Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Kenyataannya Menyakitkan

Bab 2 Kenyataannya Menyakitkan

Nabila diam menatap pantulan wajahnya di balik cermin. Kulit kuning langsat seperti gadis pribumi kebanyakan, alis mata tebal, mata coklat besar, hidung tinggi yang mancung, dan bibir merah muda terbelah. Di hari biasa, Nabila akan dengan senang hati berkata bahwa dia cantik karena memiliki fitur wajah yang mirip dengan ayahnya yang separuh Arab.

Nabil, kembaran faternalnya yang usil dan berisik akan mengolok Nabila dan meneriakkan kata, "Halu!" keras-keras jika sudah mendengar kenarsisan Nabila di hadapan cermin.

Kemudian Rumi, adik perempuannya yang pintar dan tak banyak omong akan mengeluarkan Nabil dari kamar mereka sebelum terjadi perang dunia ketiga.

Walau kedua keduanya menjabat sebagai kakak bagi dua orang adik, seringkali kelakuan mereka lebih kekanakan dari Tio, si bungsu yang tahun ini naik ke kelas dua SMP. Farhan bahkan pernah berkata bahwa percekcokan Nabil dan Nabila tidak ada tandingannya di dunia ini. Gempa bumi 9,5 skala richter pun kalah dengan goncangan yang diakibatkan perdebatan si kembar. Oleh sebab itu, demi kemaslahatan umat, sudah menjadi kewajiban Rumi dan Tio untuk memisahkan kakak kembar mereka apabila ada tanda-tanda genderang perang akan dibunyikan.

Kedua orang tua mereka hanya akan tertawa keras jika sudah mendengar laporan anak-anak saat kumpul keluarga. Mereka akan saling berbagi cerita, mengejek satu sama lain, tertawa, mengeluh, dan mencari solusi terbaik untuk masalah yang sedang dihadapi dengan kepala dingin. Keluarga mereka mungkin bukan keluarga paling kaya atau paling harmonis, tapi Nabila akan dengan bangga mengumumkan bahwa keluarganya adalah keluarga terbaik di dunia. Jika tidak di seluruh dunia, setidaknya di dunia Nabila.

Selama delapan belas tahun hidup, gadis itu selalu merasa bersyukur karena Tuhan memberikan ayah, ibu, kakak, dan adik terbaik untuknya. Walau Nabil sering menyebalkan, Nabila tahu mereka akan saling mencari ketika berjauhan. Nabila percaya keluarga mereka akan selalu bahagia dan sukses melewati badai apapun.

Tapi kepercayaan Nabila musnah tanpa peringatan.

Keluarganya, yang Nabila kira keluarga terbaik ternyata diselimuti kebohongan dan pengkhianatan. Ayahnya, pria pertama yang mengajarkan Nabila makna kepercayaan, tega membohongi mereka bertahun-tahun lamanya. Nabila marah, Nabila kecewa, Nabila lupa bagaimana harus percaya. Pengkhianatan Ayah menyakitinya sampai ke tulang. Ternyata istilah ketidaktahuan merupakan anugerah bukan kata-kata kosong. Seandainya saja kebenarannya tidak terungkap, bisakah ia dan keluarganya tetap hidup seolah tak terjadi apa-apa? Nabila menunduk, mulai mempertanyakan keputusannya untuk mengulik kebenaran.

Tapi... tidak. Itu tidak mungkin. Bangkai, serapat apapun seseorang menutupinya, suatu hari pasti baunya akan tercium juga. Pengkhianatan Ayahnya, adalah bangkai yang sudah ditakdirkan terbongkar.

Nabila mendongak, kembali menatap bayangannya yang terpantul di balik cermin. Dia mencoba menarik kedua sudut bibirnya, namun naas senyumnya malah terlihat menyedihkan. Mata gadis itu terpejam. Untuk pertama kalinya dalam hidup, dia kecewa melihat wajahnya di cermin. Kemiripannya dengan sang ayah membuat Nabila takut menghadapi ibunya.

Apa Ibu baik-baik saja?

Apa Ibu makan dengan benar?

Ada banyak hal yang ingin Nabila tanyakan pada Ibunya. Namun lidahnya kelu setiap berhadapan dengan wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Suasana rumah beberapa minggu terakhir juga memprihatinkan. Tidak ada omelan ketika rumah berantakan, tidak ada candaan yang meringankan suasana, dan... tak ada lagi obrolan di ruang keluarga.

Nabila... rindu. Namun ia juga tahu bila hanya waktu yang bisa menyembuhkan. Memaksakan kehendak tak akan pernah berakhir baik. Nabila menghela nafas panjang.

Tuk!

Suara pena yang diletakkan di meja keras-keras menarik perhatian Nabila. Dia melihat ke sumber suara dan mengerjap bingung. Rumi, adiknya yang lebih muda tiga tahun darinya sedang menatap gadis itu dengan serius.

"Kakak tau nggak apa yang paling nggak kusuka dari kakak?"

Nabila praktis menggeleng karena tak tahu kenapa adiknya yang super pintar ini tiba-tiba saja mengangkat topik barusan.

Rumi memutar tubuhnya menghadap Nabila. "Kak Nabila nggak pinter, tapi bukannya belajar, yang Kakak lakuin cuma mikirin hal-hal nggak guna yang mau dipikirin selama apapun nggak nemu jawabannya."

Nyut!

"Nyelekit bener, Rum." Nabila memberengut.

Rumi tak mengindahkan keluhan sang kakak. Dengan wajah yang masih serius, remaja itu melanjutkan. "Aku nggak tau masalah apa yang terjadi antara Ayah dan Ibu. Kalian, para abang dan kakak, menutupinya dari aku dan Tio karena beranggapan kami masih terlalu muda untuk mengerti." Rumi tersenyum tipis. "Aku ngerti dan nggak akan merengek untuk diberitahu. Aku cukup bijak untuk nggak memaksakan kehendak. Tapi bisa nggak kalian jaga suasana rumah supaya kami, adik-adik kalian yang masih terlalu muda ini, nggak merasa diabaikan? Pernah nggak kakak mikir kalau Tio jauh lebih khawatir sama keluarga kita dari yang kakak kira?"

Nabila tertegun. Demi kebaikan bersama, dia hanya memberitahu Farhan dan Nabil mengenai kondisi orang tua mereka. Nabila tidak pernah memikirkan kemungkinan yang dikatakan Rumi. Dia tak pernah membayangkan kesalahan terbesarnya adalah membiarkan adik-adiknya khawatir tanpa tahu apa-apa. Dia bukan kakak yang baik.

"Berhenti nyalahin diri sendiri, Kak." Suara Rumi melembut. "Kakak nggak pinter, jadi jangan maksa."

"Nggak ada hubungannya tau!" Nabila berseru kesal, meski begitu senyum mulai tampak di wajah cantiknya.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari pintu depan.

Nabila dan Rumi berpandangan. Siapa yang bertamu malam-malam begini? Kedua gadis itu bangkit berdiri dan beranjak keluar dari kamar.

"Ayah!"

Namun seruan bersemangat Tio menghentikan langkah keduanya.

Kaget, Nabila langsung mengalihkan pandangan ke pintu rumah dan membeku. Di sana, di depan pintu rumah yang setengah tertutup, seorang pria yang teramat familiar di penglihatan Nabila sedang menepuk kepala Tio sambil menggumamkan kata-kata yang tidak bisa didengarnya. Ketika pria itu mendongakkan kepala dan menatap ke arah Nabila, gadis itu merasa matanya memanas.

Apa benar mereka tidak bertemu selama beberapa minggu bukan beberapa tahun? Kenapa ayahnya tampak lebih tua dari yang Nabila ingat? Kantung mata tebal, janggut tak tercukur, juga tubuh kurus dan pucat. Batin Nabila mencelos. Apa-apaan ini? Kenapa ayahnya yang sudah menyakiti mereka, mengkhianati ibu, dan pergi tanpa kabar muncul dengan penampilan seperti itu? Seharusnya pria itu lebih bahagia! Jika kondisinya sama menyedihkannya dengan kondisi ibu, bagaimana Nabila bisa membencinya? Benar-benar pria jahat!

"Ayah pulang?" Rumi memecahkan keheningan canggung akibat aksi saling tatap ayah dan kakaknya lalu menyalami tangan ayahnya.

Rangga mengangguk pelan. Sementara Nabila hanya menatap adiknya menyambut ayah mereka tanpa berniat mengikuti.

"Masih ada makanan di meja makan. Kalau Ayah mau, Rumi bisa buatin teh."

Rangga menggeleng. "Nggak usah, Rum. Ayah mau ketemu Ibumu."

"Ibu ada di kamar."

Rangga mengangguk lagi. Dengan senyum kaku, pria itu melangkah menuju kamarnya.

Nabila hanya bisa memandangi punggung sang ayah dalam diam. Perasaannya kacau dan ada banyak spekulasi berterbangan di kepalanya. Di satu sisi ia ingin menahan ayahnya dan memborbardir pria itu untuk menjelaskan segala hal. Tapi di sisi lain, Nabila tak bisa mengeluarkan kata barang sedikit.

"Assalamu'alaikum," Farhan yang baru tiba mengerutkan kening saat melihat adik-adiknya berkumpul di depan pintu. "Ada apa nih? Kok pada di sini semua? Abang nggak bawa oleh-oleh loh." Lelaki itu mencoba melucu meski tak disambut hangat oleh pendengarnya. Setelah berdehem canggung, dia melihat Nabila yang masih terpaku menatap satu arah. Farhan menatap Rumi dan bertanya lewat tatapan mata. Nabila kenapa?

"Ayah pulang,"

Jawaban Rumi ringan, namun seolah Farhan disiram air dingin, tubuhnya menggigil. "A-ayah?"

Rumi mengangguk, lalu menatap Tio yang heran dengan reaksi saudara tertua mereka tapi dengan bijak urung bertanya.

Tak lama kemudian suara itu terdengar.

Prang!

Keempatnya tersentak dan tanpa kata langsung berlari ke sumber suara.

"Kenapa, Mas?! Kenapa?!" Raungan ibu mereka terdengar. "Apa kurangku sebagai istri?! Apa kelebihannya yang nggak kumiliki?! Apa salahku ke kamu yang membenarkanmu untuk menyakitiku sedalam ini?! Apa Mas?! Bilang sama aku! BILANG?!"

Tentu saja, pemandangan di depan mereka membuat keempat saudara itu sedih dan tertekan.

--₪₪₪--

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel