Bab 2 Firasat Perempuan Baik
Bab 2 Firasat Perempuan Baik
“Bibirnya tebal dan seksi sekali. Model, sih. Apakah rasanya akan manis, jika kucicip?”
Rasa itu bermula dari sebuah tatapan atau yang kerap disapa pandangan pertama. Mata bertindak sebagai indera yang paling bisa menangkap suatu kesimpulan yang tentu saja menjurus pada fisik.
Paras yang mampu memikat antara satu sama lain. Dimulai mata Reno yang tengah bekerja sama dengan otak.
Mendefinisikan Bianca yang memiliki bentuk tubuh yang sangat seksi, cantik paripurna layaknya bidadari dunia. Sungguh, Reno sangat terkagum dengan keindahan makhluk Tuhan satu itu.
Tidak munafik juga bila Bianca memang sedari tadi juga mengagumi sosok Reno yang penuh kharisma. Jika dibandingkan dengan suaminya, Tarno, maka kebandingannya bisa seperti antara langit ke tujuh dengan dasar jurang yang amat curam.
Suaminya jeleknya yang sungguh membuat Bianca tak habis pikir. Namun, sosok Reno mampu mencuri perhatian Bianca.
Reno itu ibarat Dewa Yunani yang memiliki ketampanan yang hakiki.Perlukah diganti Q, menjadi haqiqi, karena Reno benar-benar tampan?
"Selamat pagi juga, Pak Reno," jawab Bianca dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Itu terdengar merdu bak alunan klasik yang menyegarkan indera pendengaran.
"Oke. Untuk Ibu Bianca, mari ikut saya ke ruang pemeriksaan untuk mengecek alat reproduksi anda," ucap Reno.
Entah mengapa pikiran Reno kian bercabang. Membayangkan hal-hal yang sudah diluar akal sehat.
Walau begitu, Reno berusaha mengontrol diri dan bersikap seperti biasa, walau itu terkesan susah. Namun, Reno akan mencoba.
Kelemahan Reno sebagai seorang lelaki, tentu saja memiliki hasrat yang sangat besar. Terlebih, bila disuguhi dengan wanita semacam Bianca yang sudah pasti memiliki postur tubuh yang sangat bagus.
Ibarat kucing yang dikasih ikan asin, mana bisa menolak. Rezeki nggak datang dua kali, bukan?
Kini, Reno dan Bianca sudah berada di dalam ruangan pemeriksaan. Tentu saja tanpa Tarno yang memang Reno suruh untuk menunggu.
Suasana tampak canggung. Tak ada pembicaraan. Sesekali terdengar pekikan dari Bianca kala Reno menjalankan tugasnya. Tahu sendiri, kan?
Reno pun berusaha profesional. Ini pekerjaan dan bukan kali pertamanya yang ia lakukan. Namun, peran Bianca sangat membuat pikirannya tak waras.
Pada gaun bermotif floral, dia begitu ingin melihat dalamnya. Akankah sebagus gaun itu?
Sebegitu besarnya pesona Bianca? Reno pun tak habis pikir dengan dirinya sendiri yang sulit terkendali.
Wajah Bianca memang sulit dilupakan. Membuat banyak lelaki bertekuk lutut, dan Reno tak menemukan sejarum jawaban, kenapa Bianca memilih Tarno sebagai suami, kecuali karena perempuan ini ... matre.
Ya, Tarno yang dijuluki Gorilla dalam perlawakan, dulunya pelawat naik daun. Banyak yang suka, karena sifatnya yang bersahaja.
Sayangnya, sekarang dia sedang di ambang kehancuran. Pamornya turun. Malah lebih sering jadi pelawak figuran saja.
Setelah selesai, mereka berdua kembali. Sesi periksa sudah selesai. Kini, seperti biasa, Reno akan memberi wejangan pada pasangan itu dan sesekali bertatap pandang dengan Bianca.
Pak Tarno pun hanya diam. Ia berbicara bila ditanya saja.
Lain halnya dengan Bianca yang seperti burung nuri membicarakan keluhanya. Tentu saja membuat Reno tak ambil pusing dan bisa leluasa menatap Bianca.
Tak terasa, konsultasi mereka berakhir tepat tengah hari. Waktu yang cukup lama, karena dengan sengaja Reno ulur. Sepertinya Reno benar-benar tertarik pada super model cantik itu. Begitu juga sebaliknya.
"Sudah keluar dulu sana. Panasin mobil, takut macet," ucap Bianca sembari memberikan tasnya pada Tarno.
Padahal tentu saja, ucapan itu hanyalah bualan Bianca agar bisa berlama-lama dengan Reno. Reno yang tampan dan penuh kharisma nyatanya sudah meracuni hati Bianca.
Ada rasa ingin memiliki yang terselip di ulu hati. Padahal tentu saja, ini kali pertamanya mereka bertemu, sebagai pasien dan dokter.
Seperti biasa, Tarno yang patuh langsung pergi meninggalkan Bianca dan Reno. Setelah Tarno benar-benar keluar, Bianca langsung tersenyum manis pada Reno.
Reno menatap Bianca dengan tatapan yang tak terbaca.
"Terima kasih banyak, Pak Reno. Kamu masih akan mengenalku kan?" Ucap Bianca mengulurkan tangan.
Reno pun membalas uluran tangan itu. Merasakan betapa halus tangan Bianca.
Sungguh, Reno sangat betah seumpama disuruh untuk setia menggenggam jemari lembut itu. Mereka berdua persis seperti orang yang lagi kasmaran.
Harusnya Reno lebih menjaga image sebagai seorang dokter. Namun, sedari tadi memang Reno juga tengah mencuri kesempatan.
"Sama-sama. Pastinya. Akan saya kenal terus. Tapi, jangan panggil Pak dong! Merasa tua," ucap Reno saat jabatan mereka sudah terlepas.
Bianca pun memandang Reno dengan tatapan yang dibuat sepolos mungkin.
"Terus panggil apa?" tanya Bianca.
"Mas juga boleh," balas Reno terkekeh.
"Kalau sayang boleh tidak, ya?" tanya Bianca yang sontak membuat Reno terkejut. Bianca suka membuat Reno frustasi.
"Bercanda, Mas. Jangan serius-serius!" ucap Bianca menggoda.
Reno yang memang sedari awal sudah terpikat oleh Bianca malah tersenyum senang menanggapi ucapan Bianca itu. Reno pun langsung mendekat pada Bianca.
Lelaki dengan badan sixpack ini membisikkan sesuatu pada Bianca, yang sontak membuat wanita itu memekik senang. Senyum bak Angelina Jolie itu merekah.
"Ini kartu namaku! Sudah tersedia nomor di sana," ucap Bianca.
Bianca pun menyodorkan kartu nama yang di dalamnya juga berisi nomor telepon. Reno menerima kartu tersebut sembari mencuri kesempatan untuk kembali menyentuh jemari lentik Bianca. Bianca tersenyum menggoda.
"Terima kasih, cantik," ucap Reno bahagia.
Mengapa Reno bahagia? Tentu saja ada hal yang sudah terselip di otaknya.
Reno membaca kartu nama itu dengan sesekali melirik Bianca. Reno langsung meletakkan kartu nama itu di atas meja.
Tak lama kemudian, Bianca harus pamit, karena pasti Tarno, suaminya, sudah menunggu.
"Aku pamit dulu, Mas," ucap Bianca.
"Hati-hati, ya!" pesan Reno perhatian pada Bianca.
Bianca pun mengangguk sembari mengangkat jempolnya tanda oke dan berakhir mengerlingkan mata sebelum pergi. Sungguh, membuat Reno semakin berhasrat dengan tingkah Bianca.
***
Sementara itu, di sebuah rumah mewah, Vindi dan tiga orang stafnya tengah merias.
Mereka merias sebuah keluarga artis untuk acara gathering. Vindi memang kerap kali dipercaya beberapa artis papan atas untuk merias.
Sudah tak diragukan lagi bila memang Vindi itu ratu make up yang sangat kondang. Terlebih, saat ini ia sudah memiliki tiga asisten sekaligus, untuk membantu dia menyelesaikan tugas.
Saat memulai tugasnya, awalnya Vindi biasa-biasa saja. Namun, lama-kelamaan, sekelebat firasat yang tak mengenakkan menghampirinya begitu saja.
“Kenapa aku terngiang terus dengan ucapan Reno tadi pagi? Mungkinkah dia selingkuh dengan model, yang baru ia temui?”
Bianca. Ya, dia mengenal model ini. Kata teman-temannya, agak sombong dan pintar bermanis muka dengan media.
Tapi, Vindi tak peduli. Itu bukan urusannya. Rasanya tak profesional, jika ketika menjadi make up artist, dia terlibat pergunjingan itu.
Namun, ini benar-benar kacau. Apakah ini yang disebut feeling seorang istri?
Dia yang awalnya fokus, kini konsentrasinya terpecah belah. Vindi juga bingung dengan pikiran kalut ini.
Vindi merasa gelisah dan sontak membuat dirinya melakukan kesalahan. Saat sesi memakaikan lipstik, justru lipstik itu malah ia corengkan sampai ke wajah kliennya.
Itu semua karena Vindi melamunkan keresahan hatinya. Semua karena Reno mengatakan bisa saja dia tertarik pada Bianca.
“Mbak!” teriak kliennya.
Vindi masih bengong. Bahkan, nyaris saja dia mengores lipstick di hidung kliennya ini.
"Mbak, bagaimana sih? Kan jadi cemong saya!" seru klien itu tak terima dan menepis tangan Vindi.
Vindi mundur beberapa langkah. Wajah perempuan itu sudah seperti nenek lampir. Marah besar padanya.
“Ulah tak becusmu ini, mau saya viralkan, Mbak? Hah!” ancam perempuan dengan bulu mata anti badai itu.