08. Seperti Tak Terjadi Apa-apa
Pada keesokan harinya, Lisa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan bersih-bersih rumah, menyiapkan bento untuknya dan sekalian untuk ayahnya, memeriksa tas sekolahnya sekali lagi agar tak ada barang yang tertinggal.
Klise, hanya itu yang ia lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah melakukan rutinitas yang biasa ia kerjakan setiap pagi, Lisa pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Selesai mandi dan mengeringkan badan, Lisa mengambil seragam sekolah dari dalam lemari pakaian, memakai seragam itu dengan cepat, lalu memasang dasi di kerah seragamnya, juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis.
Lisa memandang pantulan dirinya di cermin, cukup bagus dan rapi.
Tak perlu terlalu mencolok, sebab dia sudah cukup manis. Hanya saja, Lisa tak berpikiran seperti itu. Dia tak tahu jika sebenarnya dia memiliki senyuman yang indah. Memastikan sekali lagi penampilannya di cermin dan Lisa akhirnya selesai juga. Tak perlu berlama-lama baginya untuk mematut diri di depan cermin. Tidak bagus jika terlalu lama memandangi diri sendiri, yang ada hanya akan menimbulkan kesombongan.
Lisa melirik jam digital yang berada di atas meja riasnya, sambil melangkah keluar dari kamarnya gadis itu bergegas menuruni anak tangga untuk sarapan di bawah bersama sang ayah.
Tampak belum ada siapa-siapa di meja makan, dan itu berarti ayahnya masih belum bangun dan keluar dari kamar. Lisa tersenyum sembari menuju dapur dan menyiapkan sarapan dengan cepat. Kaki mungilnya bergerak lincah saat mengantar dan menghidangkan makanan dengan lauk seadanya di atas meja makan. Biasanya dia sudah memasak makanannya sebelum mengenakan seragam, jadi ketika turun ke bawah sarapan tinggal disiapkan saja.
Tapi pada pagi itu tidak, jadi Lisa harus menyiapkan dari awal dan begitu selesai dia tinggal duduk menunggu ayahnya datang ke meja makan. Sang gadis menatap makanan yang telah ia siapkan untuk sarapan pada pagi hari itu, ada nasi goreng, dua telur mata sapi, dan juga mie rasa soto banjar yang sudah dipanaskan.
Sederhana memang, karena ia sekarang hanya tinggal berdua saja dengan ayahnya semenjak Mira adiknya masuk ke sekolah tingkat pertama. Adiknya itu memang masuk ke sekolah berasrama, dan hanya pada waktu libur saja dia akan pulang ke rumah.
Samar-samar Lisa seperti mendengar suara pintu berderit yang dibuka perlahan, menandakan ada seseorang yang membuka pintu. Terdorong rasa penasaran, Lisa pun menoleh ke sumber suara dan tersenyum lembut begitu menemukan seraut wajah ngantuk seseorang. Ayahnya yang baru saja bangun dari tidur telah mendekat ke meja makan.
"Halo Ayah, ohayou*," sapa Lisa dengan riang. Tatapannya bertemu dengan Doran.
Ayahnya tersenyum dan membalas sapaan anak gadisnya itu, "Ohayou, Lisa."
Doran kemudian mendudukkan dirinya di salah satu kursi, berseberangan dengan kursi tempat Lisa berada. Mereka secara bersama-sama mengatupkan kedua tangannya di depan dada, berdoa dalam hati dan setelahnya mengucapkan, "Ittadakimasu.*"
Lisa dengan perlahan menyendokkan kuah mie instan ke dalam mulutnya, sedangkan sang ayah meraih sepotong telur mata sapi dengan sendoknya. Memotongnya menjadi beberapa bagian, lantas memasukannya ke dalam mulut bersamaan dengan nasi, mengunyahnya sampai halus lalu menelannya hingga hanya menyisakan sendok kosong di tangan.
"Seperti biasa, makanan yang kau buat selalu nikmat, Anakku," puji Doran sambil tersenyum tipis. Lisa tersipu, menurutnya makanan yang ia buat tak seperti yang dikatakan oleh sang ayah, tapi ia sangat senang mendengar pujian itu terlontar keluar dari mulut ayahnya.
"Terima kasih, Tou-san," balasnya malu-malu. Ayah Lisa tersenyum tipis menanggapinya. Mereka melanjutkan sarapan dengan kesunyian yang menyelimuti. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring makan, dan selain itu tak ada suara lain yang menginterupsi. Karena memang saat berada di meja makan, akan dirasa kurang sopan jika ada yang berbicara kecuali ada sesuatu yang penting yang bisa dibicarakan. Itu pun formalitas saja.
Selesai makan, Lisa memberanikan diri buka suara. "Bagaimana keadaan Ayah hari ini?"
Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan kecil dari Doran. "Cukup baik, Lisa," jawabnya sambil menyapu bibir dengan tisu makan. Lisa tersenyum dan segera berdiri merapikan piring bekasnya dan sang ayah makan, lalu membawanya ke tempat pencucian piring untuk dibersihkan.
Sedangkan sang ayah beranjak ke dalam kamar mandi, menuntaskan buang air sekaligus membersihkan diri. Tepat setelah Lisa selesai mencuci piring, sang ayah keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.
Ayahnya segera menuju kamar, dan memakai baju yang sudah tersedia, siap berangkat ke tempat kerja. Anaknya mengambil sepatu sekolah, sebelumnya Lisa sudah memakai kaos kaki warna putih dengan belang tipis warna hijau yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. Kaos kaki itu terasa nyaman, barulah setelah itu dia mengenakan sepatu sekolahnya yang berwarna hitam.
"Kau akan langsung berangkat, Lisa?" Suara berat Doran mengejutkan Lisa, dia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ayahnya tadi.
Gadis itu memeriksa isi tasnya sekali lagi, takut jika ada barang yang tertinggal, lalu setelah itu ia tampak gelisah saat mengingat sesuatu. Dia menepuk pelan dahinya karena telah melupakan sesuatu yang teramat penting, dan segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua, mengambil sesuatu yang sempat terlupakan itu, kemudian bergegas turun setelah mendapatkan barang yang diinginkannya.
Sang ayah mengernyit heran melihat putrinya menenteng dua buah barang di tangan dengan wajah yang terlihat berseri-seri. Seakan baru saja menemukan harta karun berharga.
"Ittekimasu!*" pamit Lisa dengan ceria, ia membuka pintu rumahnya dan berlari kecil sembari bersenadung pelan.
"Hm, itterashai*," balas sang ayah seraya menatap punggung putri sulungnya yang semakin menjauh dari pagar rumah, ia lalu menutup pintu depan dengan segera.
Dino memandang lurus pada kekasihnya yang sudah siap sedia berdiri di depan gerbang rumahnya dengan senyum mengembang, wajah porselen milik gadis itu memancarkan keceriaan yang jarang sekali dia lihat.
"Kau perlu ini dan ini untuk pelajaran olahraga nanti, Dino-kun," ucap Lisa penuh perhatian seraya menyodorkan sebotol air minum dan juga handuk kecil kepada Dino.
"Hari ini tak ada jadwal olahraga untuk kelasku," jawab Dino dengan ketus, setengah merasa geli sebab Lisa tak ingat dia tak ada mata pelajaran olahraga di hari itu. Dino lalu menepis botol dan handuk kecil yang masih disodorkan oleh Lisa karena tak segera diambil.
Gadis yang lagi-lagi mendapat ucapan sengit dari kekasihnya itu hanya tersenyum malu, sama sekali tak merasa tersinggung. "Ah iya, aku lupa, gomen," bisiknya lembut.
Sang gadis memasukan handuk dan botol minum yang ia bawa ke dalam tas sekolah miliknya, lalu bergegas menaiki boncengan sepeda Dino. "Kau tak perlu membawakan aku handuk dan botol minum itu lagi besok. Bersikap biasa saja, jangan berlebihan," ucap Dino mengingatkan.
Dino tidak suka diperlakukan seperti itu terus oleh Lisa dan apa yang dilakukan oleh gadis itu di setiap harinya sudah agak berlebihan menurutnya.
"B-baiklah, aku mengerti," jawab Lisa pelan sambil menundukkan kepala.
Dino mendengkus sekali. "Bagus," katanya.
Tak perlu berlama-lama bagi Dino untuk beranjak dari depan rumah keluarga Hogward, karena ia ingin segera sampai ke sekolah dan menghindar dari gadis di belakangnya. Sang gadis pemilik rambut panjang kecokelatan yang tangannya memegang jas Dino kembali disingkirkan oleh Dino yang risih. Untuk kali ini, sang gadis bersikukuh tetap mencengkeram jas itu.
"Sebentar saja, Dino-kun. A-aku janji hanya sebentar saja."
Setelah ini tidak lagi, sungguh, bisik Lisa dalam hati. Walau Dino tidak percaya dengan apa yang baru saja Lisa lontarkan, akhirnya dengan sangat terpaksa, ia pun mengiyakan permintaan gadis itu. Dino memulai hari Kamisnya dengan mood yang luar biasa buruk setelah sang gadis melingkarkan tangan di perutnya.
Dino tak pernah merasa nyaman dengan keberadaan Lisa di sampingnya. Apa selama ini gadis itu tak peka terhadap sikap apatis yang sengaja Dino perlihatkan padanya? Padahal Dijo bermaksud membuat sahabat kecilnya itu menyadari bahwa tak ada sedikit pun rasa yang ia miliki untuk Lisa.
Sejak dahulu sampai kapan pun itu, tidak akan pernah.
***
"Kau kenapa, kawan?" Zaki merangkul Dino pertama kali ketika anak itu baru saja masuk ke ruang kelas. Zaki adalah teman sebangku Dino sejak kelas satu.
"Hn." Dino memberikan respons yang terlalu singkat untuk menjawab rasa penasaran teman sebangkunya dan membuat Zaki berdecak kesal karena sikap temannya tidak pernah berubah sejak dulu. Apa dengan dua huruf konsonan itu semua orang akan langsung tahu maksud sebenarnya dari ucapan si bungsu Leckner?
Rosa memandang takut-takut pada sahabatnya yang terlihat bayangannya di depan pintu kelas, ia menyesal sudah berkata bahwa dia menyukai kekasih gadis itu kemarin, tapi segalanya sudah terlanjur terucap. Tak akan bisa kembali seperti semula. Rosa jelas akan menghadapi masalahnya sendirian dan dia tak akan menghindar kali ini. Jadi seperti inilah seorang Rosa Manoban, mengikuti arah jalan Lisa yang semakin dekat dengan tempat duduknya.
"Selamat pagi, Rosa-chan," sapa Lisa terdengar riang.
Mungkin akan sangat biasa jika Lisa datang dengan raut muka kusut, tapi dengan keadaan Lisa sekarang, jelas Rosa bingung atas sikap sang gadis yang seolah tak pernah terjadi apa-apa padanya. Mungkin sebenarnya Rosa harus bersyukur Lisa tak lagi mengingat hal kemarin dan juga bersikap "tak ada yang terjadi" sama seperti teman baiknya itu. Bersikap seolah kejadian kemarin itu tak benar-benar terjadi. Apakah itu mampu menghilangkan masalah ini begitu saja?
"Lisa-chan, tentang kemarin—"
"Aku sudah tak memikirkannya," potong Lisa dengan cepat. Dia tak ingin kebahagiaannya hari itu terusik dengan ingatan suram kemarin sore. Rosa terdiam seketika, kata-kata yang semalam berhasil ia kumpulkan untuk menjelaskan masalah yang terjadi di antaranya dengan Lisa mendadak buyar seketika.
Jika seperti ini, apa yang akan Rosa katakan?
Lee Na, si gadis blasteran Korea yang duduk tepat di depan meja Lisa pun menoleh ke belakang, memandangi sahabatnya yang sibuk berkutat dengan buku pelajaran yang baru beberapa saat lalu ia keluarkan dari tas. "Sepertinya Lisa-chan senang sekali hari ini. Apa sesuatu sedang terjadi?" tanya gadis itu tak kalah cerah seperti matahari.
Rosa yang baru saja selesai dengan alam pikirannya lantas ikut memperhatikan Lisa dengan saksama, kali ini dia harus setuju dengan ucapan gadis berkuncir dua yang suka sekali makan sate. Lisa terlihat berbeda, senyumnya lebih cerah dan bermakna.
"Hontou?*" tanyanya, dan langsung mendapat anggukan dari teman-temannya.
"Hm, ya ... mungkin karena aku berharap akan ada kejadian baik yang akan kudapatkan hari ini," ucap Lisa sambil menyunggingkan senyum terbaik yang dia miliki.
Semua akan baik-baik saja, dan dia tahu itu.