Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Luka Tak Berdarah

Bab 1 Luka Tak Berdarah

Cinta itu luka.

Fitri setuju, karena pengalamannya mengatakan hal yang sama.

Cinta itu obat.

Fitri juga setuju, karena cintanya pada sang buah hati menyembuhkan luka yang tak bisa ia sentuh.

Cinta itu bahagia.

Lagi-lagi Fitri setuju, karena cinta suaminya membawa kebahagiaan luar biasa dalam bahtera rumah tangga mereka.

Lalu, cinta itu bencana.

Fitri tertegun, enggan setuju walau dunianya membenarkan. Luka memang menyakitkan, tapi luka masih mungkin disembuhkan. Sedangkan bencana? Pernah melihat bencana disembuhkan? Bagaimana caranya menyembuhkan bencana yang membawa kehancuran?

Fitri tak tahu. Fitri tak bisa berpikir. Fitri enggan merasa. Pikirannya penuh seperti akan pecah, sementara hatinya kosong sekaligus hampa.

Jika bisa, Fitri ingin pergi jauh dari tempat ini. Dia ingin melupakan rasa sakit yang mencekiknya dan menyembuhkan diri. Tapi dia tak bisa. Ada anak-anak yang meski sudah beranjak dewasa, tapi tetap memerlukan hadirnya sebagai ibu. Ada rumah yang harus dia urus demi memberikan kehidupan yang baik untuk keluarganya. Dan ada suami... yang perlu pulang dan menjelaskan segalanya pada dirinyanya.

Fitri ingat pernah mendengar lagu seperti ini saat mengunjungi swalayan,

Pernah sakit, tapi tak pernah sesakit ini

Karena pernah cinta, tapi tak pernah sedalam ini

Aku ingin semua cintamu hanya untukku

Memang 'ku tak rela, kau bagi dengan hati yang lain

[Azmi - Pernah]

Saat itu Fitri hanya tertawa kecil karena merasa lagu-lagu anak muda jaman sekarang banyak sekali yang mellow. Nabila, anak gadisnya yang sama sensitifnya dengan Fitri akan menitikkan air mata bila mendengar lagu-lagu seperti ini. Nabil yang usil tak ayal mengejek kembarannya cengeng setiap menangis. Dan seperti saudara kebanyakan, kedua orang itu akan bertengkar karena hal-hal kecil seperti ini. Karena alasan itulah lagu-lagu yang sering terputar di rumah memiliki tempo yang lebih cepat. Fitri hanya berkesempatan mendengar lagu mellow jika ia berada di luar rumah.

Dan lagu itu jelas menggambarkan suasana hati Ibu dengan lima orang anak itu saat ini.

Fitri pernah mencintai dan terluka. Tapi dia tak pernah mengira jika ia bisa terluka hingga ingin menyerah seperti ini.

Padahal seorang Sarjana Islam pernah berkata bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuan hamba itu sendiri. Lalu kenapa Allah memberikan cobaan seberat ini pada perempuan rapuh seperti Fitri? Dia sudah banyak terluka, menambah 'bencana' pada lukanya hanya akan menuntunnya pada jurang kehancuran.

Ya Allah… apa hancur merupakan suratan takdirnya? Apa dia memang tak layak bahagia? Apa yang harus dia lakukan jika itu kebenarannya?

"Fitri,"

Fitri tak mengalihkan pandangan dari kegelapan malam. Dengan tatapan kosong, wanita itu menatap melewati angin yang menerbangkan anak rambutnya. Fitri memejamkan mata. Di suatu waktu suara itu pernah begitu lembut terdengar di telinga. Lalu di waktu yang lain suara itu akan terdengar berat penuh ketegasan. Fitri pernah berbincang, bertengkar, saling merayu, bercanda, berdiskusi, dan mengeluhkan hidup kepada pemilik suara.

Fitri pikir, masa lalunya merupakan pengalaman paling menyakitkan yang bisa seorang wanita alami dalam hidupnya. Fitri pikir, dia sudah belajar dan tak akan lagi mengalami hal yang sama. Fitri pikir, rumah tangganya merupakan hadiah terbaik dari sang Khalik.

Fitri tak pernah berpikir bahwa akan tiba masanya ia kehilangan segala hal yang ia yakini.

Fitri membuka mata dan berkata lirih, "Delapan tahun, Mas."

Lelaki di belakangnya, Rangga, hanya menatap punggung Fitri dengan penyesalan tak terlukis di matanya.

"Sampai kapan kamu berniat menyembunyikan dosamu dariku, Mas? Kalau seandainya Nabila nggak membongkar rahasia kamu, apa yang akan terjadi? Kamu akan menyembunyikannya sampai aku mati?"

Pertanyaan itu diucapkan Fitri dengan tenang. Dia masih tetap tenang saat berbalik dan memperhatikan suaminya yang sudah beberapa Minggu ini hilang tanpa kabar. "Apa pernah kamu mikirin gimana perasaan anak-istrimu setelah mendengar kebenaran yang selama ini kamu sembunyikan? Ah, aku lupa. Kamu punya anak-istri lain di luar sana. Pertanyaanku kurang spesifik ya. Oke, aku ulangi. Apa pernah kamu mikirin gimana perasaanku dan anak-anakmu yang lahir dari rahimku setelah mendengar kebenaran yang selama ini kamu sembunyikan?"

Rangga masih diam.

"Kamu nggak bisa jawab?"

Rangga masih tetap diam.

"Mas Rangga."

Rangga memejamkan mata. Dengan kepala tertunduk, lelaki dengan dua istri itu berkata lirih, "Maaf..."

Seolah kata itu menjadi pemicu, emosi Fitri melambung tinggi. Tanpa berpikir wanita itu menyambar vas bunga dan langsung melemparnya menuju cermin.

Prang!

Suara pecahan kaca menyatu dengan raungan Fitri yang tak terkendali. Dia berlari ke arah Rangga dan melayangkan tinju ke tubuh lelaki yang dulu pernah menjadi alasannya bahagia. "Huaa! Pria jahat! Kejam! Nggak punya hati!" Air mata Fitri mengalir tanpa henti. Ucapan maaf dari Rangga bagaikan lahar panas yang membakar hatinya. Sikap kalah pria itu ibarat menabur garam di luka Fitri yang sudah bernanah.

Fitri tak pernah menyuarakannya, tapi di sudut hatinya yang terdalam dia berharap Nabila salah. Dia sungguh berharap suaminya tetap setia. Dia benar-benar berharap sakitnya hanyalah mimpi dan Rangga akan datang untuk membangunkannya. Tapi harapan itu berakhir sia-sia. Permintaan maaf Rangga memupuskan asa Fitri. Penyesalan nyata di mata suaminya membuat Fitri yakin bahwa kenyataan memanglah sekejam ini.

Rangga-nya, suaminya, imamnya, ayah dari anak-anaknya mengkhianati kepercayaan mereka selama delapan tahun terakhir. Pria yang selalu dibanggakannya, yang namanya selalu terucap dalam setiap doa, menjadi penoreh luka paling besar dalam hidup Fitri. Rangga tidak hanya mengecewakannya, perbuatan pria itu sudah menghancurkannya tanpa sisa.

"Kenapa, Mas?! Kenapa?!" Fitri kembali meraung. "Apa kurangku sebagai istri?! Apa kelebihannya yang nggak kumiliki?! Apa salahku ke kamu yang membenarkanmu untuk menyakitiku sedalam ini?! Apa Mas?! Bilang sama aku! BILANG?!"

Rangga menggigit bibir, menahan air mata penyesalan yang hendak turun tanpa malu. Dia sungguh tidak berhak menangis. Tidak setelah ia menyakiti wanita yang begitu dikasihinya secara sadar dan tanpa paksaan. Dia adalah pria jahat yang tidak pantas meminta pengampunan Fitri, tapi masih berharap diampuni. Dia adalah pria egois yang tidak bisa menyerahkan diri seutuhnya, namun tak mau kehilangan Fitri dalam hidupnya. "Sayang...." Rangga sungguh ingin merengkuh dan menenangkan Fitri. Wajahnya yang tirus, matanya yang bengkak dan basah, hidungnya yang memerah, juga bibirnya yang seputih kertas membuktikan betapa besar dampak perbuatan yang Rangga berikan pada wanita itu. Dia jelas seorang suami yang gagal.

Melihat tanda-tanda Rangga akan memeluknya, Fitri langsung menepis tangan pria itu dan mundur menjauh. "Jangan. Sentuh. Aku!" Fitri memeluk dirinya sendiri dan menghindari Rangga seolah pria itu virus mematikan. Matanya menatap pria yang masih berstatus sebagai suaminya dengan nyalang. Tangan Fitri bergetar, dia ingin menyakiti Rangga yang sudah menyakiti dia dan anak-anak, tapi membiarkan Rangga menyentuhnya seperti melakukan dosa besar. Fitri tak bisa.

Dia merasa kotor dan tak berharga.

"Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah!" Wanita itu bersimpuh di atas tumpukan kaca dan menyebut nama Tuhannya dengan putus asa. Kepalanya sakit dan jantungnya berdegup sangat kencang. "Sakit Ya Allah... sakit sekali!" Dia menekan dadanya berulang kali untuk mengembalikan nafasnya yang menghilang. Rasa sakit mencekiknya tanpa ampun. Kemarahan, kebencian, dan kekecewaannya pada Rangga membuatnya menggila.

Ingatan sesaat setelah mereka melaksanakan akad bertahun-tahun lalu terngiang di telinganya. Rangga, suaminya yang kala itu lebih muda dan gagah membisikkan kalimat sakral yang terpatri dalam di hati dan pikirannya.

Aku akan membahagiakan kamu, Farhan, dan anak-anak kita kelak. Kepercayaan yang sudah kami berikan nggak akan pernah kunodai. Aku berjanji.

Fitri melempar apapun yang bisa diraihnya ke arah Rangga. Kalimat sakral itu sudah ternoda. Janji itu sudah diingkari. Ingatan itu berubah menjadi sebilah pedang yang menusuk jantung Fitri tanpa perasaan. Masih terisak hebat, dia berteriak, "PEMBOHONG! PENIPU! PENGKHIANAT! BAJI**AN JAHAT! AKU BENCI KAMU! AKU BENCI! BENCIII! MATI SAJA SANA!"

Fitri, wanita humoris yang selalu bersinar dan cantik dengan caranya sendiri kehilangan sinarnya.

Rangga, pria bersahaja yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya kehilangan orang yang dengan tulus menjadi tempatnya pulang.

--₪₪₪--

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel