamu nanti balik jam berapa Fa?” tanya Ranisya.
“Jam 2 sih, jemput ya Re.” Dia natap Aure.
“Nggak bisa Fa. Aku mau masukin mobil ke bengkel sepulang kuliah nanti. Jangan sampai pulang dalam kondisi buruk rupa gini. Bahaya kalo sampai ayah liat.” Memang sih Ayahnya nggak akan memarahi, tapi dia takut nggak dibolehin bawa mobil setelahnya.
“Eemm....ya udah deh, aku nanti naik taxi aja.”
Beberapa menit kemudian, Fano menghentikan mobil didepan fakultasnya, jurusan bisnis. Dia natap Aure, “makasih ya.” Aure hanya senyum dan ngangguk. Fano keluar dan Ranisya pindah kedepan.
Aure kembali menjalankan mobilnya menuju ke fakultas jurusannya.
“Sya, mbak Bella katanya udah diterima kerja ya?”
“Iya, dia kerja dipabrik, di bagian kantornya. Tapi kurang tau sih bagian apa.” Ranisya sibuk merapikan lipstiknya.
“Pabrik apa?”
“Pabrik mabel kaya’nya. Aku nggak begitu faham sih.”
Aure hanya ngangguk paham, dia memarkirkan mobil disamping gedung fakultasnya. Segera keduanya turun dan masuk kedalam kelas. Seperti biasa, Aure paling senang duduk di pojok depan pas didepan meja dosen.
Baru aja pantat ditaruh kursi, Zefan, teman sejak SMA sudah duduk disebelahnya.
Zefan cowok tampan disatu fakultas IT, orangtuanya mempunyai perusahaan yang kesuksesannya hampir sama kaya’ punya Paulan Group. Bahkan dia jadi ketua gangster di salah satu komunitasnya.
“Tumben baru datang Re,” sapanya sambil naruh tas di bawah meja.
Aure tak menanggapi, dia diam dan langsung ngambil laptop. Penanya jatuh kelantai kegeser laptop. Dengan cepat Zefan mengambil pena itu dan menaruh didepan laptopnya.
Aure menatap Zefan dengan malas. “Balikin.” Ucapnya sewot.
Zefan tersenyum menggoda kearah Aure. “Kasih senyum dulu dong Re. Lo tuh cantik tauk.”
Aure yang udah biasa digombalin Zefan beneran udah nggak mempan. Dia langsung berdiri dan ngambil penanya sendiri.
“Kamu ngapain sih selalu duduk disampingku.” Tanyanya ketus.
“Lo belum tau ya kalo kita itu udah mirip bunga dan kumbangnya. Jadi si kumbang ini nggak mungkin bisa jauh dari bunga.”
“Iisshh mulai ngegombal. Bener kamu itu kumbang koksi.” Sahut Aure sambil tertawa kecil mengingat kumbang koksi hewan yang paling dia benci.
Zefan malah tersenyum bahagia melihat tawa nyaring Aure.
Bahkan mereka nggak menyadari Ranisya yang sedari tadi terlihat ndongkol menahan sesuatu. Sejak masuk ke fakultas dan mengenal Zefan, dia sudah mengagumi pria ketua geng itu. Pesonanya yang memang tampan, mampu membuat dunianya beralih. Namun sedari dulu dia tidak berani berdekatan atau hanya sekedar menyapa saja.
“Pagi semua,” pak Bram, dosen yang mengisi hari ini sudah masuk kekelas.
“pagi pak,” jawab anak-anak dengan kompak.
“Kita akan mempelajari tentang kode pergerakan di animasi dan cara menyempurnakan senyuman dianimasinya. Kalian harus bekerja kelompok untuk menyelesaikan 1 web animasi berisi promosi produk. Kelompoknya dua-dua ya. Bebas kalian milih sendiri. Cowok, cewek.”
“saya sama Kaureen pak.” Kata Zefan dengan berteriak.
Tanpa menatap Aure, pak Bram langsung mengiyakan dan mencatatnya di buku. Aure menghembuskan nafas kesalnya.
“Kamu apaan sih Zef, asal bilang kek gitu nggak minta persetujuan dulu. Nyebelin.” Umpatnya dengan kesal.
Zefan hanya nyengir. “Gue pinter Re, lo nggak bakalan nyesel satu kelompok sama gue.”
“Au ah, sebel.”
~~
Evan memarkirkan mobilnya di parkiran khusus untuk pemimpin. Pt. Santosa Explor, pabrik mabel yang dia dirikan dengan hasil keringatnya sendiri sekarang sudah berkembang pesat. Bahkan omset perbulan sudah bernilai ratusan juta. Tentu itu bukan hal yang mudah, banyak perjuangan didalamnya.
“Pagi pak,” sapa seorang wanita.
Evan menghentikan langkahnya. Dia pandang wanita berhijab yang tadi menyapanya.
“Ini Bella pak, dia yang akan menggantikan saya.” Ayu sekertaris Evan yang sudah 8 tahun bekerja dengannya yang menjelaskan.
Tanpa berkata apapun, Evan kembali melangkahkan kaki masuk keruangannya.
“Huuufftt....” Bella menghembuskan nafas penuh kelegaan. “Tadi itu beneran bos kita mbak?”
“Iya Bel, dia yang namanya pak Evan.” Ayu dan Bella kembali duduk.
“Yakin mbak dia nggak galak kan? Kok nggak ada senyumnya ya.”
“Dia baik Bel, cakep gitu kan.”
“Semoga deh. Mbak Ayu bisa betah sampai 8 tahun, berarti aku juga harus bisa.” Dia menyemangati diri sendiri.
**
Didalam ruangan, Evan sudah ditunggu Aksa. Teman satu team dan saudara sepupuan. Ya, Aksa juga menanamkan saham 20% di perusahaan ini. Jadi dia juga ada hak disini.
“Cih, bacot doang.” Umpat Aksa saat Evan baru saja masuk keruangannya.
Evan hanya mengeryitkan keningnya dan berlalu duduk di kursi kebanggaannya.
“Janjinya jam 8, ini udah jam 9 kurang 10 menit wooii!!” lanjut Aksa.
Evan hanya tersenyum, dia kembali mengingat pertemuannya dengan Aure tadi. Pertemuan untuk yang kedua kali, tapi mampu membuat semangat paginya makin membara.
Ceklek
Pintu ruangannya terbuka. Seorang lelaki yang seusianya muncul dibalik pintu. Dia meletakkan berkas penting didepan Evan.
“Tuh, tandatangani. Dananya cair.” Pandu, tangan kanan Evan dan Aksa, sekaligus asisten pribadinya Evan.
Kembali Evan tersenyum dan meraih berkas penting didepannya. Membacanya sekilas dan segera menyoretkan pena di bagian bawah kertas itu.
“Ni bocah kaya’nya lagi seneng ya Sa,” pandu ngomong sama Aksa.
“Paling tadi nabrak monyet dijalan, atau kambing liar,” sahut Aksa enteng.
“Hahahh.....” Pandu ikutan duduk disofa. “Mentok, dia mah gitu. Udah nggak bakalan kecantol sama wanita.”
“Huumm tul tuh, jomblo sejati.”
“Van, dah liat sekertaris elo yang baru belum?” tanya Pandu.
Evan hanya ngangguk, kembali lagi dia membaca berkas didepannya.
“Cantik ya Ndu, Religi juga. Dia anak pesantren.” Aksa yang nanggapi.
“Iya, senyumnya membangunkanku.” Sahut Pandu.
Aksa nabok bahu Pandu. “Bacot. Apanya yang bangun njjirr!!”
“Mata nyet. Mata yang ngantuk jadi kembali melek kalo liat yang bening kek Bella gitu.”
“Ooo gitu ya,” Aksa merangkul pundak Pandu. “Gue aduin ke Rena lo ya. Dikantor suka lirik-lirik.” Bisiknya tapi mampu didengar Evan.
“Waahh ngajak gelut lo Ka!!” pandu meraih lengan Aksa yang satunya.
“Gue akan pecat siapapun yang punya hubungan sekantor. Karna itu buat mereka baper, nggak bisa kerja profesional.” Sahut Evan menyela obrolan kedua temannya.
“Sadiiss brow,”
“Wuuihh uwwuu.” Sahut Aksa.
“Yang jomblo jadi meronta.”
Evan melempar pena kearah dua pria yang sudah bertahun-tahun bekerja bersamanya.
“Bacot!!”
Dia raih ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja sampingnya. Sebuah pesan wa masuk dari nomor baru.
[Asslamualaikum om]
Seketika kedua sudut bibirnya langsung terangkat. Dengan cepat dia mengetik pesan balasan.
[Waalaikumsalam]
Cuma nulis gitu tangannya udah gemetar. Entah perasaan apa, tapi seketika itu mampu buat debaran di dadanya jadi tak menentu. Bibirnya nggak bisa berhenti untuk tertarik ke atas membentuk senyuman yang susah hilang.
[Apa bisa nanti pas makan siang saya ketemu om di caffe Prisco?]
Apa? Dia ngajakin aku makan siang bareng kan? Batin Evan dengan senyuman yang semakin mengembang. Dia usap wajah dengan telapak tangan secara pelan. Berharap kebahagiaan ini akan berjalan mulus.
“si jones kena santet tuh.” Ucap Pandu yang sedari tadi merhatiin bos nya.
Aksa nonyor kepala Pandu. “Bukan santet bego!! Tapi pelet.”
“Eh, emang beda ya?”
“Dasar o’on!!”
“Gue hari ini ada jadwal keluar nggak?” tanya Evan tanpa menghiraukan perdebatan temannya.
Kedua lelaki hanya mengangkat bahunya tanda tak tau.
“Lo punya sekertariskan, tanya sendiri.” Jawaban yang keluar dari mulut Aksa. Dia beranjak. “Gue balik ke ruangan.”
“Tungguin wooi.” Pandu ngibrit nyusul dibelakangnya.
Evan meraih gagang telfon di meja depan. Memencet tiga digit nomor yang langsung tersambung dengan sekertaris.
“Hallo pak,” suara Ayu disebrang telfon.
“Gue ada jadwal apa hari ini?”
“Nanti jam setengah 1 ada acara makan siang dengan pak Subagyo.” Jawab ayu.
“Suruh Aksa yang datang.”
Tanpa nunggu jawaban dari Ayu, Evan segera menutup telfonnya. Beralih kebenda pipih yang sedari tadi dia pantengin.
[Ok]
Cuma ngetik itu dan langsung dikirim ke nomor Aure. Kembali tersenyum dengan senangnya. Segera dia simpan ponsel itu. Mulai serius bekerja merampungkan semua file dan berkas agar bisa santai saat bertemu Aure nanti.
Tiga jam berlalu, segera dia beranjak. Merapikan semua berkas diatas meja, berjalan keluar ruangan dengan tergesa.
Dia melihat Bella tengah serius dengan kompeter didepannya.
“Hey, mana Ayu?” tanyanya.
Bella menjingkat kaget. “Mbak Ayu ketoilet pak.”
“Bilang, aku pergi.”
“Ii......”
Belum selesai Bella menjawab, Evan sudah ngeloyor pergi meninggalkannya.
“Gila, itu manusia apa zombie sih.” Umpatnya dengan kesal. Kembali dia duduk dikursinya.
“Bel, tadi pak Evan ada ngomong sesuatu?” tanya Ayu yang baru aja datang dari toilet.
“Cuma bilang, kalo pergi.” Jawab Bella dengan mulut mengerucut. “Mbak, itu pak Evan dingin banget sih? Heran deh.”
Ayu tertawa kecil. “Dia emang gitu. Masih jomblo lho. Kamu pepet dia, siapa tau jodoh.”
“iiihh apaan mbak. Keliatan orang doang, tapi nggak keliatan kalo hidup.”
Seketika tawa Ayu nyaring mendengar ucapan Bella.
~~
“Sya, aku siang ini ada acara. Aku duluan ya.” Aure beranjak, mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas. Ranisya hanya tersenyum dengan anggukan.
“Hati-hati Re.”
Aure menoleh dan tersenyum.
Segera Zefan menarik lengan Aure. “Re,”
Aure mengibaskan tangannya. “zef, apaan sih, jangan nyentuh sembarangan deh.”
“sorry, abisnya lo sering nggak dengerin gue ngomong sih.”
Aure menatap Zefan dengan malas. “Mau ngomong apa?”
“Jadi pacar gue ya.” Ucapnya dengan enteng. Bahkan ini permintaan yang dia ucapkan ke beberapa kalinya.
“hahahah...ppfffttt” segera Aure menutup mulut dengan tangannya. “Nggak bosen ya kamu minta ini terus. Aku sampai heran.”
“Sampai kapanpun, gue akan tetap minta elo jadi pendamping hidup.” Ucapnya dengan serius.
Aure memutar bola mata jengah. “What ever Zef, aku ada janji sama orang. Pergi dulu ya, daa....” segera berbalik sambil melambaikan tangannya.
“Re, gue antar ya.” Zefan berjalan mensejajari Aure.
“enggak perlu Zef, aku bawa mobil.”
“Pliiss ya,”
Aure berhenti didekat pintu mobilnya. “Zef, pliiss deh, berhenti ngejar aku. Aku nggak bisa jadi pacar kamu. Orangtuaku nggak penah ijinin aku pacaran.”
“Kalo gitu gue akan lamar elo. Tunggu saat yang tepat ya.” Abis ngomong gitu Zefan ngeloyor pergi menuju motor yang ada tepat disamping mobil Aure. Dia melirik Aure sekilas sebelum memasang helmnya. “Tungguin gue ya sayang.” Senyum manis sambil kedipin satu matanya, lalu memasang helm dan berlalu pergi.
“Iisshh sinting!!” Aure menghentakkan satu kakinya dan segera masuk kedalam mobil. Dia mulai menyalakan mesin dan meninggalkan kampus.
Ranisya menggenggam tali tas dengan sangat erat. Ada rasa iri yang mendalam didadanya. Apalagi setelah mendengar pengakuan Zefan tadi. Hatinya semakin memanas.