Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 — Pecundang Itu Bernama Reno

Hujan turun tanpa ampun, membasahi tubuh seorang pria yang berdiri di pinggir jalan. Jaket hitamnya sudah robek di bagian lengan, sepatu yang ia kenakan sudah penuh lumpur. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena marah pada hidup yang terus mempermainkannya.

Reno Aditya.

Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu baru saja kehilangan pekerjaannya — lagi.

“Maaf, Ren, perusahaan sedang melakukan pengurangan karyawan,” kata manajernya tadi sore, dengan nada seolah-olah itu bukan masalah besar. “Kamu pekerja keras, tapi… kamu tahu sendiri, perusahaan butuh orang dengan koneksi.”

Koneksi.

Kata itu seperti pisau tumpul yang menusuk jantungnya pelan-pelan.

Reno tidak punya siapa pun. Orang tuanya sudah meninggal sejak lama, dan istrinya — yang dulu bersumpah akan selalu di sisinya — kini justru yang paling sering merendahkannya.

Hujan makin deras. Ia berjalan tanpa arah, hanya mengikuti langkah kakinya yang berat. Di trotoar, ia melihat beberapa orang berteduh di bawah atap toko, sementara dirinya memilih terus berjalan. Entah kenapa, malam ini hatinya terlalu penuh untuk sekadar berhenti.

Ponselnya bergetar. Nama di layar membuat napasnya tercekat.

“Nadya (Istri)”

Reno menatap layar beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.

“Halo.”

Suara di seberang dingin. “Kamu di mana?”

“Di luar. Baru keluar dari kantor,” jawabnya pelan.

“Kamu dipecat lagi?” suara itu terdengar sinis. “Reno, kamu sadar nggak, aku capek hidup miskin begini? Aku malu sama keluarga aku!”

Reno menggigit bibirnya, menahan amarah yang hampir meledak. “Aku sudah berusaha, Nad. Aku cuma butuh waktu.”

“Waktu?” Nadya tertawa kecil, penuh ejekan. “Kamu sudah buang waktuku tiga tahun. Kamu pikir aku mau terus hidup sama pecundang kayak kamu?”

Telepon terputus.

Reno memandangi layar ponselnya yang kini gelap. Hujan bercampur dengan air mata di wajahnya. Ia tertawa miris. “Pecundang, ya… bahkan istriku sendiri setuju.”

Langkahnya berhenti di depan jembatan tua yang melintas di atas sungai kecil. Air sungai tampak beriak deras, memantulkan cahaya lampu kota yang redup.

Ia berdiri di sana, termenung lama.

“Tuhan… kalau memang hidupku nggak ada gunanya, ambil aja sekarang.”

Namun tepat ketika ia hendak melangkah ke tepi jembatan, suara batuk keras terdengar di belakangnya. Seorang pria tua tergeletak di trotoar, tubuhnya basah kuyup, dan napasnya tersengal-sengal.

Tanpa berpikir panjang, Reno berlari menghampiri. “Pak! Bapak kenapa?”

Pria tua itu tampak lemah, tapi matanya masih menatap tajam. “Anak muda… jangan pikiranku aneh, tapi… bisa tolong ambilkan… kotak hitam di dalam jas saya.”

Reno menuruti dengan cepat. Di dalam saku jas lusuh itu, ia menemukan sebuah kotak kecil seukuran telapak tangan. Terbuat dari logam gelap, dengan ukiran rumit seperti simbol kuno.

“Apa ini?” tanya Reno heran.

Pria tua itu tersenyum samar. “Itu… bukan benda biasa. Kau sudah menolongku… jadi anggap itu… hadiah.”

Sebelum Reno sempat bertanya lebih jauh, tubuh pria itu jatuh tak sadarkan diri. Reno panik. Ia menoleh ke kiri dan kanan, tapi jalanan sepi. Ia akhirnya memutuskan memanggil ambulans.

Beberapa menit kemudian, petugas datang membawa pria tua itu. Namun sebelum mereka membawanya pergi, Reno sempat memperhatikan satu hal aneh — tatapan pria itu kepadanya seperti mengandung makna tersembunyi, seolah ia tahu sesuatu yang belum disadari Reno sendiri.

Setelah ambulans pergi, Reno berdiri sendirian lagi di bawah hujan. Ia menatap kotak hitam itu, masih basah di genggamannya.

“Hadiah, katanya…” ia bergumam. “Mungkin ini cuma barang antik.”

Ia pulang dengan langkah gontai.

---

Rumah kecilnya berada di pinggir kota. Lampu ruang tamu menyala, menandakan Nadya masih terjaga. Begitu Reno membuka pintu, suara bentakan langsung menyambutnya.

“Kamu tahu jam berapa ini?!” Nadya berdiri dengan tangan terlipat di dada. Di belakangnya, seorang pria muda berpakaian rapi duduk di sofa — wajahnya familiar, Andra, rekan kerja Reno yang dulu selalu menyombongkan diri.

Reno terdiam. “Kenapa dia di sini?”

Nadya menjawab cepat, “Dia hanya mampir. Setidaknya dia masih punya pekerjaan tetap, nggak kayak kamu!”

Andra tersenyum sinis. “Reno, aku dengar kamu dipecat lagi. Nggak nyangka, ya… nasib orang memang nggak bisa dipaksakan.”

Reno mengepalkan tangan. “Kamu datang ke rumahku cuma buat ngeledek?”

“Tenang,” kata Andra santai. “Aku cuma kasihan. Nadya butuh hidup layak. Kalau kamu nggak bisa kasih, biar aku yang kasih.”

Plak!

Tamparan Reno mendarat di pipinya.

Andra bangkit, marah, tapi Nadya segera berdiri di antara mereka. “Cukup! Aku muak sama kamu, Reno! Aku nggak mau hidup miskin lagi! Mulai malam ini, aku pergi!”

Reno terdiam. Hujan di luar masih terdengar, tapi di dalam hatinya badai sudah lebih dulu datang. Ia tak mencoba menahan. Ia hanya menatap punggung istrinya yang pergi bersama pria lain — dan di dalam genggamannya, kotak hitam itu terasa berdenyut… hangat.

Ia menatap benda itu.

Cahaya biru samar muncul di sela-sela ukirannya.

Reno terkejut, tapi rasa marah dan kecewa membuatnya tak peduli. “Kalau memang benda ini mau meledak, biarlah. Aku udah nggak punya apa-apa lagi.”

Namun kotak itu tidak meledak.

Sebaliknya, sebuah simbol cahaya keluar dari dalamnya dan menembus dadanya.

Tubuh Reno bergetar. Dalam sekejap, seluruh kenangan, rasa sakit, dan penghinaan yang pernah ia alami berputar di dalam kepalanya. Suara misterius bergema di pikirannya.

> “Kau telah terpilih. Sistem Dewa Kota diaktifkan.”

> “Misi pertama: Bangkitkan kekuatan dan taklukkan mereka yang merendahkanmu.”

Reno jatuh berlutut, memegang dadanya yang kini bersinar samar.

Air hujan membasahi wajahnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tersenyum.

“Baiklah… kalau ini kesempatan kedua dalam hidupku,” bisiknya pelan, “aku akan pastikan mereka semua menyesal telah menjatuhkanku.”

Malam itu, di antara hujan dan kehancuran, lahirlah sosok baru.

Bukan lagi Reno si pecundang — tapi Reno, calon Dewa Kota.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel