Ringkasan
Sebuah Karya yang diisnpirasi dari kisah nyata. Diketik dengan penuh harap, mampu menyenangkan sesama. Aku benar-benar mengingat malam itu. Malam dimana aku dikejutkan dengan kehadiran orang yang tak pernah kusangka-sangka sepanjang hidupku. Orang yang hingga detik ini ada dihatiku. Sedari pagi, hujan turun dengan deras, disertai petir yang menggelegar. Barsahut-sahutan dengan kilatan super terang dilangit yang gelap. Deru angin berhembus dengan dahsyatnya. Menerbangkan segala sesuatu yang dianggapnya tak penting. Seperti rasa lapar diperutku yang minta diisi semenjak aku membuka mata.
Kedatangan si Buah Hati
Aku benar-benar mengingat malam itu. Malam dimana aku dikejutkan dengan kehadiran orang yang tak pernah kusangka-sangka sepanjang hidupku. Orang yang hingga detik ini ada dihatiku.
Sedari pagi, hujan turun dengan deras, disertai petir yang menggelegar. Barsahut-sahutan dengan kilatan super terang dilangit yang gelap. Deru angin berhembus dengan dahsyatnya. Menerbangkan segala sesuatu yang dianggapnya tak penting. Seperti rasa lapar diperutku yang minta diisi semenjak aku membuka mata.
Aku sedang bersantai disofa panjangku, tak peduli dengan segala kegaduhan alam diluar sana. Kaleng soda di tangan kiri dan penis tegangku di tangan kanan. TV dihadapanku, sedang memutar salah satu adegan film dewasa kegemaranku. Film yang untuk sebagian orang adalah sebuah hal yang tabu. Namun tidak denganku. Karena aku begitu menyukai adegan bercinta melalui jalur belakang.
Yup, aku sedang menonton film porno dihari liburku. Dan aku tak peduli dengan suara desahan nikmat yang terdengar begitu lantang, keluar dari mulut artis-artis itu. Pikirku, ini kamarku. Aku sudah bayar, dan masa bodoh dengan privasi orang lain yang terganggu. Semisal jika mereka, juga mendengar desahannya.
Aku tinggal diappartemen ini seorang diri. Pindah sekitar dari 3 tahun lalu, disaat aku harus merelakan kehilangan wanita separuh hidupku. Yula Yosanti, wanita yang sudah kunikahi selama 16 tahun.
Yah, mungkin perpisahan itu bukan sepenuhnya karena kesalahanku. Karena pandemi juga mempengaruhi semua kesialan dalam hidupku.
Sebagai seorang wirausaha, lockdown yang berkepanjangan sangat memberikan sebuah pukulan telak bagiku. Usaha yang menurun, rejeki yang berkurang, hingga kesabaran yang menipis. Semua itu berakumulasi menjadi satu, dan meledak ketika aku sama sekali tak punya asset lagi untuk diberdayakan. Semua telah habis karena ‘virus’ sialan yang menggerogoti perekonomian dunia. Termasuk semua pundi-pundi danaku.
Berbulan-bulan, aku dan istriku cek-cok. Barang-barang kami habis terjual. Tak ada kecocokan, tak ada keselarasan, dan tak ada solusi. Yang ada dibenakku dan istriku hanyalah pembenaran dari ego masing-masing, tanpa ada yang mau mengalah.
Aku yang teguh menjaga asset demi menunggu usaha yang tepat. Istriku bersikeras menjual asset demi memutar roda kehidupan. Yang masih harus terlihat glamour.
Mungkin karena Yula memiliki latar belakang orangtua yang berada, semua serba tercukupi, dan agak dimanja, merasa kesulitan untuk memposisikan diri ketika sedang dalam kondisi serba kekurangan. Jika dulu ketika aku jaya, semua keinginannya bisa segera aku kabulkan, ketika pandemi, semua berubah 180 derajat.
Serba sulit. Serba hemat. Dan serba penuh perhitungan. Sehingga supaya kami dapat melangsungkan ego masing-masing akhirnya kami memilih untuk pisah. Dan kembali kerumah orangtua kami masing-masing. Demi sekedar mencari ketenangan ditengah situasi yang tak terkendali.
Namun, sepertinya itu bukan langkah yang tepat.
Karena ketika aku memutuskan untuk pisah, ada sesosok pria, Alex. Yang secara terang-terangan mendekati istriku. Ia lebih mapan, lebih memiliki jaminan hidup, dan aset yang melimpah. Bahkan satu hal yang membuatku begitu emosi, istriku dengan sukarela, memilih tinggal bersamanya. Bukan karena harta, melainkan karena sosok pria itu lebih jago diranjang.
Aku kalah telak. Tak mampu membalas sedikitpun. Sainganku terlalu kuat. Terlalu hebat.
Dan aku, seketika merasa menjadi seorang pecundang. Yang tak mampu merebut Yula dari tangan lelaki lain yang sama sekali tak berhak atas diri istriku.
***
Tiga tahun, adalah waktu yang tak sebentar. Dan proses melupakan rasa sakit hatiku karena kalah bersaing dengan pria lain, adalah hal yang cukup susah. Namun, karena aku memiliki kesibukan, perlahan-lahan aku dapat mulai melupakannya.
TOK TOK TOK
Terdengar suara ketukan di pintu appartemenku
Sengaja, tak kuhiraukan suara itu. Karena aku sudah paham benar, jika di jam-jam menjelang maghrib seperti ini, adalah waktu terbaik ibu kamar ujung apartemen, untuk mengganggu kesenanganku.
TOK TOK TOK
Lagi-lagi, suara ketukan terdengar berirama. Namun kali ini lebih keras.
TOK TOK TOK… TOK TOK TOK… TOK TOK TOK…
Dan lebih lama.
TOK TOK TOK…
"ARRRGGGHH KAMPREET….” Gondokku dalam hati karena mendengar gangguan yang terus menerus itu. Membuat penis tegang yang ada didalam kocokan tanganku, perlahan melemas. Tak bernafsu karena titik fokusku hilang.
Sebenanya, aku tahu siapa pengetuk pintu itu. Nenek-nenek peyot pemilik kontrakan yang selalu mengganggu kesenanganku ketika menonton adegan dewasa di TV ini.
“Mati’in TV woiy! Dasar laki-laki pengangguran tak ada guna! Mati’in TVnya….!” Tebakku dalam hati mengenai kalimat yang bakal disampaikan oleh nenek renta, jika aku membuka pintu apartemenku. “Udah tua gini, mbok ya tau diri. Nonton bokep kenceng-kenceng. Kaya gapunya penyaluran aja..!” Yah. Begitulah kira-kira apa yang bakal aku dengar beberapa saat lagi.
TOK TOK TOK… TOK TOK TOK…
Terus saja pintu apartemenku diketuknya.
“Sumpah Deh. Kalo aja tuh nenek berumur 20 tahun lebih muda. Bakal aku ajarin cara menikmatin hidup…”Umpatku. Membayangkan akan apa yang bakal terjadi beberapa saat setelah aku membuka pintu. Kutarik tubuh mudanya masuk. Kulucuti semua pakaiannya. Kurebahkan dengan payudara yang rata dengan tempat tidurku. Kutinggikan pinggulnya lalu kusetubuhi dengan kasar, hingga subuh menjelang.
Cantik memang jika kulihat paras aslinya tuh nenek. Jadi kebayang, betukan aslinya 20 tahun lalu. Hanya saja, sekarang bukan nenek-nenek target operasiku.
TOK TOK TOK…
“Kenapa Sih Nek…?” Teriakku lantang dengan posisi masih diatas sofa. “Gabisa apa ngebebasin aku sedikit aja? Udah tahu aku lagi enak-enak nonton. Selalu aja ngeganggu!!!”
Aku sudah terlalu penat. Terlalu meluap karena emosi yang tertahan terlalu lama. Walau bisa saja
aku kecilkan suara volume TV-ku. Tapi bodo amat. Apartemen ini adalah milikku. Aku beli pakai duitku sendiri. Dan aku berhak mau ngapain aja. Termasuk menyetel tayangan dewasa dengan suara yang membahana.
TOK TOK TOK
"Nenek renta sialan,.." Kataku memutuskan untuk mengakhiri horor suara ketukan pintu yang menyebalkan itu. "Oke… Akan kulayani semua omelanmu. Nenek-nenek brengsek..."
Akhirnya, dengan rasa dongkol. Aku beranjak dari sofaku. Melangkah malas melintasi kamar-kamar kosong di apartemenku. kearah pintu.
TOK TOK TOK…
"IYE IYEEEE… Aku ngerti….!!!” Teriakku lantang dari dalam. Sambil bersungut-sungut, aku melangkah menuju pintu kamarku. Kuputar kunci pintu, kuraih gagangnya, kubuka lalu dengan segenap kekesalanku. Setelah itu aku teriak. “Apaan Neeekkk? Udah bau tanah aja masih ngegang….. “
“SIALAN….”
Aku tercekat
Ternyata, suara ketukan yang menggangguku tadi, bukanlah berasal dari si tetangga apartemen itu. Melainkan Dari sosok gadis mungil dengan kondisi tubuh yang basah kuyup.
Baju tipisnya basah, branya membayang jelas. Membuat payudara bulatnya terihat begitu menonjol. Celananya begitu pendek, memperlihatkan kaki jenjangnya yang mulus, dengan bulukuduk yang berdiri. Karena dingin dari tiupan angin diluaran sana.
“AYAH….” Panggil gadis mudah itu
“Astaga… Febby…” Jawabku kaget sekaget-kagetnya.
BRAAAKKKK
Tanpa berpikir panjang, secara spontan aku langsung menutup pintu apartemenku. Berharap apa yang ada dihadapanku barusan, menghilang dan tak kembali.
Didepan pintu apartemenku, berdiri putri kandungku. Yang 3 tahun lalu kutinggal bersama istriku. Febby Aristania. Gadis mungil bermata lebar dengan rambut hitam pekat yang begitu panjang. Satu-satunya buah hati hasil pernikahanku dengan Yula Aria.
Kenapa ia tak sedari dulu tinggal bersamaku? Karena aku tak dapat hak pengurusan anak. Yah selain dulu aku tak memiliki apapun untuk dapat membesarkan dia. Sehingga aku harus merelakannya hidup bersama ibunya.