Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Menyusun rencana

Olivia menepuk pundak Anton, tidak ada gunanya lagi main otot disini. Semua telah terjadi dan tak ada yang bisa di lakukan kecuali mencari jalan lain.

Anton merapikan jasnya dan melangkah pergi disusul oleh Olivia di belakang, terdengar sorakan bahagia di belakang. Namun dirinya tak merespon, dia janji pada dirinya sendiri akan merebut semuanya kembali. Walau entah bagaimanapun caranya.

Olivia dan Anton naik ke dalam mobil dan melaju menjauhi area hotel berbintang yang paling megah di kota tersebut.

Di sepanjang perjalanan air mata Olivia tak berhenti mengalir, dia tak menyangka orang yang dia pikir bisa menjadi sandaran hidup malah berbalik menyerangnya.

Bahkan dengan tega menguras semua hartanya hingga habis tak tersisa, ingin sekali dia meluapkan semua. Pedih, amarah dan sakit hati yang mendalam. Akan tetapi ini semua salahnya sendiri.

"Nyonya mau kemana?" tanya Anton menatap gadis di sampingnya, tampak wajah putus asa yang tergambar di wajah cantiknya.

Tak ad jawaban, hanya embusan napas panjang yang keluar dari bibir mungilnya. Dia tak tau harus kemana, tak ada tempat yang dapat di tuju saat ini.

"Baiklah kita bisa ke rumahku, istriku sangat merindukan Nyonya," ucap Anton yang tak mau menyinggung perasaan orang di sampingnya.

Dia akui orang ini memiliki tingkat gengsian yang tinggi, di tambah egois dan angkuh. Namun dia merupakan orang yang paling berjasa dalam hidupnya.

Itulah sebabnya dia masih setia ada disampingnya meskipun kondisinya sudah seperti ini.

"Terima kasih Paman, aku tidak tau lagi harus kemana," Olivia menatap langit biru dengan mata nanar.

Dia tidak tau akan menjadi bagaimana kehidupannya mendatang, otaknya masih terlalu buntu untuk memikirkan segala macam rencana seperti biasanya.

Biasanya otaknya akan bekerja dengan baik dan menciptakan ide luar biasa, tetapi hatinya mendominasi saat ini, menyebabkan semua terasa lebih rumit.

Pasrah, mungkin hanya itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan semuanya.

Mobil membawa mereka kesebuah jalanan ramai lancar di ibu kota, banyak kendaraan mewah yang menyalip mobilnya.

Lampu hijau berganti merah, perlahan mobil yang di Olivia berhenti. Tangisnya mulai reda walaupun matanya masih terlihat sembab.

Keramaian ibu kota dengan kesibukan yang padat membuat telinganya cukup bising, terdengar suara petikan gitar yang mengusiknya. Pandangannya segera tertuju pada asal suara.

Tampak sepasang anak kecil yang menyanyikan lagu populer saat ini, umur keduanya tidak jauh berbeda. Sepertinya mereka adalah saudara.

Anton tak mau Nyonya nya terganggu, dia segera mengambil uang receh dan menyuruh pengamen kecil itu pergi.

Sepasang anak kecil itu pergi setelah mendapatkan uang receh, tak lupa mereka melempar senyum ramah sebagai tanda terima kasih.

"Sepertinya sudah saatnya aku berjuang Paman," celetuk Olivia. Matanya masih menatap lekat kedua punggung kecil yang perlahan menjauh.

Anton tersenyum kecil, nampaknya bukan hanya pengaruh buruk tetapi ada baiknya orang ini sakit hati. Setidaknya jiwa sosialnya mulai tumbuh.

Dia masih ingat apa julukan orang yang dia pakai untuk menyebut pengamen 'Madesu' Masa Depan Suram, dan melempar pandangan jijik.

Saat ini dia baru sadar kalau sebagian orang memang tak memiliki nasib yang sama sepertinya dan membutuhkan perjuangan. Bukankah setiap orang memiliki nasib berbeda?

"Kenapa? Nyonya mau ikut ngamen," kekeh Anton memecah keheningan, dia tak mau Olivia larut terlalu dalam dengan masalah ini.

"Kalau itu memang di perlukan, aku pasti akan melakukannya." jawab Olivia datar.

"Kita pikirkan caranya nanti malam, Nyonya tidak perlu khawatir." ucap Anton sambil melajukan mobilnya melewati jalanan yang cukup ramai.

Mobil melaju membawa keduanya sebuah tempat dengan rumah yang berjajar rapi, seorang satpam menyambut kedatangan mobil Anton dan melempar senyum hangat.

Mata Olivia menyapu lingkungan barunya, banyak rumah mewah yang berjejer rapi. Tak ada seorangpun di luar, hanya beberapa asisten rumah tangga yang membersihkan halaman rumah.

Meskipun rumah-rumah ini tk seluas rumahnya, tetapi kawasan ini cukup tenang dan asri.

"Paman tinggal di sini?" Olivia tak percaya, bukankah gaji yang di keluarkan untuk menyewanya cukup mahal.

Seharusnya di bis memiliki hunian yang lebih dari pada ini bukan?

Anton tersenyum ramah, dia tau apa yang ada di pikiran Nyonya,

"Ada banyak hal yang perlu Nyonya pelajari dalam hidup ini, tidak semua kemewahan bisa menjamin kehidupan yang damai." jawab Anton, matanya masih fokus menatap kedepan.

Tak terasa mobil mereka berhenti di depan rumah minimalis, hanya terdapat sebuah parkiran yang cukup untuk satu mobil. Disampingnya terdapat taman kecil, banyak bunga warna-warni yang di tata rapi.

Anton segera turun dan membukakan pintu untuk Olivia, hal ini membuatnya terharu. Meskipun dia sudah jatuh miskin, tetapi pria paruh baya ini masih memperlakukannya dengan sangat baik.

Seorang wanita paruh baya segera membuka pintu, dia segera menyambut kedatangan Anton dengan pelukan hangat dan di balas dengan kecupan lembut di kening wanita tersebut.

Ada sedikit perih yang dia rasakan, dulunya dia dan Kenzo selalu melakukan hal yang sama. Seolah itu memang sebuah keharusan, tetapi semuanya hilang.

"Nyonya Olivia, lama tak berjumpa ..." ucap Fika memeluk hangat Olivia.

Olivia merasa tak enak hati, kini dirinya hanya orang miskin dan tidak seharusnya mendapat panggilan terhormat seperti ini.

"Paman, Bibi. Panggil aku Olivia saja, aku ..." Olivia menundukkan kepalanya.

"Nyonya adalah tamu kami, sudah seharusnya kami memperlakukan Anda seperti ini. Say sudah menyiapkan tempat untuk Anda bermalam, mari masuk," ucap Fika mempersilahkan Olivia untuk masuk.

Dengan langkah ragu Olivia memasuki rumah minimalis tersebut, tampak beberapa anak kecil yang sedang bermain di ruang tamu.

Melihat kedatangan Olivia mereka segera bersorak gembira, dia berhamburan memeluknya.

"Kak Olivia," sapa kedua anak dan berhamburan memeluknya.

Olivia menekuk lututnya dan membentangkan kedua tangannya, seolah menyambut malaikat kecil yang sudah lam di rindukan.

"Kalian sudah besar, Kakak kangen banget." ucap Olivia terharu.

Terakhir dia bertemu dengan mereka saat usianya masih sekitar dua tahun, karena dia memilih kuliah di luar negeri jadi mereka terpisah.

Kedekatan mereka bermula saat Fika yang selalu membawakan makan siang Anton ke kantor dan selalu mengajak kedua buah hatinya ini.

"Biarin Kak Olivia istirahat dulu, nanti main lagi," ucap Fika mengelus pucuk rambut kedua anaknya

Mereka menggunakan kepala dan segera membereskan mainan yang berserakan di ruang tamu, setelahnya Anton dan Olivia duduk di sofa.

"Jangan memikirkan masalah dulu, Nyonya boleh tinggal disini selama yang Anda mau," ucap Anton.

"Tidak usah repot-repot Paman, aku segera mencari cara untuk merebut semuanya kembali," Olivia mengeratkan giginya.

"Saya memiliki sebuah saran, tapi Saya tidak tau Nyonya akan setuju atau tidak," Anton melempar tatapan tajam ke Olivia.

"Apapun akan ku lakukan Paman," Olivia penuh keyakinan.

"Dekati Presidir Nicholas, maka semuanya akan lebih mudah,"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel