

Bab 2 Kau Anak yang Beruntung
Bab 2 Kau Anak yang Beruntung
Hujan. Hal yang paling dibenci Agung dari September adalah hujan. Agung yang paling tidak suka jika harus mengenakan jas hujan, karena menurutnya mengurangi level kerennya, merasa September tidaklah bersahabat dengannya. Sebelum hujan terlalu deras, Agung memarkir motor tuanya di halaman galeri. Pemilik galeri, Budi Kartomo menyeringai melihatnya memayungi kepala dengan telapak tangan.
"Bisa tidak kena hujan ya Gung kalau ditutupi tangan begitu?" cemoohnya. Agung menyeringai kesal.
"Ya, namanya juga usaha, Pak," sahutnya dengan senyum. Budi Kartomo menggiringnya masuk.
"Jadi kapan lukisanmu akan dibawa ke sini? Atau sekalian langsung melukisnya di sini saja," desaknya, Agung sudah berjanji membawa beberapa lukisannya untuk di pajang di ruang pameran galeri.
"Besok ya, jangan lupa lho. Soalnya besok itu pembukaan resmi pamerannya, banyak yang datang, siapa tahu ada lukisanmu yang membuat orang tertarik dan mau membelinya," Budi Kartomo berusaha memberi semangat. Agung mengangguk.
"Iya Pak, besok," janjinya.
***
Setengah berlari Agung memasuki rumah besar keluarga Wira Pramudya, mengibaskan air dari rambutnya sebelum membuka pintu besar dan berdaun berat itu. Beberapa bulir air memercik dari ujung rambutnya yang setengah gondrong. Rambut yang beberapa hari ini selalu menjadi bahan pembicaraan Pakde-nya di meja makan. Setiap kali sarapan dan berlanjut saat makan malam. Membuat Agung kenyang lebih cepat. "Potong rambutmu, Gung," kalimat yang sama selalu singgah di telinga Agung pagi dan malam, yang membuatnya malam ini enggan untuk singgah di meja makan.
Masuk dengan mengucapkan salam, Agung melangkah hati-hati setengah berharap Pakde Wira belum pulang dari kantor. Tapi sepertinya harapan Agung tak mewujud, ia mendengar suara bantingan pintu dari lantai atas. Artinya keriuhan antara bapak dan anak kembali terulang.
Kapan bosannya ya, gerutu Agung dalam hati. Tinggal bersama keluarga kakak dari ayahnya membuat Agung mengerti betapa tidak nyamannya di sini. Semua hal yang serba diatur dan tidak boleh ada penolakan. Tiga tahun tinggal bersama Pakde yang semua inginnya harus diikuti membuat Agung akhirnya mengerti mengapa kakak sepupunya, Bintang memilih meninggalkan rumah.
Agung yang terpaksa tinggal di sini demi menghormati keinginan orang tua mau tidak mau harus menjadi pengganti Bintang untuk keluarga ini. Menjadi Kakak bagi Rina, adiknya Bintang. Gadis yang lebih banyak menghabiskan waktu di kamar ketimbang bercanda dengan orang tuanya.
Ah, tapi memangnya ada yang bisa bercanda di rumah yang penuh dengan aturan dan kaku seperti tiang listrik ini? Semua benar-benar harus sesuai aturan, yang kadang membuat Agung merasa ingin melarikan diri saja, seperti Bintang.
Kepergian Bintang yang membuat Agung dianggap sebagai anak pertama yang harus menerima semua aturan ketat di rumah yang sama sekali tidak membuatnya nyaman. Jika tidak mengingat ayah dan ibunya, jujur Agung sudah mengikuti jejak Bintang. Keluar dari rumah besar ini.
Melewatkan ruang makan dan naik ke kamar, samar-samar telinga Agung menangkap isak tangis ketika melewati kamar sepupunya, Rina. Hm, pasti habis bertengkar lagi dengan ayahnya yang kaku seperti tiang listrik itu. Mengetuk pelan pintu kamar Rina, Agung memanggilnya dengan suara sangat lembut.
"Rin … kamu tidak apa-apa?" tanyanya pelan. Terdengar bersitan ingus dari dalam, Rina sepertinya bertekad menghentikan tangis sebelum membuka pintu.
"Aku baik-baik saja, Gung, kenapa?" ketusnya, wajah penuh air mata dan mata bengkak itu muncul lima senti dari hidung Agung.
"Yah, aku hanya khawatir, mungkin kamu punya niat untuk bunuh diri?" goda Agung, Rina mendelik kesal. Sepupu kurang ajarnya ini menyeringai menatap wajah sembabnya.
"Baik-baik saja, tapi wajahmu bengkak seperti dibekap begitu. Bertengkar lagi dengan Pakde?" tanya Agung, "Umm, aku boleh masuk?" tanyanya lagi.
Rina tidak mengatakan apa pun hanya membuka pintu lebih lebar agar Agung masuk. "Tutup pintunya," pinta Rina.
"Mm? Yakin Rin?" seringai Agung, sengaja agar Rina sedikit mengurai bibirnya yang bisa dikuncir itu.
"Iya. Memangnya kamu mau apa? Aku masih kakakmu!" gerutunya, bantal kecil yang sedari tadi ia peluk melayang menimpuk jidat Agung yang terlambat menghindar. Tetapi, sepupu tengilnya itu justru tertawa terpingkal-pingkal melihat raut kesal Rina.
"Cemberut terus, tertawalah walaupun sedikit. Itu, nanti bibirnya tidak bisa lentur lagi lho," goda Agung.
Rina menghela napas frustasinya. "Andai saja bisa, aku pasti sudah melakukannya. Kamu tahu rasanya kesal? Saat ini aku sedang kesal."
"Kesal? Lebih kesal siapa, aku atau kamu? Pagi siang sore selalu mendengar kalimat yang sama ‘Gung potong rambut’, ‘Gung potong rambut’," mengatakan itu dengan raut yang sengaja dibuat lucu, tapi Rina hanya menarik garis bibirnya sangat tipis.
"Kenapa lagi dengan Bintang?" tanya Agung akhirnya serius. Gadis ini tidak akan menangis kecuali setelah menelepon sang kakak yang memutuskan kabur dan mengalihkan semua beban ke pundak rapuhnya.
"Seandainya dia mau pulang," sisa-sisa isak masih tertahan di dalam dada Rina dan sekarang kembali mendapat tempat di sudut mata gadis berparas sendu itu.
"Seandainya dia pulang, aku tidak harus di sini mendengarkan kamu menangis meratapi nasib," gerutu Agung.
"Kamu pikir dia masih mau pulang ke rumah yang seperti neraka ini?" kesal Rina.
"Ah, tidak. Jangan sebut neraka, Rin. Itu kejam. Rumah pasung kurasa lebih tepat. Hehe," seringai Agung yang menyebalkan mau tidak mau membuat Rina tertawa pelan. Ya, ini sisi menyenangkan sepupu menyebalkannya ini. Di balik sikap cueknya yang kadang bikin Rina senewen, Agung adalah kakak yang selalu berusaha membuat adiknya tertawa. Kakak? Dari hirarki keluarga, Rina-lah yang seharusnya dipanggil Mbak, tapi karena usia Agung lebih tua darinya, akhirnya mereka mengambil sikap bersahabat.
Yang pasti, sepupunya ini tidak rela jika harus memanggil Rina yang usianya lebih muda darinya dengan sebutan ‘Mbak’. "Yang lebih kecil itu, kan, Ayah bukan gue," protesnya. Tapi di hadapan para orang tua, terutama Pakde nya yang super ketat aturan itu, Agung masih memanggil Rina dengan embel-embel Mbak, tapi saat mereka hanya berdua jangan harap.
"Sekarang cerita, tadi kenapa menangis?" tanya Agung.
"Lelah, Gung," lirih Rina. "Lelah harus mengikuti keinginan Papa yang tak pernah mau sekalipun mendengar apa yang kita inginkan," keluhnya.
"Kamu masih bisa latihan balet, kan?" Rina mengangguk. "Masih sekolah?" lagi-lagi mengangguk.
"Dan juga masih menikmati semua fasilitas yang sudah diberikan, Pakde?" Rina pun menganggukkan kepalanya lagi an lagi karena masih belum mengerti arah pembicaraan Agung.
"Kamu tahu Rin? Kamu anak yang sangat beruntung menurutku."
"Dari sisi mana?" protes Rina.
"Rina, kamu punya segalanya, segala yang mungkin diinginkan banyak gadis di luar sana."
"Tapi, yang aku ingin itu sederhana, Gung. Aku hanya ingin menjadi balerina," keluhnya lagi. Satu per satu air mata mulai menetes di pipinya.
"Mengikuti keinginan Pakde untuk mengelola perusahaan tidak berarti kamu harus kehilangan kesempatan menjadi ballerina, kan? Berlatihlah untuk kedua hal tersebut. Balet dan juga belajar jadi pengusaha," usul Agung ngaco.
Tapi, Rina menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Balerina itu tidak semudah yang ada dalam kepala kamu sekarang," makinya kesal. "Kamu memang tidak akan mengerti, karena tidak pernah merasakan apa yang aku dan Mas Bintang rasakan. Kamu sejak kecil selalu bebas melakukan apa yang kamu inginkan. Bebas memilih jurusan yang sesuai dengan minatmu saat kuliah. Paklik dan Bulik tidak pernah melarang kamu untuk menjadi pelukis. Mereka justru mendukung semua keinginan dan bakatmu sepenuh hati. Dan kamu punya ayah luar biasa yang selalu mengerti apa yang diinginkan anaknya," ada nada iri dalam suara Rina.
"Rin, coba kamu fokus dengan apa yang sekarang ada di depanmu. Jangan melihat apa yang aku dapat dan apa yang tidak pernah bisa kamu dapatkan. Karena kadang kita tidak pernah tahu, di hari ini kita terpaksa tapi bisa jadi suatu saat itulah yang akan menyelamatkan kita."
"Hah," Rina menghempas nafas kesal. "Ya. Tapi sekali saja aku juga ingin seperti kamu, Gung, bebas kemana saja dan mencapai impian sebagai pelukis. Kamu tahu? Aku sering membayangkan bagaimana bahagianya jika aku bisa menjadi belerina. Omong-omong, lukisan kamu jadi diikutkan pameran di Galeri Sapu Ijuk?" tanya Rina dengan wajah serius.
Agung melempar bantal yang tadi sempat membuatnya nyaris kehilangan napas. "Bukan sapu ijuk, rasanya seperti jadi asisten rumah tangga saja. Geleri Sapu Lidi," Agung meralat dengan gemas, sesaat ia merasa seperti Atok Dalang yang setiap kali harus mengoreksi Uncle Ahtong menyebut Homestay menjadi hom sate. Melelahkan.
"Fokus saja pada semua yang sekarang sedang kamu jalani prosesnya dan jangan lupa untuk tidak kehilangan cita-cita kamu sendiri," Agung bangkit dan beranjak keluar. "Ingat, Rin, kamu anak yang sangat beruntung dan sekarang fokuslah pada keberuntungan itu. Aku yakin kamu akan merasa lebih baik," saran Agung.
*Bersambung*
