Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Aku meninggalkan rumah itu dan kembali ke rumah peninggalan ibuku.

Setelah ibuku meninggal, aku pergi dari rumah itu untuk cukup lama. Karena takut akan mengingat ibuku lagi jika aku pulang ke sana, jadi aku tidak pernah kembali.

Begitu aku masuk, rumah itu sudah penuh debu dan bau apek, tapi hal ini membuatku merasa tenang, seolah-olah ibuku masih ada di sana.

Aku berusaha menenangkan pikiranku dan mulai membersihkan rumah itu.

Saat sedang bersih-bersih, aku menerima telepon dari Rio.

"Santi, aku baru saja menelepon ke kantormu, kata mereka kamu sudah pulang?"

Karena kantor lembaga penelitian kami berada di kaki gunung, sinyalnya sangat lemah. Aku selalu menghabiskan sebagian besar waktuku untuk melakukan survei di pegunungan, jadi aku tidak terlalu banyak menggunakan ponsel pribadiku.

Sedangkan Rio hampir tidak pernah berinisiatif untuk meneleponku.

Aku merasa mual ketika mendengar suaranya, lalu aku menjawab dengan nada dingin, "Iya, aku baru saja sampai rumah."

"Kenapa kamu tiba-tiba pulang? Oh iya... Ngomong-ngomong, kamu sekarang berada di rumah ibumu, 'kan? Kamu tidak datang ke rumah kita, 'kan?"

Rio jelas takut ketahuan jadi dia bertanya seperti ini untuk memastikan.

Aku tahu apa yang dia takuti, tapi sayang sekali semuanya sudah terlambat. Aku sudah melihat semua tiket pesawat itu dan perbuatan mereka.

"Aku berada di rumah ibuku, kenapa?"

Mungkin karena nadaku terlalu ketus, Rio terdiam beberapa saat, lalu buru-buru berkata, "Kita sudah sepuluh tahun tidak bertemu, aku ingin segera bertemu denganmu. Tunggu aku, aku akan segera ke sana."

Sebelum aku sempat menjawab, Rio sudah menutup teleponnya.

Kurang dari sepuluh menit, terdengar suara ketukan di pintu.

Aku membuka pintu, benar saja Rio datang.

Namun, aku tidak memperdulikannya. Aku berbalik dan fokus kembali membersihkan rumah.

Rio tidak bodoh, dia bisa merasakan perubahan atas sikapku. Pria itu merasa bersalah, dia langsung meraih tanganku dan bertanya dengan lembut, "Ada apa, sayang? Apak kamu tidak merindukanku? Kenapa kamu tiba-tiba bersikap begitu dingin padaku?"

Aku mencibirnya dan bertanya, "Dela juga sudah pulang, 'kan?"

Ekspresi Rio seketika berubah, bola matanya terlihat sedikit bergetar, dan dia tidak berani menatapku.

"Bagaimana kamu bisa tahu? Iya... Dia sudah pulang. Bagaimanapun kondisi di daerah pegunungan tidak aman. Dia sudah pergi mengajar di sana selama hampir sepuluh tahun."

"Santi, sudah lama sekali kita tidak bertemu, jangan membicarakan orang lain, aku sangat merindukanmu...."

Sambil berkata seperti itu, Rio menarikku ke dalam pelukannya, dia mulai mencium wajahku, lalu memasukkan tangannya ke dalam pakaianku.

Kalau dulu, jangankan sepuluh tahun tidak bertemu, meski hanya sepuluh hari kami tidak bertemu, aku pasti sudah berinisiatif untuk memeluk pria itu tanpa ingin melepaskannya.

Namun sekarang, saat memikirkan 1999 lembar tiket pesawat itu dan pemandangan yang kulihat di rumah pernikahan kami sebelumnya, aku rasanya ingin muntah.

Aku mendorong Rio menjauh dan berkata dengan penuh emosi, "Minggir! Jangan sentuh aku!"

Di mata Rio masih terlihat percikan nafsu, dia menatapku dengan bingung.

"Ada apa denganmu?"

Aku menatapnya tajam, seolah-olah pria di depanku ini bukanlah siapa-siapa, bukanlah pacarku selama sepuluh tahun, melainkan musuh bebuyutanku.

"Kamu masih berani bertanya? Apakah Dela tidak cukup untuk memuaskanmu?"

Rio menatapku dengan terkejut.

"Apa maksudmu? Kenapa kamu membahas Dela? Kami..."

Sebelum dia selesai berbicara, ponsel Rio tiba-tiba berdering.

Sebuah nama yang familier muncul di layar.

Dela sayang.

Wajah Rio seketika terlihat canggung, dia membeku karena bingung.

Aku mencibirnya dan berkata dengan sinis, "Kenapa tidak diangkat? Wanita kesayanganmu itu pasti sudah menunggumu."

Wajah Rio langsung terlihat tidak senang, tapi dia tetap membawa ponselnya pergi ke arah pintu untuk menjawabnya.

Setelah berbicara sebentar di telepon, dia buru-buru berkata kepadaku, "Ada masalah di kantor. Aku pergi dulu, nanti malam aku akan datang lagi."

Melihat punggungnya yang mulai bergerak menjauh tanpa ragu, aku tersenyum sinis.

 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel