Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Prolog

Bab 1 Prolog

Seorang bocah lima tahun berlarian sepanjang jalan Danau Toba Sanur, matanya liar menatap beberapa pelukis jalanan yang tengah beraksi, sebagian besar di depan art shop mereka. Jari-jari yang menari di atas kanvas dengan sangat lincah menarik perhatian si bocah. Ia berhenti di depan salah satu pelukis untuk beberapa jenak, memperhatikan sang pelukis menyelesaikan lukisannya dengan mata sangat terpesona.

Bergeming sekalipun sang ibu beberapa kali menjawilnya agar meneruskan perjalanan. Karena ia terlalu asyik dengan apa yang tengah menjadi perhatiannya, sang ibu akhirnya memilih menemaninya sampai ia merasa puas. Tapi, mengetahui suami dan saudara-saudara mereka yang lain sudah cukup jauh, ia terpaksa meminta anaknya segera beranjak.

"Sayang, ayo," Puspa, sang ibu menggamitnya, bocah berwajah tenang itu tersenyum riang pada wanita anggun di sisinya. Tapi, Agung masih enggan beranjak matanya lekat pada kanvas yang sekarang mulai terbentuk, sebuah lukisan surealis yang meskipun tidak ia mengerti tapi sangat indah di mata Agung Pramudya.

"Bun, kalau sudah besar Agung ingin jadi pelukis," cetusnya, membuat ibunya tersenyum setengah geli.

"Agung boleh jadi apa pun, selama Agung bisa jadi orang yang menghargai orang lain," belaian singkat singgah di kepala Agung yang masih memperhatikan pelukis tanpa berkedip.

"Ayo, itu Bintang sama Rina sudah jauh," akhirnya sang ibu menariknya dari depan artshop. Membawa kaki kecilnya menjauh tapi sesekali Agung masih menoleh untuk melihat beberapa pelukis lain di sepanjang jalan.

Perhatiannya terpecah ketika Bintang meronta dari pegangan ibunya dan berhenti di depan sebuah ukulele cantik. Matanya terpancang pada benda itu, tapi ayahnya menarik Bintang menjauh. Bintang meronta dan mendekat lagi pada ukulele, mengambilnya dengan mata penuh harap.

"Ma?" tanyanya, mengulurkan benda berwarna gading itu pada ibunya yang menoleh pada sang suami. Ayah Bintang seketika melotot kejam disertai gelengan keras tanpa kompromi.

"Pa, Bintang mau ini," jeritan kecil saudaranya membuat Agung dan ibunya saling pandang. Bintang, sepupunya menangis menggenggam ukulele dan menatap ayahnya dengan memohon agar dibelikan benda itu. Tapi sang ayah sekali lagi menggeleng tegas menolak permohonan Bintang.

Istrinya mencoba melunakkan hati sang ayah tapi laki-laki keras itu bergeming. "Kamu tidak membutuhkan benda semacam itu!" bentak sang ayah. "Pengusaha sukses tidak membutuhkan benda tidak penting seperti itu," kecamnya keras.

Bintang mengisak, "Tapi Bintang tidak mau jadi pengusaha Pa," rengeknya. Rina sang adik memegang bahu kakaknya dengan tulus, berharap itu bisa meredakan kemarahan kecil kakaknya. Agung mendekati Bintang dan membujuknya untuk melihat-lihat benda lain di sepanjang jalan. Sesekali Bintang masih melirik ukulele yang dikembalikan ibunya ke posisi awal. Menyusut air mata dari sudut mata kecilnya.

"Nanti kita beli di Purwokerto saja," bisiknya. "Aku minta Bunda nanti yang belikan. Mau?" upayanya membujuk Bintang berhasil, meskipun masih terlihat kesal tapi ia kembali bergabung dengan Agung dan Rina berlarian sepanjang jalan.

***

Dalam terik matahari yang cukup menyengat, sosok jangkung itu melangkah memasuki Dekanat Fakultas Seni Rupa, langkah yakin yang membuat bibirnya tak bisa melepas senyum. Ini mungkin fakultas yang tidak menarik minat banyak orang, tapi merupakan impian besar baginya. Agung Pramudya, menguar senyum meskipun ia tahu tak banyak yang peduli, dengan langkah yakin memasuki ruang teduh itu.

Menghirup udara penuh-penuh di dadanya sebelum memasuki ruang kelas. Berharap tidak ada dosen killer yang akan membuat dahinya berkerut di hari pertama kuliah. Masih dengan senyum ia memasuki ruang kelas yang hampir penuh. Nyaris kehabisan kursi dan terpaksa duduk di sisi seorang gadis manis yang begitu ia duduk langsung membekalinya sebuntal senyum yang membuat Agung diabetes.

Baru saja duduk, di ambang pintu sudah muncul sosok nyentrik yang membuat Agung seketika merasa bahwa ia benar-benar hidup. Laki-laki setengah baya kurus kering dengan sebatang rigger brush (jenis kuas yang memiliki ujung runcing dan biasanya digunakan untuk membentuk garis yang sangat tipis) ukuran satu di sela telinganya.

"Kalau kalian punya kertas entah apa di dalam tas, keluarkan sekarang," suara kresek dan robekan kertas meningkahi kesibukan tidak jelas seluruh mahasiswa. Mereka yang sebagian tidak membawa satupun buku dalam tas yang entah dibawa untuk apa mulai merusuhi tetangga bangku. Mengulurkan tangan untuk selembar kertas.

"Kalian ada di kelas Nirmana hari ini, bagi yang berasal dari selain sekolah seni saya terpaksa meminta agar kalian mencatat dalam otak tentang apa itu Nirmana." Dan dosen kurus kering itu mulai menulis sesuatu di whiteboard dengan tulisan yang membuat mata Agung seketika melek. Perjalanan Yogyakarta ke Bantul ditempuh motor tuanya hampir 45 menit dari yang seharusnya kurang dari 30 menit, ditingkahi angin sepoi Parangtritis membuat matanya sedikit bertingkah.

Tulisan super rapi di whiteboard membuat Agung merasa tak perlu mencatat apapun yang tertulis di sana, karena saking bagusnya tulisan yang seperti di cetak itu semuanya otomatis tersimpan di kepala Agung detik itu juga. Memorinya yang baru saja di-upgrade membuatnya lebih mudah menyimpan apa saja, khususnya yang menarik baginya.

"Yang di papan tulis tadi, kamu tidak mencatat, kan?" gadis yang tadi duduk di sisi Agung mengiringi langkahnya keluar kelas. "Mungkin kamu mau pinjam," tawarnya mengangsurkan buku bersampul merah muda itu dilengkapi senyum yang tak bisa ditawar tingkat kemanisannya.

"Ah, terima kasih ya," mau tidak mau Agung mengambil buku itu, lebih karena tak kuasa menolak lantaran si buku disisipi senyum super manis tadi. Setidaknya bisa tahu namanya, pikir Agung.

Tapi Dewi Fortuna sepertinya tengah berada di bahu Agung berkolaborasi dengan Dewi Amor, gadis itu mengulurkan tangannya yang halus dan terlihat sangat terawat. "Agnes," sebutnya pelan, memperlihatkan sepasang lesung pipi yang membuatnya terlihat sangat manis seperti gulali.

"Agung," menerima uluran tangan yang sangat halus itu, Agung menggenggamnya untuk beberapa lama sampai akhirnya menyadari pipi gadis di hadapannya mulai merona merah. "Ah, maaf ya," cengirnya seraya menarik genggamannya.

"Pinjam dulu ya," pamit Agung, gadis itu mengangguk.

"Mau kemana memang?" penasaran, Agung garuk-garuk kepala.

"Menjelajah saja, belum terlalu mengenal kampus," ujarnya terkekeh, menyeringai, yang membuat jantung Agnes kebat-kebit seperti lampu disko.

"Ayo sama-sama, sekalian kita lihat galerinya" tawar Agnes.

"Oh, ada?" tanya Agung polos. Agnes mengangguk.

"Ada, tapi di bagian utara Dekanat," sahutnya. "Ke sana?"

"Ayo."

Mereka menyeberangi jalan yang dilingkupi sebatang beringin tua sangat rindang. "Kalau malam, pohon ini suka ada penghuninya tidak sih?" tanya Agung iseng. Sekedar memecah kesunyian yang merangkum mereka dalam perjalanan.

"Apaan sih Gung," kekeh Agnes.

"Teganya, masa iya dipanggilnya sigung, aku sebegitu tidak wanginya?" selera humor Agung sumpah receh banget. Tidak ada lucu-lucunya, tapi hati Agnes yang tengah kebat kebit tetap menganggapnya lucu dan tawa kecilnya terdengar seperti alunan musik di telinga norak Agung.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel