Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Anggap Saja Si Bodoh Itu Sudah Dibereskannya

Bab 5 Anggap Saja Si Bodoh Itu Sudah Dibereskannya

Nelson menghela napas lagi, kemudian berjongkok.

Bulu mata anak ini panjang, membuat orang tertarik. Biasanya Nelson tidak akan mau repot-repot menghabiskan waktu untuk hal semacam ini. Namun saat ini, ia merasa dirinya berubah menjadi seperti bukan dirinya lagi.

"Kau umur berapa? Mamimu memakaikanmu celana seperti ini?"

Tak sabaran ia bertanya pada Sean setelah melihat resleting celananya benar-benar tersangkut.

Sean berkata, "Aku umur 4 tahun! Seorang pria dewasa!"

"Pria dewasa bahkan tidak bisa menyelesaikan masalah resleting celananya yang tersangkut sendiri?"

Biasanya Nelson tidak akan bicara sebanyak ini, tapi entah kenapa ia merasa nyaman dengan anak di depannya sekarang, dan tanpa sadar sedikit banyak bicara.

Mata Sean sekilas menyiratkan sesuatu, namun secepat kilat sinar itu menghilang, tak sempat ditangkap apa maksudnya.

"Sudah."

Ketika Nelson membuka resleting celananya, tiba-tiba Sean berseru.

"Yah, Paman, aku sudah tidak tahan lagi!"

"Apa?"

Baru saja Nelson selesai bicara, sebuah benda yang hangat menyemprot ke wajahnya, "Maaf, aku tidak sengaja!"

Sean buru-buru minta maaf, lalu ia segera melesat ke dalam bilik dan mengunci pintunya.

Nelson baru tersadar benda apa yang baru saja menyemprot ke wajahnya!

Sialan!

CEO ternama sepertinya disemprot dengan air seni oleh bocah kecil tepat di wajah?

Nelson semakin geram.

"Bocah nakal, cepat keluar!"

Sudah berapa tahun ia tidak semarah ini.

Sean tetap berada di dalam bilik, sudut bibirnya menyunggingkan senyum, namun ia berkata sambil pura-pura menangis, "Paman, maaf, aku barusan benar-benar tidak tahan lagi. Kau tunggu saja, aku akan minta mamiku mengganti rugi padamu ya? Atau kalau tidak kau pipisi saja aku balik?"

Kata-katanya ini membuat Nelson membisu.

CEO ternama sepertinya, mengencingi seorang anak kecil?

Apa jadinya?

Nelson merasa api dalam hatinya membara tanpa bisa tersalurkan, ekspresi di wajahnya lebih menggambarkan kegeraman dalam hatinya.

Cepat-cepat ia mencuci muka dengan air, tapi masih saja merasa tidak nyaman, ia mengulanginya lagi dan menyabuni wajahnya dengan sabun cuci tangan, namun tetap saja bau itu masih terasa.

Sean yang masih terus mendengar gerakan-gerakan halus di luar sana semakin melebarkan senyumnya.

Siapa suruh kau menyakiti mami!

Siapa suruh kau membuang kami!

Hari ini biarkan aku memberimu sedikit pelajaran, anggap saja sebagai bunga selama beberapa tahun ini, nanti kami akan pelan-pelan bikin perhitungan denganmu!

Mata Sean bersinar kegirangan, namun ia tetap berkata sambil berpura-pura menangis, "Paman, jangan pukul aku ya? Anggap saja kau sedang dipipisi oleh anakmu sendiri. Aku benar-benar tidak sengaja. Juga jangan beritahu mamiku ya? Dia akan menghajarku! Huhu!"

Habislah, Sean sudah mengeluarkan suara tangis pura-puranya itu.

Nelson terdiam dan menghentikan apa yang sedang dilakukannya.

Anak sendiri?

Kalau tahun itu Samantha tidak meninggal, mungkin anak mereka juga sebesar ini sekarang?

Nelson menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, ia tidak pernah terlihat begitu menyedihkan, rambutnya basah dan menempel di dahinya, kedua matanya yang menekuk ke atas memancarkan kemarahan.

Matanya?

Mendadak Nelson sadar bahwa anak tadi juga memiliki sepasang lipatan mata yang sama persis dengan miliknya.

Pantas saja ia merasa anak itu tidak asing, ternyata karena kedua matanya.

Di seluruh Manado, orang yang punya mata seperti ini tidak banyak, dan mungkin juga karena alasan itulah, ia menjadi sedikit lebih sabar dengan anak itu.

Nelson menghela napas, lalu berkata dengan dingin, "Kejadian hari ini tidak boleh beritahu siapapun, termasuk mamimu, dengar tidak? Dan jika lain kali kita bertemu, kau juga tidak boleh bilang kalau mengenalku."

"Oh, aku mengerti! Aku janji tidak bilang!"

Sean buru-buru menjawab, begitu menurut hingga membuat orang tak sampai hati.

Si bodoh ini, Nelson anggap sudah membereskannya.

Sekali lagi ia memandang bilik itu dengan jengkel, lalu meninggalkan toilet dengan gusar.

"Tuan Nelson, kenapa Anda?"

Terdengar suara aisstennya yang terkejut, namun Nelson malah melangkah besar-besar dan meninggalkan tempat itu.

Begitu merasa di luar tidak ada suara lagi, Nelson baru keluar dari bilik. Ia melihat arah Nelson pergi, sudut bibirnya mengembang, tangannya langsung meraba kamera kecil di bagian bawah wastafel, lalu memasukkan kamera itu ke dalam kantongnya, mencuci tangan, dan barulah ia keluar dari toilet.

Samantha sudah sejak tadi menunggu di luar toilet, namun Sean tak kunjung muncul, ia sedikit merasa khawatir. Ketika ia sedang ingin meminta seseorang untuk membantunya melihat ke dalam, dilihatnya Nelson yang keluar dari toilet itu dengan marah dan gusar, rambutnya basah, seperti baru dikeramas saja.

Nelson adalah seorang pria yang sangat memperhatikan penampilan, untuk hal ini Samantha sangat tahu, namun saat ini ketika melihatnya begitu menyedihkan seperti itu, tak urung ia melongo, dan tanpa sadar bersembunyi di samping, sebisa mungkin mengurangi keberadaan dirinya.

Dia sudah kembali.

Hutang mereka lima tahun yang lalu pasti akan ditagihnya perlahan-lahan, tidak perlu buru-buru untuk saat ini.

Setelah Nelson berlalu sambil uring-uringan, barulah Sean muncul dari dalam toilet.

"Sean."

Sean tahu apa yang dikhawatirkan Samantha, namun ia berpura-pura polos dan bertanya, "Kenapa mami? Aku hanya ke toilet, kenapa kau begitu gugup? Oh ya, paman yang barusan tampan ya. Bagaimana menurutmu, mami?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel