09. Sebuah Janji
Aku akan sembuh dengan cepat, meski dipukul hingga hancur berkeping-keping, aku akan tetap berdiri di atas kedua kakiku.
***
Tak ada yang memintanya menunggu di sana, pun dengan orang yang sedang ia tunggu, tak mengharapkan kehadirannya. Namun dengan pendirian teguh yang ia punya, ia tetap duduk menunggu di bawah pohon dekat lapangan sekolah sambil memangku botol air dan handuk kecil berwarna hijau.
Ia tidak melakukan apa-apa, ia hanya sedang memandang kagum pada objek yang sedang di nantinya sejak tadi. Sosok itu mendekat dan berjalan menghampirinya.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Dino setelah mendekat dengan peluh hampir membasahi seluruh tubuh dan bajunya yang basah oleh keringat seorang kapten dari tim sepak bola Furukawa High School itu.
Ssuai jadwal pada hari Rabu, ada ekstrakurikuler sepak bola yang harus Dino ikuti, yaitu menjadi penjaga gawang di timnya sendiri. Tentu tidak mudah bahkan bagi orang sepiawai Dino sekalipun. Lisa, gadis yang ditanya oleh kekasihnya pun bangkit berdiri dari posisinya semula.
Gadis itu kembali menyodorkan handuk dan botol minum yang tak pernah bosan ia persiapkan untuk Dino, yang kali ini diterima dengan baik oleh pemuda itu. Reaksi Dino saat itu membuat Lisa tersenyum senang.
"Em, Dino-kun, aku tak bisa pulang dengan Dino-kun sehabis ini," ucap Lisa memberitahu dengan suara pelan. Sang gadis memilih untuk menatap tepat pada iris mata berwarna hitam milik pemuda tampan di depannya. Dino masih tak bereaksi apa pun selama beberapa saat.
"Mau kemana?" tanya pemuda itu datar. Dino menenggak air di dalam botol minum pemberian Lisa sampai hanya menyisakan setengah.
"E-eehh?" Lisa bergumam tanpa sadar. Pertanyaan Dino itu jelas tak pernah diduga sebelumnya oleh Lisa, mungkin kali ini pemuda itu menaruh kekhawatiran padanya. Jadi dengan semangat, Lisa menjawab pertanyaan Dino itu.
"Entahlah, Dino-kun. Mungkin aku akan kembali ke kuil yang kemarin dan berdoa di sana."
"Oh, baiklah. Jadi aku punya alasan yang tepat jika ditanya oleh ibuku nanti," jawab Dino dengan ekspresi dingin. Matanya hanya memandang lurus ke depan, tanpa sedikitpun melihat ke Lisa.
"Ah, iya." Lisa mendesah kecewa, belum saatnya ia mengharap terlalu banyak pada pemuda Leckner itu. Buru-buru ia mengemas barang-barangnya.
"Baiklah, aku pulang duluan yah, Dino-kun." Lisa lalu berpamitan dengan cara melambaikan tangan disertai rasa canggung yang bercampur dengan antusiasme yang terlihat agak aneh. Ia berbalik menjauh dari lapangan tempat Dino berlatih sepak bola dan berlari menuju kelas.
Dari pinggir lapangan, manik cokelat milik Lisa menangkap sosok teman sebangkunya yang terlihat sedang bersembunyi di belakang pohon Kamboja. Di tangan mungil gadis bersurai hitam itu, terdapat handuk dan juga sebotol minuman, sama seperti yang Lisa bawa di tangannya. Lisa menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan.
Rosa tentu akan memberikan handuk dan botol minuman yang ia bawa itu pada Dino, seandainya Lisa tadi tidak bergerak mendahuluinya. Ya, Lisa tahu jika dia dan Rosa sama-sama menyukai pemuda itu, memiliki perhatian yang sama pada si bungsu Leckner, sama-sama mempunyai cinta yang besar, tapi hanya satu orang saja yang mendapat hati dari laki-laki itu.
Tanpa perlu disebut, Lisa tahu bahwa bukan dia yang dimaksud.
***
Kita jadi seperti dua orang berbeda yang tak saling mengenal. Berdekatan tapi tak mengetahui, beriringan tapi tak pernah menyadari. Jika seperti ini terus, kita akan benar-benar asing terhadap satu sama lain.
***
Berjalan sendiri ke tempat peristirahatan terakhir dari Mogi Leckner bukan hal baru bagi Lisa. Ia akan melewati taman kanak-kanak tempat Melly mengajar, wanita yang ditinggal mati oleh suaminya saat bertugas menjadi polisi, yang kini sedang dekat dengan Doran, ayahnya Lisa.
Gadis itu mampir sebentar ke area taman kanak-kanak yang sekarang sudah tak menampakan aktivitas para muridnya, langkah kaki mungil gadis bermarga Hogward itu menuju ke arah kantor para guru, tapi kemudian dia berhenti saat itu juga.
Lisa mengurungkan niatnya menemui Melly saat ingatannya harus menyadarkan dia kalau wanita anggun itu pasti tengah berkencan dengan sang ayah. Lisa tersenyum geli mengingat tingkah laku ayahnya yang lain dari biasanya, sesaat sebelum ia berangkat ke sekolah tadi.
Hati Lisa menghangat, sebegitu cepatnya Tuhan mengabulkan permintaannya dan karena hal ini pulalah, ia tahu semua akan baik-baik saja. Jika ia terlalu beruntung, mungkin hubungannya dengan Dino juga akan membaik seiring berjalannya waktu.
Gadis mungil yang masih menggunakan seragam sekolah itu berbinar bahagia saat tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang ada mobil es krim yang tengah berhenti. "Aku mau es krim," gumam si sulung Hogward dengan suara pelan, nyaris berbisik. Lisa lalu melangkah mendekati mobil yang menjual beragam rasa es krim itu.
Mungkin hanya imajinasi Lisa saja jika setelah memakan es krim ini hatinya menjadi bertambah senang, ia sedang merasa bahagia sekali hari itu, dan siap memulai langkah baru. Langkah dalam masa depannya, dan juga langkah yang perlu ia ambil pada hubungannya yang tak bisa dikatakan normal oleh sebagian orang itu. Lisa kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke tempat peristirahatan abadi Mogi Leckner dengan es krim dingin di tangan.
Pikirannya melayang jauh, tangan kanannya masih menggenggam erat es krim, jalanan sekitarnya dirasa terlalu sepi, jadi ia memilih berjalan santai di pinggir jalan. Toh, tak mungkin ada yang akan menabraknya karena desanya itu tak padat penduduk.
Sampai kemudian ....
Secara tiba-tiba, Lisa hampir saja terjatuh jika saja tak memiliki respons yang cepat, ia memandang nanar pada es krim yang semula berada di genggamannya, yang kini telah berpindah tempat pada kaos orang yang menabraknya. Orang itu justru terduduk karena teratuh dari tabrakan yang mengejutkan tadi.
"Baka!* Matamu kemana, sih? Jalan gak pakai mata, ya? Jadi lutut yang gantikan, hah!"
Pemuda yang Lisa kira seumuran dengannya itu terdengar mengumpat pelan. Lisa menatapnya bingung sekaligus jengkel, siapa yang menabrak siapa, sih?
"Kalau jalan itu lihat-lihat sekitar dong, jangan karena es krim kau jadi lupa segalanya, ya! IQ-mu itu berapa sih!? Lihat seragamku jadi kotor, kan!" Umpatan kembali terdengar dari pemuda yang sepertinya tak punya filter kesopanan pada mulutnya.
Lisa menarik napas dalam-dalam, emosi hampir menguasai. Daripada berdebat tidak penting dengan pemuda aneh yang memiliki tampang berandalan, gadis itu lebih memilih berlalu saja. Tak memedulikan teriakan si pemuda yang masih terus menyumpahinya.
Toh, hanya orang lalu saja.
***
Langkah kaki mungil Lisa membawanya ke sekumpulan pusara, hening yang menjadi teman Lisa di sini, ia bersimpuh di dekat pusara Mogi, tak meletakan bunga melati seperti biasa karena ia lupa membelinya tadi di pasar.
Salahkan ia yang terlalu terpikat pada es krim manis yang beberapa saat lalu terjatuh ketika dia sibuk menikmati, sehingga membuatnya lupa membeli bunga.
"Halo Mogi-jisan," sapa Lisa dengan sopan. "Hari ini aku memulai hari dengan baik, aku mencoba mengikhlaskan semuanya, dan aku akan tetap bertahan, Ji-san. Walau aku tak tahu akhirnya akan seperti bagaimana."
Semilir angin menerbangkan helaian rambut cokelat Lisa dengan lembut, sedikit mengganggu wajahnya. Buru-buru gadis itu menyampirkannya ke sisi telinga.
Kini, tak seperti yang dulu, tak ada lagi air mata yang akan mengalir. Yang ada hanyalah senyuman tulus yang terukir di wajah cantik gadis itu. Lisa kembali berkata pada makam di depannya, "Aku akan terus bertahan."
"Tak peduli sesakit apa ke depannya, aku akan bertahan untuk Dino-kun."
***
Pojok kosa kata yang muncul dan akan muncul.
Hontou : Benarkah? Dalam bahasa Jepang.
Baka*: Ucapan yang artinya 'Bodoh' dalam bahasa Jepang. Biasanya untuk mengumpat seseorang atau sebagai candaan kepada teman sebaya yang akrab.