Ringkasan
Nyawa putriku berada dalam bahaya, tetapi suamiku membawa tabib terbaik ke rumah gadis lain. Pada malam dia menjaga di samping gadis yang disukainya, aku menggendong putriku yang tidak sadarkan diri untuk mencari rumah tabib, tapi aku tidak bisa berbuat apa pun saat tubuh putri dalam pelukanku berubah dingin. Setelah mati bersama pasangan tidak tahu malu itu, aku kembali ke hari di mana Andelio berlutut di depan rumahku dan memohon untuk menikahiku.
Bab 1
Angin yang menusuk tulang berembus lagi, daun-daun kering berjatuhan karena embusan angin ini.
Aku duduk di beranda sambil memeluk tubuh putriku yang kedinginan.
Pembantu di rumah yang bernama Deani berkata, "Nyonya, cuaca hari ini sangat dingin, lebih baik masuk ke rumah dan menghangatkan tubuh."
Aku tidak mendengar nasihatnya, terus menyenandungkan lagu anak-anak yang dinyanyikan ibuku ketika aku masih kecil sambil menepuk-nepuk anak dalam pelukanku yang tidak lagi merespons.
Mata Deani berkaca-kaca dan dia kembali berkata dengan tulus, "Nyonya, nona muda sudah tidak ada, kenapa Nyonya memaksakan diri? Dia tidak akan kembali lagi...."
"Tidak akan kembali lagi?"
Aku terdiam sejenak, lalu menoleh untuk menatapnya dengan tatapan kosong. Otakku yang lamban tidak bisa memahami arti kata-katanya.
Bagaimana mungkin?
Hari ini, putriku sangat gembira saat pergi ke istana untuk mengikuti pesta makan malam dengan ayahnya. Dia juga mengatakan akan membawakan makanan ringan untukku. Jadi, mana mungkin dia tidak akan kembali lagi?
Aku berpikir Deani hanya mencoba membujukku, jadi aku menjawab sambil tersenyum, "Deani, aku tidak kedinginan. Wilani pasti menyelinap keluar karena mau pergi main. Aku harus menunggunya pulang. Tanpaku, dia tidak akan bisa tidur."
Deani menjawab tercekat dengan air mata berlinang, "Nyonya, bukankah nona muda ada di pelukan Nyonya?"
Dalam pelukanku?
Bukankah tidak ada apa-apa dalam pelukanku....
Tiba-tiba gerakanku terhenti, lalu tanpa sadar melihat ke bawah. Aku melihat anak kecil dengan wajah pucat dan mata tertutup tengah berada di pelukanku.
"Nyonya, nona muda sudah meninggal! Nona muda meninggal karena diinjak oleh kuda...."
Perkataan Deani di bagian akhir tidak terdengar dengan jelas. Aku merasa embusan angin dingin begitu menusuk seperti pisau, menembus tubuhku dengan keras.
"Deani, dingin sekali, ambilkan perapian. Lihat, Wilani mukanya pucat."
Bagaimana mungkin Wilani yang begitu cantik sepucat ini? Pasti wajahnya pucat karena kedinginan.
Untuk menghangatkan Wilani, aku memeluk Wilani dengan erat, tetapi tanganku tidak sengaja menyentuh pinggangnya.
Dengan hati-hati aku mengeluarkan benda yang terbungkus kertas dari saku bagian dalam bajunya.
Di dalamnya terdapat kue kastanye yang sudah dingin, berdebu dan hancur.
Potongan-potongan kue kastanye itu seperti anak panah beracun yang menusuk-nusuk ke sekujur tubuhku.
Aku tidak bisa menahan air mataku lebih lama lagi dan menangis.
Kemudian, aku mengambil potongan-potongan kue kastanye itu dan memasukkannya ke dalam mulut.
Deani panik dan langsung menghentikanku.
"Nyonya, kuenya sudah tercampur debu, jangan dimakan."
Namun, aku menepis tangannya, terus memakan remah-remah itu hingga habis.
Deani terisak. "Nyonya, kenapa Nyonya seperti ini...."
"Meski begitu, nona muda tidak akan bisa kembali lagi. Dia dibunuh oleh Marquis!"
"Hamba dengar ketika kuda itu mengamuk dan mengincar kereta, Marquis berusaha melindungi orang lain, meninggalkan Nona sendirian di dalam kereta untuk menghadapi kuda gila itu!"
"Saat nona muda terluka parah akibat serangan kuda itu, Marquis membawa tabib istana untuk mengobati nona kedua dari Kediaman Keluarga Marude. Nona kedua itu seperti ketakutan karena kuda yang mengamuk itu."
"Tadi malam ketika Nyonya keliling kota untuk mencari tabib, Marquis ada di samping tempat tidur wanita jalang itu!"
Andelio membunuh putri kami.
Dialah yang membuat putri kami terbunuh.
Pikiranku kembali ke saat Wilani yang baru saja kembali ke rumah dan mengalami demam. Aku tidak bisa menemukan tabib, jadi aku menggendong tubuh Wilani yang penuh darah, berjalan melawan angin dingin di seluruh kota.
Pada akhirnya, aku mendengar suara penyesalan tabib yang menyatakan bahwa kehangatan di tubuh Wilani menghilang sepenuhnya.
"Luka seserius itu hanya bisa disembuhkan oleh tabib istana. Nyonya Helena, aku turut berduka cita atas meninggalnya putri Nyonya."
Memikirkan kembali hal ini, aku memejamkan mata kesakitan, merasakan rasa sakit di hatiku yang rasanya akan meledak.
Tepat pada saat ini, bawahan Andelio datang untuk melapor, "Nyonya, Marquis meminta Nyonya pergi ke Paviliun Gadena. Katanya, ada sesuatu yang ingin Marquis katakan."
Deani yang merasa kesal menimpali tidak puas, "Kalau Marquis ingin mengatakan sesuatu, kenapa tidak datang ke mari saja? Kenapa malah meminta Nyonya pergi ke sana?"
Namun, bawahan Andelio bersikap dingin dan keras, hanya mengucapkan kalimat tanpa ekspresi.
"Marquis mengatakan bahwa tidak masalah jika Nyonya tidak pergi ke sana. Marquis memintaku untuk mengatakan kepada Nyonya bahwa dia akan menikah dengan Nona dari Keluarga Marude."