MEMULAI SEBUAH PERMAINAN
“Kau masih muda, dan bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari ini, kenapa kau malah lebih memilih bekerja di rumah bordil mengerikan ini?”
Dona terkejut mendengar perkataan Ardan.
Pasalnya, baru pertama kali ada klien yang mengatakan hal seperti ini padanya. Kebanyakan klien yang ditemuinya pun tidak berkata apa-apa dan langsung menidurinya. Dan Dona agak sedikit bingung menjawab pertanyaan Ardan.
"Berapa umurmu?" tanya Ardan kembali.
"20 tahun." Dona lalu menunduk.
Ya, Dona memang masih muda. Lantaran, ibunya, Almaira memiliki utang ratusan juta pada Mami Sandra, mucikari di rumah bordil itu, Dona harus membayarnya dengan tubuhnya.
Awalnya, Dona memang tidak mau bekerja seperti ini. Tetapi Sandra mencoba memanfaatkannya.
Tentunya, tidak pernah terbesit di dalam benaknya untuk menjadi seorang penghibur. Hanya saja, malam ini datang seorang pengacara, dan asistennya ke rumah bordil, berbicara dengan Shandra dan bermaksud ingin mengadakan rapat bersama kliennya. Mereka meminta Shandra untuk menyuguhkan perempuan paling cantik dan akhirnya Shandra meminta Almaira agar mau menyerahkan dirinya untuk menjadi perempuan malam.
Yang menyesakkan, ibunya mengizinkannya. Dan Dona hanya tahu ia harus menghibur pengacara bernama Ardan Argantara Pramuria.
Hampir saja airmata melesak keluar, tetapi saat mendengar Ardan melangkah kakinya, mendekat padanya, Dona segera menengadah.
"Kenapa kau menjual tubuhmu?" tanyanya.
Tetapi kali ini Dona tidak menjawabnya.
"Apa kau tidak punya kepintaran apa-apa selain memanjakan para laki-laki?"
Dona merasa tersinggung. Ia menatap Ardan dengan tatapan mengerikan. “Apa kau tidak menyukai perempuan?”
Menurutnya, Ardan bisa mendapatkan perempuan mana pun yang ia mau dengan serius. Tetapi kenapa laki-laki ini malah mencari perempuan malam? Pasti, ada sesuatu, bukan?
Dan pertanyaan itu sukses membuat Ardan merengut kesal dengan wajah terlihat semakin memerah. Lantaran, dia mencoba menasihati Dona dengan serius, tetapi wanita itu malah melawannya.
“Kau jangan asal bicara, aku normal. Bahkan 1000%! Apa perlu aku buktikan, Madona?” Ardan menyentak dagu Dona.
Madona hanya diam dengan pasrah, terlebih saat Ardan langsung mendorong tubuhnya ke ranjang. Pria itu lalu membuka seluruh pakaiannya, hingga memperlihatkan apa yang tersembunyi di baliknya. "Buka bajumu," perintahnya tegas.
Dona pun melakukannya. Ini bukanlah kali pertama Dona melakukannya. Dona tentunya sudah pernah melihat tubuh para pria lain. Tetapi... tubuh Ardan sangat atletis.
Saat semua pakaian lepas, Ardan memperhatikan Dona. Tubuh wanita itu sangat sintal dan wajahnya juga cantik, sesaat Ardan mengangguminya. Tetapi terlintas di pikirannya, bahwa perempuan ini murahan dan pastinya sudah sering melakukan bersama laki-laki lain.
Ardan mengeraskan rahangnya, lalu akhirnya naik ke ranjang dan menghirup tubuh Dona yang wangi.
Dan tanpa berlama-lama, Ardan melakukan penyatuannya bersama Dona.
“Ternyata perempuan malam sepertimu masih saja nikmat,” ujarnya setelah selesai. Napas mereka saling memburu.
Ardan tapi menatap bercak merah di seprai. Seingatnya, Ardan tidak melihat ada darah yang keluar saat mereka melakukan itu. Dan Dona juga tidak meringis kesakitan.
“Apa kau masih perawan? Tidak mungkin bukan perempuan sepertimu masih perawan?”
Ardan lantas bangkit dari tempat tidurnya, ia sempat memperhatikan Dona yang menatapnya dengan bingung. Karena Dona tidak menjawab, dia lantas berjalan menuju kamar mandi yang berada di kamar Dona.
“Apa dia tidak pernah melakukan hubungan dengan pacarnya?” tanya Dona setelah pria itu menghilang ke kamar mandi.
Jelas-jelas, ini adalah motif seprai yang memang terlihat seperti bercak.
Dona lantas membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, menyelimuti tubuh polosnya. Dia masih menanti Ardan kembali dari kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, Ardan keluar dari kamar mandi dengan tubuh terekspos dan handuk dililitkan ke pinggangnya, menutupi daerah spesial itu.
"Apa kau akan langsung pergi dari sini?"
Ardan menatapnya dengan meremehkan. "Kenapa? Kau tidak rela aku pergi?"
"Masih ada waktu sekitar 15 menit lagi. Tapi jika--"
"Dasar wanita murahan!"
Dona terkesiap mendengarnya. Ia hanya menyampaikannya saja, karena biasanya para tamu keluar setelah waktu benar-benar habis. Kadang ada yang sengaja berlama-lama hingga meminta tambahan waktu.
Baru kali ini ada tamu yang keluar lebih cepat. Dona takut jika pria itu melaporkan pada mucikarinya bahwa ia melakukan kesalahan.
Ardan menyunggingkan senyuman sinis. "Dasar Perempuan tak bermoral, sudah bagus aku membayarmu, bagaimana kalau kau tidak ada satu pun yang menyewamu malam ini?!" remeh Ardan dengan seringaiannya.
Madona lantas bangkit dari ranjangnya, dia tak menyangka akan ada pria yang berani merendahkannya dengan menyebutnya perempuan tak bermoral.
"Berani sekali kau mengataiku serendah itu? Hei, pria kaya! Kau memang bisa membeli semuanya dengan uangmu, termasuk tubuhku. Tapi, satu hal yang tak pernah akan kau dapatkan adalah--"
"Apa yang tak akan pernah aku dapatkan, ha? Kau ini ngomong kayak orang benar saja, sudah bagus aku membayarmu. Kau kan yang memilih seperti ini?" tukas Ardan memotong ucapan Madona.
Dona mengepalkan kedua tangannya. "Pria seperti kau tidak akan pernah memiliki cinta, jangankan mendapatkan merasakannya pun kau tak akan pernah!" Madona berkata dengan bibir bergetar sambil menatap Ardan.
"CIH!" Ardan mendecih dengan sinis. "Perempuan sepertimu tidak pantas berbicara soal cinta. Sadar kau ini adalah perempuan tak bermoral. Di kepalamu ini hanya ada uang, uang, dan uang bukan?"
Ardan berjalan menuju laci di meja, lalu melemparkan segepok uang hingga jatuh berserakan di lantai.
Ardan lantas pergi meninggalkan kamar itu, dan segera menghampiri Abdi, asisten pribadinya yang menunggu di bar, dan terlihat ditemani oleh perempuan malam lainnya.
Tetapi panggilan seseorang menghentikan Ardan.
"Tuan Ardan," panggil Shandra.
Ardan lantas menoleh, "Apa lagi?" tanyanya dengan tangan memijat keningnya.
"Apa Anda terpuaskan oleh Primadona di tempat saya ini, Tuan?" Shandra sangat berharap kalau Ardan sangat puas oleh pelayanan yang diberikan oleh Madona.
Tetapi Ardan tidak menjawab, ia malah pergi begitu saja dari rumah bordil itu.
Shandra meradang ketika pertanyaannya sama sekali tidak di jawab oleh Ardan.
Shandra kembali berlari, membuka pintu mobil. Sebelum menutupnya, ia berkata, "Jika berkenan, silakan mampir kemari lagi."
Ardan lagi-lagi tidak menjawab, ia menatapnya lalu menutup pintu mobil dengan keras. Setelah itu, mobil melaju pergi, meninggalkan Sandra sendirian.
"Kenapa dengan raut wajah, Tuan Ardan? Mengapa dia sangat sinis sekali? Apa Madona tidak melayaninya dengan baik? Atau mungkin, dia tidak mendapatkan pelepasannya?" Shandra segera berbalik memasuki rumah bordil lagi.
Sedangkan di kamar.
Madona menatap uang yang jatuh itu dengan sedih. Ia lalu ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya sambil memangis. Ia tidak mau bekerja seperti ini, tetapi bagaimana caranya bisa melunasi utang-utang ibunya?
Pria itu bahkan memperlakukannya dengan sampah. Jejak-jejak pria itu bahkan masih terlihat jelas di tubuhnya.
Setelah membersihkan diri, Dona memakai bajunya kembali lalu keluar dari dalam kamarnya. Tidak lupa sebelumnya ia memungut uang yang berserakan itu.
Dona berjalan pulang untuk menemui ibunya, Almaira.
Tetapi, tangannya ditarik oleh Shandra.
"Ikut denganku! Ada yang perlu dibicarakan!"