Bab 4 Kalah Dari Adik
Bab 4 Kalah Dari Adik
Vano nampak menggerutu gak jelas akibat melihat pamandangan yang tak seharusnya ia lihat. Kini ia merasa ingin melakukannya namun itu sangat sulit baginya.
"Ternyata adikku yang lembek ternyata lebih berani dari pada aku. Dia berani juga making out bersama kekasihnya. Tapi lagian apa enaknya seperti itu apa akan membawa kita merasakan kenikmatan yang tidak pernah aku rasakan" Vano berjalan menuju kamarnya terus berdecak kesal mengusap matanya berkali kali.
Ia masih tidam percaya dengan apa yang di lakukan adiknya. Benar benar membuat dia shok jika mamanya tahu entahlah. Tapi dia memeilih diam tidak suka ngadu ke mamanya . Karena memang mereka tidak terlalu dekat. Saat pulang hanya sebatas menyapa makan bersama udah itu saja tidak pernah saling curhat maupun ngobrol bersama. Bahkan dirinya seperti orang asing. Entah apa karena dia tidak mau mengurus perusahaan dan memilih menjadi anak liaran di jalan yang membuat mamanya kecewa.
Vano sebanarnya sangat ingin merasakan itu semua namun dia tidak berani melakukannya berbaring bersama wanita saja tubuhnya seakan bergetar hebat. Namun suasana berbeda saat ia bersama gadis kecil yang ada di kamarnya. Hatinya merasa lebih tenang bersamanya.
"Ternyata kamu di sini, aku sudah lapar kanapa om lama sekali" Jeni berjalan terburu-buru menuju ke arah Vano.
Vano melebarkan matanya melihat Jeni yang sudah keluar dari kamarnya. "Kenapa kamu keluar, ayo cepat masuk " ucap Vano panik, menarik tangan Jeni masuk ke dalam kamarnya sebelum adiknya tahu .
"Tunggu kak!!" Vano terhenti seketika melihat adiknya sudah berdiri di belakangnya yang telanjang dada hanya sehelai kain boxer hitam yang menutupi miliknya. Dia seketika mengerutkan keningnya, menggelengkan kapalanya pelan.
Vano mendorong tubuh Jeni masuk ke dalam kamarnya? agar tidak melihat Dion.
"Ada apa?" tanya Vano membalikkan tubuhnya. Setelah menutup pintu kamarnya lagi.
"Jangan bilang pada mama tentang apa yang kakak lihat!! aku hanya ingin mencari kesenangan semata!" Dion nampak menundukkan kepalanya. Ia takut jika mamanya tahu. Ya begitulah anak mami banget apa apa takut sama mamanya beda jauh dengan kakaknya yang selalu menolak perintah mamanya.
"Sudah tenang saja aku akan simpan rahasia ini" tersenyum menggoda dengan tangan memutar gagang pintu perlahan. Lalu masuk ke dalam pintu yang terbuka.
"Aku mau tidur, suruh gadis itu cepat pulang" ucap Vano di balik sela pintu yang terbuka sedikit.
"Ihh... dasar kak Vano gadis di dalam saja gak pulang-pulang kanapa pacarku di suruh pulang. Ini gak adil" Dion terus menggerutu gak jelas beranjak pergi menuju kamarnya.
"Ehh... Dari mana kamu tahu gadis di dalam,"
"Aku melihatnya tadi," ucap Dion tanpa menatap ke belakang. Dia beranjak
----
Dion masuk ke dalam kamar melihat kekasihnya sudah berpakaian lengkap berbaring di ranjangnya.
"Kamu mau kemana?"
"Aku pulang dulu. Sepertinya kakak kamu akan marah nanti aku terus di sini" gadis itu beranjak pergi berjalan melewati Dion yang masih berdiri di depan pintu.
Tak mencegahnya dia membiarkan kekasihnya pulang sendiri menjelang pagi gini. Ya, bagaimana lagi Dion memang gak bisa romantis dan sepeka lelaki lainya yang selalu khawatir pada kekasihnya, selalu perduli, tanya kabar. Dion lebih suka cuek tak menghiraukan kekasihnya. Dalam prinsipnya jika suka denganku ya terima aku apa adanya jika tidak suka maka pergilah. Dion selalu berkata seperti itu pada wanita yang mendekatinya namun itu bahkan tidak menghalangi para wanita yang antri ingin jadi kekasihnya meski hanya sesaat.
"Sialan!! Semua gara-gara kak Vano!! Awas saja aku akan balas" Dion berdecak kesal membaringkan badannya ke ranjang putih. Di kamar yang begitu luas bernuansa hitam dengan sprei dan selimutgambar sepak bola. Dia memejamkan mata menikmati rasanya bercinta sesaat tanpa harus melukai selaputdara milik wanita itu hal yang biasa baginya. Hingga Dia mulai tertidur pulas di ranjang kesayangannya itu.
#Vano POV
Vano perlaha masuk ke dalam kamarnya, lalu menutup pintunya kembali.
"Apa apaan ini semua? " Vano di buat kaget dengan sampah snack berserakan di lantai. Dia melihat sekilas di kantong kresek yang dia bawa sudah ludes semua di makan oleh Jeni. Dia hanya terdia dengan mulut menganga tak percaya. Gadis kecil tapi makananya banyak juga.
"Maaf aku habiskan semua makannya" Jeni tersenyum lembut dengan bibir melumat tangannya yang masih melumat seakan menikmati sisa bumbu Snack yang ada di tanganny. Mata Vano mulai mengamati detail terlintas di bayangannya seakan dia melumat miliknya.
"Om.." Jeni menepuk pundak Vano.
"Oh. iya.. Sangat nikmat teruskan?" Vano masih memejamkan matanya membayangkan hal itu.
"OM.." Panggil Jeni dengan nada semakin tinggi. Namun merasa masih tidak di hiraukan oleh Vano.
Plak...
Sebuah tamparan melayang ke pipi Vano membuat dia langsung tersadar dari lamunanya.
"Kenapa kamu menamparku dasar gadis sialan??" Kata Vano memegang pipinya yang nampak membekas tangan merah.
"Om dari tadi aku panggil diam saja!! Om bayangin apa hyoo... Jangan bilang pikiran om mesum ya melihatku" Ucap Jeni dengan sangat Percaya dirinya.
Wajah Vano nampak kikuk salah tingkah di buatnya. Kini pipinya yang tadi hanya bekas tamparan berubah merah bahkan seperti kepiting rebus. Seolah ia merasa sangat malu harus membayangkan hal itu di depan Jeni.
"Bodoh. Bodoh.. kamu kenapa malu maluin sih" batin Vano menggeleng gelengkan kepalanya.
"Aku Jeni!!" Nampak Vano belum juga mengajak dia berkenalan. Dengan memberanikan diri Jeni mengulurkan tangan pada Vano memulai perkenalan dirinya.
Vano nampak sangat canggung dia masih malu pada Jeni yang sudah melihat dia mebayangkan hal yang tak seharusnya.
"Aku mau tidur sekarang kepalaku pusing." Vano menarik tangan Jeni minggir ke kanan dari hadapannya yang menghalangi dia menuju ke ranjang Coklat yang sudah dia nantikan dari tadi.
langkah Vano terhenti tanganya menyangkut sesuatu di belakangnya. Sebuah tangan mencegahnya untuk berbarinh.
" Ehhh... kamu mau kamana?" Jeni manarik tangan Vano mundur dari ranjang itu.
" Tidur."
"Sekarang kamu minggir aku mau tidur" lanjut Vano terus berusaha mendekati ranjangnya. Namun tangan Jeni terus menariknya menjauh dari ranjang itu.
"Ini kamarku, kanapa kamu melarangku tidur di sini?" Vano berdiri menatap mata Jeni dan menggoyang goyangkan badannya kesal.
"Aku tahu ini kamar kamu.. Tapi kamu tidur di bawah atau di sofa sana, dekat jendela kamar kan enak tidur melihat pemandangan taman yang nampak jelas" Jeni tersenyum menggoda mengangkat ke dua alisnya ke atas.
"Apa kamu bilang?" Vano seketika menautkan ke dua alisnya, sembari menggeram menahan kesal.
"Si pelimik rumah harus tidur di bawah. Bukannya kamu yang seharusnya tidur di bawah."
"Apaan mulai hari ini saat aku masih tinggal di sini ranjang ini hanya milikku. Dan ingat jangan berani coba-coba menyentuhku" Jeni mengepalkan tangannya mengancam Vano.
Dengan perasaan terpaksa dia berjalan sangat lemas seakan tak berdaya menyeret kakinya menuju ke sofa. kini Vano pemilik rumah bahkan kalah dari gadis yang hanya numpang di rumahnya. Seolah tak punya kewenangan untuk menolak. Padahal dia dengan mudah bisa menolaknya dan segera tidur di ranjang itu. Dan Vano hanya bisa menatap sedih tak bisa memeluk erat guling di ranjang itu dan bantal empuk jadi sandaran kepalanya. Entah kenapa dihadapan wanita dia terlihat sangat lemah. Tidak bisa berkutik lagi berhadapan dengan wanita cantik
Sebenarnya ia ingin menolak namun perasaan lembutnya pada wanita membuat dia hanya bisa pasrah, dengan apa yang di lakukan gadis itu, yang kini menguasai kamarnya bahkan di tidak memberinya sebuah selimut untuk hanya menghangatkan tubuhku. Setidaknya tubuhnya yang mengingatkanku juga tidak apa-apa, itu juga lebih baik.